Ada hal yang tak biasa dari perjalanan hidup yang sepertinya biasa-biasa saja. Lelaki itu semula menjalani hidupnya dengan damai, termasuk saat membersamai perempuan yang sangat disayanginya.Â
Hari-hari kemarin selalu penuh warna-warni bunga. Tiada cela untuk tak saling mengungkapkan rasa sayang. Bahkan sampai detik ini, dan mungkin esok lusa lelaki itu tak henti bertabur ungkapan kasih dari sang pujaan hati.
Ya, memang indah terasa bila sepasang merpati saling mengasihi dan menyayangi.
Memang, hidup tak selamanya berjalan lurus. Kadang harus melewati tikungan atau juga tanjakan. Entah mungkin jenuh atau hanya butuh sensasi, perempuan itu memilih jalan yang tak disukai tambatan hatinya.Â
Dan dia seolah tak peduli. Langkah terus diayun, meski itu ternyata membuat kecewa. Ya, menjalani sesuatu yang tak disuka, bisa bermakna ganda. Bagi yang menjalani, terasa biasa saja. Namun bagi yang tidak suka, itu bisa menimbulkan luka.
Luka yang ditimbulkan ternyata tak sekadar luka. Luka itu perlahan-lahan merusak pikiran dan emosi. Lelaki itu mulai digelayuti was-was yang mengganggu tidurnya.Â
Saat mata dipejamkan, saat itu pula hatinya makin terluka. Peringatan dan segala pernyataan tak menggoyahkan perempuan itu untuk mengayunkan langkah.
Dan tiap ayunan langkah tergerak, goresan itu makin banyak menimbulkan luka baru dan luka lama yang kian menganga.
Anehnya, sambil mengayunkan langkah yang tak disuka itu, perempuan itu tetap menyenandungkan tembang kasih dan sayangnya. Baginya, apa salahnya dia melangkah bila hatinya tak goyah.Â
Apa salahnya dia memilih jalannya, bila itu tak mengurangi perasaannya. Sementara di sisi yang lain, lelaki itu merasa tak dihargai kegundahan dan keberatannya.Â
Dengan kenyataan perempuan itu tetap memilih jalannya sendiri, lelaki itu merasa segala argumen yang disampaikan tak diindahkan. Ia merasa tak didengarkan.Â
Tak dipedulikan, walau ia tetap menerima ungkapan sayang yang tak henti diungkapkan. Jalan yang berjajar, bukan berarti seiring sejalan bila tujuan tak sama.
Perih, pedih, terus dirasakan lelaki itu dalam buaian kata sayang. Ia berjalan di jalur kegundahan. Pikirannya makin koyak. Tatapannya nanar tak menentu. Dan konon katanya, pikiran adalah penentu jiwa dan raga yang sehat.Â
Jelas pikiran lelaki itu dihantui kekhalutan yang menyebabkan kesehatannya terganggu. Saat pikiran negatif menyergap, luka pun menganga.Â
Dan lambat laun luka yang belum sepenuhnya kering, ditambah luka baru itu menyebabkan pertahanan pun lama-kelamaan tumbang. Dan, untaian sayang yang bisa mengobati tak pernah benar-benar menyembuhkannya.
Sambil terlentang menatap langit-langit putih yang tak berwarna, lelaki itu menghitung luka, dan menjajarkan untaian kata sayang dan cinta yang diterimanya.Â
Dalam simpulnya yang tak terikat erat, ia berbisik lirih... Aku merasa sedang dibunuh perlahan-lahan oleh cinta dan luka yang tak berkesudahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI