Dengan kenyataan perempuan itu tetap memilih jalannya sendiri, lelaki itu merasa segala argumen yang disampaikan tak diindahkan. Ia merasa tak didengarkan.Â
Tak dipedulikan, walau ia tetap menerima ungkapan sayang yang tak henti diungkapkan. Jalan yang berjajar, bukan berarti seiring sejalan bila tujuan tak sama.
Perih, pedih, terus dirasakan lelaki itu dalam buaian kata sayang. Ia berjalan di jalur kegundahan. Pikirannya makin koyak. Tatapannya nanar tak menentu. Dan konon katanya, pikiran adalah penentu jiwa dan raga yang sehat.Â
Jelas pikiran lelaki itu dihantui kekhalutan yang menyebabkan kesehatannya terganggu. Saat pikiran negatif menyergap, luka pun menganga.Â
Dan lambat laun luka yang belum sepenuhnya kering, ditambah luka baru itu menyebabkan pertahanan pun lama-kelamaan tumbang. Dan, untaian sayang yang bisa mengobati tak pernah benar-benar menyembuhkannya.
Sambil terlentang menatap langit-langit putih yang tak berwarna, lelaki itu menghitung luka, dan menjajarkan untaian kata sayang dan cinta yang diterimanya.Â
Dalam simpulnya yang tak terikat erat, ia berbisik lirih... Aku merasa sedang dibunuh perlahan-lahan oleh cinta dan luka yang tak berkesudahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H