Mohon tunggu...
Chairunnisa
Chairunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - IPB University

A dedicated student of Digital Communication and Media at IPB University. My academic journey is complemented by hands-on experience in event coordination and project management. I have successfully orchestrated numerous events and projects, demonstrating my ability in project management, teamwork, effective communication, and execution of plans. I am always eager to learn and grow, seeking opportunities and collaborations.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cancel Culture: Membawa Perubahan atau Hanya Sanksi Sesaat?

24 September 2024   17:55 Diperbarui: 24 September 2024   18:00 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.freepik.com

Bayangkan, jika kita melakukan suatu kesalahan, entah kata-kata yang salah diucapkan atau tindakan yang dianggap tidak pantas oleh sebagian orang, dapat menyebabkan kita kehilangan reputasi. Sebuah kontroversi membesar dan menyebar dalam hitungan waktu, disambut oleh jutaan komentar tajam. 

Cancel culture, begitulah sebutannya, sebuah fenomena di ruang digital yang bisa berdampak di ruang nyata. Dalam lingkungan yang semakin terhubung dengan media sosial, reputasi seseorang dapat berubah dalam sekejap akibat reaksi publik yang begitu cepat dan keras terhadap suatu kesalahan.

Cancel culture merupakan fenomena sosial di mana individu, perusahaan, atau entitas tertentu “dihentikan”, tidak diberi dukungan, ataupun dipermalukan secara publik karena ucapan, tindakan, atau perilaku yang dianggap melanggar etika atau norma sosial oleh sekelompok orang. Sesuatu yang menjadi target cancel culture mengalami pemboikotan eksistensi di ruang publik, baik dunia maya maupun dunia nyata. 

Fenomena ini bertujuan untuk memberikan sanksi sosial yang praktis dan efektif dengan harapan pelaku akan memahami dampak perbuatannya dan bertanggung jawab atas kesalahannya. Namun, dalam praktiknya cancel culture sering kali mengabaikan proses klarifikasi atau pembelaan diri dari pihak yang dituduh bersalah, sehingga efek yang dihasilkan bisa jauh lebih besar daripada sekadar sanksi sosial.

Mengapa cancel culture bisa begitu popular di era ini? Alasan utamanya terletak pada kekuatan media sosial. Peristiwa yang melibatkan tokoh publik, seperti selebritas, influencer, bahkan tokoh politik, dapat menyebar dengan cepat dan menjadi sasaran perhatian masyarakat luas. 

Tidak sedikit orang-orang yang berpartisipasi melakukan cancel culture kepada entitas lain merasa telah berkontribusi dalam menegakkan keadilan dan memperbaiki norma-norma sosial yang dianggap dilanggar. Orang-orang ini merasa menjadi agen perubahan yang membantu untuk mendorong dunia ke arah yang lebih baik melalui sanksi yang dijatuhkan secara massal.

Di Indonesia sendiri kasus cancel culture pernah beberapa kali menyita perhatian media dan masyarakat. Salah satu contohnya adalah kasus Elmer Syaherman, suami dari influencer Ira Nandha, yang berselingkuh dengan Bella Damaika. Ketika bukti chat perselingkuhan tersebut dipublikasikan oleh Ira Nandha melalui Instagram, perhatian publik dengan cepat dialihkan. 

Bahkan, berita tersebut menjadi viral di luar platform Instagram dalam hitungan menit. Komentar dan ajakan untuk memboikot para pelaku bermunculan, berbagai petisi online menyerukan agar perusahaan mereka bekerja segera mengambil tindak lanjut, baik memberikan hukuman pelanggaran atau pemberhentian kerja. Hasilnya? Kedua pelaku tersebut mendapatkan skors kerja selama waktu yang ditentukan serta menghadapi krisis reputasi di ruang publik.

Tidak bisa dipungkiri bahwa cancel culture dapat menjadi alat perubahan sosial, namun dampak negatifnya juga tidak bisa diabaikan. Salah satunya adalah timbul rasa takut bagi seseorang. Banyak individu, terutama tokoh publik, merasa cemas untuk menyuarakan pandangannya atau melakukan tindakan tertentu karena khawatir akan menjadi target cancel culture

Fenomena ini juga dapat menjadi tindakan ketidakadilan. Pada beberapa kasus, mereka yang menjadi target cancel culture sering kali tidak mendapatkan kesempatan untuk melakukan klarifikasi sebelum sanksi sosial dijatuhkan. Kesalahan kecil kerap menimbulkan komentar yang diambil di luar konteks sehingga memicu respons berlebihan. Akibatnya, individu yang menjadi korban cancel culture menderita kerugian, baik secara pribadi ataupun urusan profesional.

Akar dari fenomena cancel culture dapat dikaitkan dengan budaya lokal Indonesia. Seperti yang diketahui, masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi norma sosial. Ketika salah satu di antara kita melakukan pelanggaran etika atau moral, masyarakat di sekitar akan menegur atau memberikan sanksi kepada orang tersebut. 

Di sisi lain, Indonesia juga memiliki budaya “ikut-ikutan”. Orang-orang di Indonesia kerap kali mengikuti tren yang sedang viral tanpa benar-benar memahami konteks dari isu tersebut. Hal ini mampu memperburuk cancel culture karena didasari oleh dorongan viralitas, bukan keinginan untuk menegakkan keadilan.

Fenomena cancel culture juga tidak terlepas dari pemikiran wokeness, yaitu kesadaran akan isu-isu sosial yang sebelumnya mungkin tidak terlalu diperhatikan oleh masyarakat luas. Pemikiran ini mendorong masyarakat untuk lebih peduli terhadap isu-isu sosial yang dulunya diabaikan, seperti kesetaraan gender, diskriminasi rasial, atau pelanggaran hak asasi manusia. 

Namun, dalam beberapa kasus semangat wokeness ini dapat melampaui batas ketika digunakan untuk menjustifikasi cancel culture tanpa pandang bulu.  Akar-akar tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah cancel culture efektif dalam mendorong perubahan?

Sebetulnya, efektivitas cancel culture masih dipertanyakan. Dalam beberapa kasus, cancel culture hanya menghasilkan sanksi sosial yang bersifat sementara. Tokoh publik yang mengalami cancel culture mungkin kehilangan popularis untuk sementara waktu, namun kembali lagi setelah beberapa saat tanpa perubahan yang signifikan. 

Banyak di antara mereka yang kembali ke panggung publik tanpa benar-benar belajar dari kesalahan yang mereka buat. Artinya, cancel culture tidak disertai dengan upaya memperbaiki kesalahan karena fokus utamanya adalah menghukum, bukan memberikan kesempatan untuk belajar dan bertumbuh.

Maka dari itu, penting bagi masyarakat untuk lebih bijak dalam merespons suatu isu yang sedang viral. Verifikasi fakta harus dilakukan sebelum memutuskan ikut atau tidak berpartisipasi dalam cancel culture. Alih-alih memberikan hukuman, membuka ruang dialog lebih disarankan bagi mereka yang berbuat salah untuk memperbaiki kesalahannya. Dengan cara ini, cancel culture bukan sekadar memberikan sanksi sesaat, tapi sebagai alat yang konstruktif dalam membentuk perubahan ke arah yang lebih baik.

Masyarakat juga perlu memikirkan dampak jangka panjang dari cancel culture, tidak hanya pada individu yang menjadi korban, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan. Jika cancel culture dibiarkan menjadi alat utama dalam menegakkan keadilan sosial, maka kita berisiko menciptakan lingkungan di mana kebebasan berbicara dan berpendapat semakin terkikis. 

Cancel culture dapat menghambat inovasi, diskusi terbuka, dan pertumbuhan sosial, karena orang-orang akan semakin takut untuk berekspresi. Cancel culture adalah fenomena yang membutuhkan sikap yang lebih bijak dan konstruktif. Cancel culture dapat berfungsi sebagai alat yang efektif, namun jika tidak diaplikasikan dengan hati-hati, pendekatan ini bisa menjadi boomerang sehingga mampu merusak tatanan sosial yang telah dicoba untuk diperbaiki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun