Mohon tunggu...
sichanang
sichanang Mohon Tunggu... Lainnya - Gak perlu ucapan terimakasih atas pelaksanaan tugas!

Penulis. Pernah cantumin pekerjaan 'penulis' di ktp tapi diganti sama pak RT. Blog pribadi : http://sichanang.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Stop Politik Uang, Apa Pun Dalihnya (Respon Atas Tulisan Asep Rizal: Amplop Demokrasi...)

7 Oktober 2023   22:51 Diperbarui: 7 Oktober 2023   22:55 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Kompas.com

Menarik membaca tulisan saudara Asep Rizal dengan judul "Amplop Demokrasi Ala Indonesia, Akankah Akan Hilang?"

Menyadari bahwa untuk membangun demokrasi diperlukan diskusi, maka penulis bermaksud menanggapi beberapa poin dalam tulisan tersebut dalam rangka diskusi. Dan penulis juga paham bahwa yang disampaikan oleh saudara Asep Rizal merupakan potret realita di tengah masyarakat di seantero negeri jelang pemilu. Dan ini memprihatinkan, kalau tidak mau menyebutnya sebagai hal yang menyebalkan.

Setiap berlangsung ajang pemilihan (presiden, legislatif, kepala daerah, kepala desa, dll) selalu ramai dibicarakan soal money politic / politik uang yang tak kunjung habis di negeri ini, meski Undang-Undang telah mengancam dengan hukuman yang lumayan berat. Praktik politik uang merupakan salah satu jenis pelanggaran yang ancamannya berupa pidana penjara dan denda, seperti disebutkan dalam UU No. 7 Tahun 2017 yang mengatur tentang Pemilu dan UU No. 1 Tahun 2015 beserta perubahannya yang mengatur tentang Pemilihan.

Bisa dibilang, bangsa ini tidak serius untuk sungguh-sungguh menghapus politik uang agar pemilu berlangsung jujur dan adil. Kompromi dan sikap permisif terus saja berlangsung dengan berbagai dalih pembenaran. Padahal pembenaran ini justru akan menjadikan kontra produktif, bahkan merugikan di kemudian hari.

...mereka kini terlihat bingung ketika telah didera kebutuhan uang dalam menghidupkan gerakan pemenangan partainya, mengapa demikian? Karena hari ini ketika ingin menghadirkan warga dalam ruangan besar mesti punya cuan dulu, karena musik yang di stel tak akan terdengar dengungnya manakala tak terdengar bisikan "Ada Amplopnya" begitulah kenyataannya.

(Kalimat terakhir paragraf kedua, dari tulisan saudara Asep Rizal)


Pernyataan yang penulis kutip dari tulisan saudara Asep Rizal tersebut memang terjadi dimana-mana. Masyarakat seperti memperoleh kesempatan untuk menarget para caleg dan tim sukses apabila akan menghadirkan warga. Warga akan hadir ke perkumpulan bila diiming-imingi amplop plus bingkisan. Tidak cukup sekadar air minum dan camilan seperti umumnya yang dihidangkan dalam sebuah pertemuan tertentu.

 

Pada bagian lain disebutkan begini (paragraf tiga) :

...Ketika bertamu ke sebuah tempat, maka malu lah kalau tak menenteng wadah makanan untuk menghadirkan makanan. Maka caleg yang notabene orang asing di sebuah tempat (daerah pemilihan/dapil) harus bawa uang... maka naiflah caleg apabila hanya datang membawa pidato tentang wawasan kebangsaaan dan koar-koar akan kemajuan ekonomi kemajuan desa di sebuah kampung, misalnya.


Membawa buah tangan bila bertamu memang hal baik. Namun bukan berarti menjadi kewajiban. Dan, dalam konteks caleg hadir ke suatu tempat, suatu kampung, suatu desa, atau juga ke rumah-rumah warga, tidak ada kewajiban pula untuk membawa buah tangan, apalagi harus memberi uang / amplop.

Ada salah kaprah yang dibuat seolah menjadi suatu kebenaran di tengah masyarakat. Kesalahan pertama adalah mencampur-adukkan budaya keseharian dan kekerabatan dalam masyarakat menjadi sebuah keharusan dalam pergulatan politik, yang diimbuhi dengan kepentingan terselubung untuk melegalkan politik uang. Kesalahan kedua adalah menempatkan posisi seorang caleg sebagai seorang yang lebih tahu soal kebangsaan dan kemajuan desa. Dimana seorang caleg yang mendatangi warga adalah untuk cuap-cuap, banyak bicara, dan menjadi si paling tahu masalah masyarakat dan kebangsaan.   

Padahal seharusnya kehadiran seorang calon legislatif ke tengah masyarakat di tempat daerah pemilihannya sebelum pemilu berlangsung memiliki beberapa tujuan. Tujuan pertama, tentu saja si caleg bermaksud memperkenalkan diri, andai caleg tersebut bukan orang yang cukup dikenal. Apalagi sebuah dapil memang cukup luas areanya. Kedua, menggali aspirasi. Ini yang seharusnya dilakukan seorang caleg, bukan berkoar-koar tentang program dan lain sebagainya. Apalagi menggurui soal kebangsaan. Bagaimana mungkin seorang caleg yang belum mengetahui apa aspirasi warga, belum mengetahui permasalahan warga, namun tiba-tiba datang membawa program, terlebih berkoar tentang kebangsaan atau kemajuan sebuah desa. Ini salah kaprah yang kerap terjadi. Jadi, kehadiran caleg di sebuah kampung atau daerah pemilihan itu yang pertama dilakukan harusnya adalah mendengarkan atau mencari tahu persoalan yang ada di tengah warga tersebut. Mendengarkan, bukan pidato yang terkadang tidak ada kaitannya dengan persoalan masyarakat. 

Setelah hadir ke tengah warga, menyapa dan mendengarkan persoalan, barulah seorang caleg menggodoknya dan menawarkan solusi apabila nanti ia terpilih menjadi anggota legislatif, bukan sebagai eksekutif.  Seyogyanya, seorang caleg juga telah memahami kapasitasnya, sehingga nantinya dapat menentukan pilihan di komisi apa ia akan duduk. Lagi-lagi, solusi yang ditawarkan juga harus sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian, persoalan warga masyarakat jelas tidak akan selesai hanya dengan amplop dan sembako.

Bagaimana mungkin seorang caleg hanya datang sekali, tidak mengadakan dialog, tapi lebih pada aksi pidato, akan bisa menjawab persoalan masyarakat pemilihnya. Jadi, kehadiran seorang caleg harus berkali-kali, pertemuan yang intens untuk benar-benar dapat menyelesaikan permasalahan yang ada. Termasuk nanti setelah caleg tersebut sudah terpilih pun juga harus mendatangi warga lebih intens lagi, berkomunikasi, dan bersama-sama dengan eksekutif mencarikan solusi terbaik.

Apabila seorang caleg kesulitan menghadirkan warga masyarakat di daerah pemilihannya, jangan kehabisan akal. Datangi satu persatu, ketuk pintunya, lalu ajak mereka bicara. Kalau tidak bisa menghadirkan massa dalam jumlah besar, datangilah kelompok masyarakat dalam lingkup kecil, datangi komunitas, ajak mereka saling bertukar informasi dan pikiran, berdialoglah. Jangan lagi berpikir untuk pidato, koar-koar di tengah massa yang besar lalu disambut dengan tepuk tangan. 

Di sisi yang lain, setelah mendengarkan aspirasi, menemukenali permasalahan, seorang caleg juga dapat melanjutkan dengan menggali potensi-potensi yang ada dalam rangka nantinya merumuskan solusi. Atau dengan mengetahui potensi yang ada, merumuskan kebijakan dan anggaran yang akan mendukung program dari eksekutif. Proses ini tidak bisa dilakukan dengan sekali datang, plus memberikan amplop seperti yang selama ini terjadi. 

Perlu  Komitmen Bersama

Untuk menjadikan Indonesia yang lebih baik, diperlukan komitmen semua warga bangsa tanpa terkecuali. Ayolah stop politik uang. Dengan memilih caleg yang menyuap rakyat dengan amplop dan sembako, maka pemilihan itu akan menghasilkan orang-orang yang tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai anggota legislatif. Menyuap itu adalah tindakan tercela. Bayangkan, bila sebuah perusahaan atau instansi menerima pegawainya atas dasar suap yang diberikan, maka dipastikan kinerja pegawai tersebut akan buruk dan lambat laun perusahaan itu akan bangkrut. Demikian pula lembaga legislatif, apabila diisi oleh orang-orang yang terpilih karena menyuap, maka negara ini lama kelamaan juga akan bangkrut. 

Apabila kita membiarkan dan terus melanggengkan suap di negeri ini. Mari kita catat, kalau suatu saat negara ini bangkrut, berarti para penyuap itu turut andil didalamnya. Termasuk juga masyarakat yang menerima suap. Maukah kita melihat negara ini bangkrut dan hancur di kemudian hari hanya karena amplop berisi puluhan hingga ratusan ribu saja!

Jelas kita tidak rela dicap sebagai generasi penghancur dan sumber kebangkrutan negara yang dibangun dengan darah, air mata, dan nyawa oleh para pendahulu pendiri bangsa ini. Ingat, sejarah akan mencatatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun