Mohon tunggu...
Chairunisa Rohadi
Chairunisa Rohadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pembelajar

Make it easy readers, lets talk about Islam holistically.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menyoal Standar Hidup Layak di Indonesia, Sebuah Kemunafikan

7 Desember 2024   12:00 Diperbarui: 7 Desember 2024   12:15 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mendapat sorotan tajam setelah memberikan pernyataan penerapan standar hidup layak (SHL) sebesar Rp 1,02 juta per bulan. Angka ini jelas saja menimbulkan pertanyaan besar, apakah nilai tersebut mencerminkan kesejahteraan rakyat Indonesia? Benarkah standar sesuai dengan kualitas yang didapatkan? Dan siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat ini?

Standar Hidup Layak dalam Sistem Kapitalisme, termasuk Negeri ini

Dalam pandangan kapitalisme, kesejahteraan rakyat sering kali diukur melalui pendekatan kolektif, seperti pendapatan per kapita. Namun, metode ini memiliki kelemahan mendasar: ia menyamarkan realitas individu miskin di balik rata-rata nasional. Dengan kata lain, meskipun angka pendapatan per kapita terlihat menjanjikan, kenyataan di lapangan bisa jauh berbeda. 

Banyak rakyat yang hidup dalam kekurangan, bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan.

Dalam kehidupan modern, biaya hidup di Indonesia terus meningkat di berbagai sektor. Mulai dari kebutuhan pokok seperti pangan, papan, hingga layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan, semuanya mengalami kenaikan signifikan. Belum lagi rencana kenaikan tarif PPN yang diketok mencapai 12% pada 2025 juga diperkirakan akan memicu lonjakan harga barang dan jasa, sehingga membebani rumah tangga dengan pendapatan rendah.

Bahkan, banyak usaha kecil dan menengah harus menyesuaikan harga mereka, yang dapat menurunkan daya saing di pasar dan memperburuk ketimpangan sosial. Kenaikan harga yang tidak hanya dirasakan oleh konsumen, tetapi juga pelaku usaha yang menghadapi biaya produksi lebih tinggi. Pada akhirnya, situasi ini dapat mengurangi daya beli masyarakat, yang merupakan pendorong utama ekonomi, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Sudah jelas bahwa penetapan SHL oleh BPS dengan jumlah minimal yang sejatinya belum cukup untuk menciptakan kesejahteraan individu riil menunjukkan kelemahan cara pandang kapitalisme terhadap rakyat. Sistem ini tidak menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama, melainkan menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi yang sering kali hanya menguntungkan segelintir pihak.

 Sebagai akibatnya, negara dianggap lalai dalam menjalankan tanggung jawabnya untuk mengurus rakyat dengan adil.

Islam sebagai Alternatif Solusi Kesejahteraan

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang kesejahteraan rakyat sebagai tugas pokok negara. Dalam sistem ekonomi Islam, negara berfungsi sebagai raa'in atau pengurus rakyat yang bertanggung jawab atas kesejahteraan setiap individu, bukan sekadar kelompok atau rata-rata.

Islam memiliki konsep yang komprehensif dalam mengelola sumber daya untuk mencapai kesejahteraan rakyat:

Kepemilikan Harta

Islam membagi kepemilikan menjadi tiga kategori: individu, umum, dan negara. Kepemilikan umum, seperti sumber daya alam, harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Pendapatan dari pengelolaan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat tanpa diskriminasi.

Pemenuhan Kebutuhan Dasar

Negara Islam wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, seperti sandang, pangan, dan papan. Layanan kesehatan dan pendidikan juga menjadi tanggung jawab negara, sehingga setiap individu dapat mengaksesnya tanpa terkendala biaya.

Penerapan Sistem Islam Secara Kafah

Dengan menerapkan Islam secara menyeluruh yang mengembalikan hukum pada Allah berdasarkan aturan Al-Qur'an dan As-sunnah, negara mampu menciptakan kebijakan yang berpihak pada rakyat, memastikan distribusi kekayaan yang adil, dan menghapus ketimpangan sosial.

Kesejahteraan dalam Sejarah Islam

Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, kas negara (baitul mal) digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk memberikan bantuan kepada yang membutuhkan. Bahkan, pada masa tersebut, hampir tidak ditemukan masyarakat miskin karena sistem distribusi kekayaan yang adil dan efisien.

Penetapan standar hidup layak yang tidak mencerminkan kebutuhan riil rakyat adalah cerminan dari kelemahan sistem kapitalisme. Sistem ini gagal memberikan kesejahteraan yang merata dan menjadikan rakyat sebagai prioritas utama. Sebaliknya, Islam menawarkan solusi komprehensif yang berfokus pada kesejahteraan individu per individu melalui pengelolaan sumber daya yang adil dan pemenuhan kebutuhan dasar oleh negara.

Dengan memahami perbedaan mendasar ini, sudah saatnya kita mempertimbangkan sistem Islam sebagai alternatif untuk menciptakan kesejahteraan sejati bagi seluruh rakyat. Wallahu'alam bissawab***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun