Akar dari fenomena cancel culture dapat dikaitkan dengan budaya lokal Indonesia. Seperti yang diketahui, masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi norma sosial. Ketika salah satu di antara kita melakukan pelanggaran etika atau moral, masyarakat di sekitar akan menegur atau memberikan sanksi kepada orang tersebut.
Di sisi lain, Indonesia juga memiliki budaya “ikut-ikutan”. Orang-orang di Indonesia kerap kali mengikuti tren yang sedang viral tanpa benar-benar memahami konteks dari isu tersebut. Hal ini mampu memperburuk cancel culture karena didasari oleh dorongan viralitas, bukan keinginan untuk menegakkan keadilan.
Fenomena cancel culture juga tidak terlepas dari pemikiran wokeness, yaitu kesadaran akan isu-isu sosial yang sebelumnya mungkin tidak terlalu diperhatikan oleh masyarakat luas. Pemikiran ini mendorong masyarakat untuk lebih peduli terhadap isu-isu sosial yang dulunya diabaikan, seperti kesetaraan gender, diskriminasi rasial, atau pelanggaran hak asasi manusia.
Namun, dalam beberapa kasus semangat wokeness ini dapat melampaui batas ketika digunakan untuk menjustifikasi cancel culture tanpa pandang bulu. Akar-akar tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah cancel culture efektif dalam mendorong perubahan?
Sebetulnya, efektivitas cancel culture masih dipertanyakan. Dalam beberapa kasus, cancel culture hanya menghasilkan sanksi sosial yang bersifat sementara. Tokoh publik yang mengalami cancel culture mungkin kehilangan popularis untuk sementara waktu, namun kembali lagi setelah beberapa saat tanpa perubahan yang signifikan.
Banyak di antara mereka yang kembali ke panggung publik tanpa benar-benar belajar dari kesalahan yang mereka buat. Artinya, cancel culture tidak disertai dengan upaya memperbaiki kesalahan karena fokus utamanya adalah menghukum, bukan memberikan kesempatan untuk belajar dan bertumbuh.
Maka dari itu, penting bagi masyarakat untuk lebih bijak dalam merespons suatu isu yang sedang viral. Verifikasi fakta harus dilakukan sebelum memutuskan ikut atau tidak berpartisipasi dalam cancel culture. Alih-alih memberikan hukuman, membuka ruang dialog lebih disarankan bagi mereka yang berbuat salah untuk memperbaiki kesalahannya. Dengan cara ini, cancel culture bukan sekadar memberikan sanksi sesaat, tapi sebagai alat yang konstruktif dalam membentuk perubahan ke arah yang lebih baik.
Masyarakat juga perlu memikirkan dampak jangka panjang dari cancel culture, tidak hanya pada individu yang menjadi korban, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan. Jika cancel culture dibiarkan menjadi alat utama dalam menegakkan keadilan sosial, maka kita berisiko menciptakan lingkungan di mana kebebasan berbicara dan berpendapat semakin terkikis.
Cancel culture dapat menghambat inovasi, diskusi terbuka, dan pertumbuhan sosial, karena orang-orang akan semakin takut untuk berekspresi. Cancel culture adalah fenomena yang membutuhkan sikap yang lebih bijak dan konstruktif. Cancel culture dapat berfungsi sebagai alat yang efektif, namun jika tidak diaplikasikan dengan hati-hati, pendekatan ini bisa menjadi boomerang sehingga mampu merusak tatanan sosial yang telah dicoba untuk diperbaiki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H