Mohon tunggu...
sichanang
sichanang Mohon Tunggu... Lainnya - Gak perlu ucapan terimakasih atas pelaksanaan tugas!

Penulis. Pernah cantumin pekerjaan 'penulis' di ktp tapi diganti sama pak RT. Blog pribadi : http://sichanang.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hubungan Guru Dan Ortu Tak Bisa Lagi Seperti Sinetron dan Drakor

25 November 2023   09:26 Diperbarui: 25 November 2023   09:40 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolaborasi guru dan ortu demi  generasi penerus bangsa (foto dokpri)

Dulu, atau sekarang mungkin masih kita saksikan di layar kaca atau di film cerita, tentang sepenggal adegan saat orang tua menjemput anaknya di sekolah. Biasa digambarkan pada adegan, seorang guru berdiri di depan sekolah melepas murid-muridnya, lalu anak-anak berlari menuju orang tuanya yang telah menunggu di seberang. Untuk mendramatisir suasana, si anak / murid digambarkan berlari dengan efek slow motion. Penggambaran ini sekilas memang tampak keren. Ada drama, dimana guru setelah mengemban tugasnya dalam waktu beberapa waktu lamanya, tiba saatnya untuk melepas kembali anak didik pada orang tuanya. Efek slow motion saat anak berlari itu menggambarkan setelah melalui tahap penggemblengan di sekolah, kini anak akan kembali ke pelukan orang tuanya. Di sini semacam ada jarak yang harus dilalui oleh peserta didik. Lalu, ekspresi orang tua menyambut riang gembira si anak dalam pelukannya, dimaknai seperti ada kerinduan yang hilang sekian lamanya sehingga orang tua merasa anak harus disambut dengan kehangatan.

Bagiku dan mungkin sebagian orang, adegan yang kerap kita saksikan di layar sinetron, drama korea, maupun film-film seperti itu menjadi sebuah kewajaran. Bahkan di dunia nyata, pemandangan seperti itu kerap kita saksikan terjadi di depan sekolah mana pun berada. Namun, dalam suatu diskusi aku memperoleh sebuah pencerahan, bahwa penggambaran itu adalah salah.

Tentu kita yang sudah lama menerima kewajaran itu, mungkin juga telah menjadi kebiasaan dalam keseharian, perlu bertanya, dimana letak kesalahannya. Bukankah guru sudah selesai menjalankan tugasnya? Murid juga pastinya senang bertemu kembali dengan orang tuanya? Bahkan, orang tua juga sudah tepat menjemput anaknya, di zaman sekarang yang situasi dan kondisinya tidak aman bila membiarkan anak pulang sendiri? Kenapa salah dan dimana letak kesalahannya?

Adalah wajar berbagai pertanyaan itu muncul. Namun, perlu juga diluruskan agar kita menjadi lebih paham dan mau melakukan perubahan untuk kebaikan bersama, khususnya dunia pendidikan nasional.

Koreksinya begini, selepas memberikan pelajaran di sekolah, saat peserta didik hendak pulang, alangkah baiknya bila guru tidak lagi berjarak dengan orang tua seperti digambarkan pada adegan di atas. Meski tidak dengan semua orang tua, sebaiknya guru menyempatkan berkomunikasi dengan beberapa orang tua murid. Saat berkomunikasi, guru bisa membicarakan tentang berbagai hal yang kiranya perlu disampaikan pada orang tua. Sebaliknya, orang tua juga bisa menanyakan tentang perkembangan si anak selama di sekolah. Komunikasi timbal-balik seperti ini perlu dilakukan dalam suasana yang akrab. Tidak menunggu saat ada masalah baru berkomunikasi untuk mencari solusi atau penyelesaian masalah. Saat melihat guru dan orang tua saling berkomunikasi dan berinteraksi, tentu bagi si anak akan mendatangkan perasaan khusus. Momen perjumpaan guru dan orang tua ini dapat diisi dengan berbagai macam hal yang tentu dapat memberi manfaat.

Berangkat dari hal sederhana semacam itulah kita seharusnya mulai memperbaiki dunia pendidikan, terutama terkait dengan kolaborasi antara guru dan orang tua.

Guru = Digugu Dan Ditiru

Mungkin banyak diantara kita yang sudah paham istilah dari filosofi bahasa Jawa tersebut. Maksud dari guru = digugu dan ditiru, yaitu pada diri seorang guru melekat dua kata itu. Digugu artinya perkataannya harus bisa dipertanggungjawabkan dan ditiru artinya sikap dan perbuatannya harus dapat menjadi teladan bagi siswanya.

Dalam posisi ini, seorang guru memiliki keistimewaan khusus. Keistimewaan sebagai pendidik, pengajar dan sekaligus tauladan. Guru sebagai pembimbing menulis dan membaca. Guru sebagai pembawa segudang ilmu. Dan guru juga sebagai mitra orang tua dalam mendidik anak. Keduanya menjadi tauladan bagi anak.

Kemitraan atau kolaborasi antara guru dan orang tua ini bisa berlangsung di lingkungan sekolah maupun luar sekolah.  Di zamanku dulu sekolah, peran orang tua tidaklah seperti sekarang. Dulu, hubungan orang tua dan guru berlangsung karena kedekatan sedaerah, sekampung, yang dalam berbagai aktivitas kerap bertemu dan beraktivitas bersama. Kebersamaan yang berlangsung dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.

Dulu jarang sekali orang tua hadir di sekolah. Sangat jarang murid yang diantar jemput, karena di samping jarak sekolah yang dekat, situasi dan kondisinya juga relatif aman di tahun 80 - 90an. Orang tua hadir di sekolahan biasanya untuk mengambil rapor, atau ada rapat orang tua yang diselenggarakan pihak sekolah untuk keperluan tertentu, dan mungkin bila anaknya bermasalah di sekolah.

Berbeda dengan saat ini, kehadiran orang tua di sekolahan mungkin hampir tiap hari. Ya untuk keperluan antar jemput utamanya. Selain itu, sekarang ada Komite Sekolah dan ada pula Wakil Orang Tua Kelas (WOTK). Disini orang tua hampir tiap hari berkecimpung dalam kegiatan di sekolah. Bahkan pada jenjang tertentu ada pula kegiatan Kelas Orang Tua. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebenarnya banyak sekali keterlibatan orang tua dalam kegiatan sekolah, yang seharusnya mampu menjadi wadah bagi kolaborasi antara orang tua dan guru.

Di era digital ini komunikasi orang tua dan guru juga dapat berlangsung dalam berbagai media. Bisa dibilang, kini banyak sekali saluran komunikasi dan jalinan kerjasama yang dapat dipakai antara orang tua dan guru. Namun demikian, justru muncul pertanyaan, mengapa malah tidak berlangsung optimal?

Nampaknya perlu banyak evaluasi dari keberadaan wadah maupun media komunikasi yang ada. Sedikit cerita dari banyak rumor yang beredar, peran dari Komite Sekolah justru banyak yang bersifat elitis, dan mungkin karena terlalu lama masa jabatannya, justru tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sedang media komunikasi, seperti WAG hanya diperuntukkan menyampaikan informasi formal atau pengumuman saja.

Mencermati realita yang ada itu, kiranya perlu bersama-sama kita cari jalan keluar dari kurang optimalnya hubungan guru dan ortu yang tak berhasil menjadi kolaborasi itu.

Kolaborasi Itu Penting

Konsep Merdeka Belajar yang semangatnya merujuk pada ajaran Ki Hajar Dewantara itu, sejatinya ingin mengimplementasikan semangat mendidik dengan hati. Mendidik dan mengajar dimaksudkan sebagai proses memanusiakan manusia, sehingga harus memerdekakan manusia (peserta didik) dan segala aspek kehidupannya, baik fisik, mental, jasmani, dan rohani.

Lalu, Bagaimana caranya agar anak terbebas dari kasus perundungan?

Jawaban dari pertanyaan ini seharusnya merupakan implementasi dari konsep memanusiakan manusia itu. Ada beberapa hal yang dapat ditempuh dengan melakukan kolaborasi antara guru dan orang tua.

Pertama, hindarkan perundungan dengan mengasah potensi anak agar berprestasi. Guru dan orang tua harus giat menggali potensi peserta didik, baik minat dan bakatnya. Setelah anak sudah tampak minat dan bakatnya, dukung untuk mengasahnya hingga mencapai prestasi. Dengan demikian, di satu sisi anak yang memiliki potensi dan bakat unggul akan terhindar dari perundungan, karena umumnya pelaku perundungan akan segan terhadap anak yang berprestasi. Di sisi lain, anak yang memiliki prestasi akan berpikir ulang apabila akan melakukan perundungan. Jadi, upaya yang ditempuh disini dapat menekan tindak perundungan dari kedua sisi.

Kedua, optimalkan peran orang tua. Ini bisa dimulai dengan mengefektifkan kelas orang tua. Beragam model kelas orang tua dapat diselenggarakan untuk mensosialisasikan bahayanya perundungan, cara menghindari jadi korban atau pelaku perundungan, dan lain sebagainya. Lebih dari itu, ajak orang tua untuk menemukenali potensi dan bakat anak, lalu beri solusi untuk memberi dukungan agar anak dapat mengoptimalkan potensi dan bakatnya jadi berprestasi. Dukungan bisa mandiri atau pun kolektif. Dan libatkan pula para stakeholder yang ada agar semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi dan bakatnya, disamping dalam kesempatan penyelenggaraan pendidikan. 

Ketiga, tanamkan dalam  diri anak bahwa persaingan diperuntukkan dalam mengejar prestasi. Dimana didalamnya terkandung prinsip sportivitas. Membiasakan sikap ini akan memberikan kesadaran bahwa semua anak memiliki potensi untuk menjadi yang terbaik. Dan, sikap sportif adalah mengakui kehebatan orang lain. Sehingga, pada saat anak lain mencapai prestasi, maka yang lain akan mengakuinya dengan lapang dada. Di sini peran orang tua dan guru sangat penting. Penerapan di kelas, di sekolah, di keluarga, dan lingkungan sosial akan membiasakan setiap orang memberi pengakuan atas prestasi dan sekaligus menerima dalam keikhlasan. Dan buka medan pencapaian prestasi sebanyak-banyaknya, sehingga terbuka kesempatan yang luas agar anak mampu meraih pencapaian tertentu. Jangan sekolah hanya bersikap sekadar menjalankan tugas atau menggugurkan kewajiban saja. Apa adanya, tanpa ada upaya-upaya untuk memberi ruang berkespresi bagi peserta didik.

Keempat, guru dan orang tua perlu menciptakan inovasi-inovasi. Dan agar tergerak untuk berinovasi, maka perlu juga digelar ajang apresiasi. Kalau selama ini telah ada apresiasi terhadap guru berprestasi untuk semua jenjang pendidikan, ke depan sepertinya perlu juga diberikan apresiasi untuk kategori kolaborasi guru dan orang tua berprestasi.

Kelima, guru ke rumah peserta didik. Selama ini orang tua sudah melakukan banyak kegiatan di sekolah. Maka kiranya perlu juga kegiatan yang melibatkan guru untuk datang ke rumah peserta didik. Tentu saja ini dalam konteks untuk menjalin silaturahmi dan komunikasi antara orang tua dan guru. Dengan catatan, jangan lagi kegiatan semacam ini hanya dilakukan pada saat anak sedang dalam masalah. Ini adalah kekeliruan yang selama ini terjadi. Kalau selama ini kegiatan kunjungan dilakukan ketika anak bermasalah sebagai upaya menyelesaikan masalah, kini harus dijadikan upaya untuk pencegahan terjadinya masalah.

Selamat Hari Guru

Menyambut peringatan Hari Guru, kita semua memang perlu mengapresiasi pada "pahlawan tanpa tanda jasa" ini. Lalu, apa yang perlu dilakukan sebagai apresiasi tersebut?

Perlu ditekankan disini, wujud apresiasi bukan melulu memberi kado atau semacamnya. Kita paham, dalam budaya masyarakat telah dianggap sebagai kewajaran bahwa hal yang paling disukai seseorang adalah ketika mampu memberi dan menerima pemberian. Tapi, sejatinya bukan itu yang dibutuhkan. Pemberian kado, hadiah, dan sejenisnya itu biasa dilakukan dengan mengandung maksud tertentu. Atau, dalam bahasa lain disebut sebagai gratifikasi, meski kesannya berlebihan bila menyebutnya demikian.

Meski menyenangkan, disini penulis mengharapkan agar guru memulai dengan niat untuk tidak mengharapkan pemberian kado atau hadiah dari peserta didiknya. Caranya, yaitu sejak dini harus membuat pernyataan atau pengumuman agar peserta didik tidak memberi kado atau hadiah berupa barang apa pun. Gantilah dengan harapan bahwa 'kado terbaik' pada guru itu berupa prestasi dari anak didiknya. Mulailah berbangga dan bahagia ketika anak didiknya berprestasi. Ini sejatinya melebihi kado apa pun yang bisa diberikannya.

Cara lain yang dapat dilakukan oleh orang tua, yaitu apabila memang memiliki kelebihan harta, maka kolektifkan kelebihan itu untuk mendukung atau memenuhi kebutuhan pengembangan minat, bakat dan prestasi anak-anak agar dapat memberi kebanggaan seperti di atas pada guru dan juga orang tua tentunya. Ini jelas lebih bermanfaat dari sekadar benda-benda yang dibungkus dengan beragam pemanis untuk para guru yang sedang memperingati hari jadi korps-nya.

Kita, orang tua, masyarakat bangsa dan negara ini sudah memenuhi kewajiban untuk menggaji guru-guru untuk menjalankan kewajiban dan pengabdiannya dalam berprofesi. Kalau ada yang perlu kita beri perhatian, yaitu guru-guru honorer di pelosok yang menerima penghasilan ala kadarnya. Mereka banyak yang menerima honor jauh di bawah standar. Berbeda dengan guru yang telah menjadi ASN dengan gaji tetap tiap bulannya. Ini bukan berarti penulis menganggap gaji guru ASN telah cukup besar, tapi memang seharusnya demikian cara kita memandangnya. Jangankan kado, ucapan terima kasih pun sebenarnya tidak wajib kita berikan kepada siapa pun atas pelaksanaan tugasnya. Kalau pun memang perlu berterima kasih, itu karena sisi kemanusiaan kita yang berbicara, bukan karena guru yang telah menjalankan tugasnya sebagai pendidik di sekolah.

Selamat hari guru....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun