Demokrasi yang seharusnya menjadi ruang aspirasi rakyat kini berubah menjadi arena permainan kepentingan, penuh strategi politik yang hanya menguntungkan kelompok tertentu. Dua kasus belakangan ini, yaitu upaya pembungkaman Najwa Shihab melalui fitnah dan panggilan persidangan terhadap Tom Lembong atas dugaan korupsi, menggarisbawahi bagaimana sistem kapitalisme dengan pedangnya bernama demokrasi menciptakan iklim politik yang cenderung represif.
Mereka yang berdiri di luar lingkaran rezim atau dianggap sebagai ancaman akan menghadapi tekanan yang begitu kuat, sebuah bukti dari pergeseran fungsi demokrasi menjadi alat pemukul untuk mempertahankan dominasi kekuasaan.
Najwa Shihab dan Fenomena Karakter Assassination
Najwa Shihab, seorang jurnalis terkenal yang kerap bersikap kritis terhadap berbagai persoalan bangsa, baru-baru ini menghadapi serangan fitnah yang dirancang untuk merusak reputasinya. Melalui berbagai platform, ia diposisikan sebagai sosok yang pantas dicurigai atau bahkan dibenci.
 Tindakan ini bukan pertama kali terjadi dalam politik Indonesia. Karakter assassination atau pembunuhan karakter, adalah strategi klasik untuk menyingkirkan suara kritis yang berpotensi menggerus citra penguasa.
Sebaliknya, figur seperti Nikita Mirzani, selebritas yang kerap mencari masalah dengan banyak pihak, justru tidak mendapat tekanan serupa dari aparat. Alih-alih dibungkam, sosok seperti Nikita sering kali dianggap sebagai alat pengalihan isu atau bahkan diabaikan saat ada kritikan terhadap kekuasaan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sistem kapitalisme dengan demokrasi di permukaannya tidak sungguh-sungguh memberikan ruang setara bagi setiap individu. Mereka yang "bermasalah" tapi tidak mengancam kekuasaan masih bisa diberi tempat di ruang publik, sementara yang kritis dan berpotensi menggoyang status quo akan cepat dilumpuhkan.
Tom Lembong dan Tuduhan Korupsi di Balik Kebijakan Impor
Kasus Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang saat ini diseret ke meja hijau karena kebijakan impor gula pada tahun 2015, menyisakan banyak tanda tanya. Mengapa kebijakan yang telah lama berlalu baru sekarang dipermasalahkan? Kenapa baru sekarang ada tuduhan korupsi terkait kebijakan tersebut?
Tom Lembong dikenal sebagai sosok yang kerap menyuarakan kritik terhadap pemerintahan, dan sikap ini tentu bertentangan dengan posisi pemerintah saat ini. Belum lagi posisinya sebagai co-captain paslon lawan pasangan pemenang yang saat ini sudah resmi menjabat.
Langkah untuk mengadili kebijakannya bisa jadi merupakan salah satu cara untuk menyingkirkannya dari percaturan politik yang dapat mengganggu stabilitas kekuasaan. Terlebih, nama-nama yang sudah lebih dulu terseret dugaan korupsi masih anteng bahkan melenggang di kabinet Merah Putih.
Menarik untuk dicatat bahwa di era politik yang didominasi demokrasi kapitalistik, kebijakan yang pernah dianggap legal dan konstitusional dapat digunakan sebagai senjata balik untuk melemahkan seseorang yang dianggap "tidak sepihak" dengan penguasa.
Demokrasi Kapitalisme: Sebuah Sistem yang Berat Sebelah
Fenomena di atas adalah gambaran dari sebuah sistem yang dijalankan berdasarkan kepentingan kapitalisme, yang mana demokrasi hanya berfungsi sebagai kedok. Dalam demokrasi kapitalisme, tujuan utama bukanlah menciptakan kebijakan yang baik untuk rakyat, melainkan untuk menjaga stabilitas kekuasaan bagi mereka yang berkuasa dan para pendukungnya.
Rakyat hanya dianggap sebagai alat perolehan suara saat pemilu, namun setelahnya menjadi penonton, sementara kebijakan yang ada dijalankan sekadarnya, sekadar untuk menunjukkan bahwa pemerintah masih bekerja.
Istilah "sejarah ditulis oleh pemenang" sangat relevan dalam konteks ini. Mereka yang berkuasa memiliki kendali penuh terhadap narasi dan peristiwa. Pihak-pihak yang dianggap kalah, tidak lagi sesuai dengan kepentingan rezim, atau berpotensi menggoyang kursi kekuasaan akan dimatikan karakternya atau dipaksa menghadapi berbagai tuntutan.
Ketika kekuasaan menjadi orientasi utama, rakyat kehilangan tempat dan peran dalam percaturan politik yang sejatinya harus menjadi milik mereka.
Rakyat, Alat Perolehan Suara dan Penonton di Tengah Kekuasaan yang Berlayar Sendiri
Rakyat memang sering dijadikan alat perolehan suara oleh para elite politik, namun setelah pemilu selesai, mereka hanya menjadi penonton. Kebijakan yang menyentuh kesejahteraan rakyat sering kali hanyalah "lip service" atau bahkan tak terlaksana sama sekali.
Hal ini terbukti dari berbagai program dan janji yang tak kunjung terealisasi dengan baik, padahal dana dan sumber daya yang besar dikerahkan untuk kampanye dan politik pencitraan.
Bahkan program yang bersifat populis kerap kali hanya dijadikan batu loncatan untuk memperoleh dukungan publik tanpa memperhatikan dampak jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat.
Akibatnya, rakyat harus puas dengan sedikit perbaikan sementara para elit terus berlayar dalam kapal besar kekuasaan mereka, dengan berbagai fasilitas dan keuntungan yang tak pernah tersentuh oleh masyarakat biasa.
Menyikapi Ketidakadilan dalam Demokrasi Kapitalisme
Situasi ini menunjukkan bahwa demokrasi kapitalisme di Indonesia telah menyimpang dari tujuan awalnya untuk memberikan keadilan dan kesetaraan bagi semua pihak. Ketika demokrasi dijalankan di bawah bayang-bayang kapitalisme, kekuasaan menjadi semakin eksklusif dan sulit disentuh oleh rakyat.
Maka, dibutuhkan kesadaran kolektif dari masyarakat untuk mempertanyakan legitimasi dan efektivitas sistem yang ada, serta membuka peluang untuk mencari alternatif lain yang lebih mampu menjamin kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat.
Jika demokrasi kapitalisme terus dijalankan tanpa koreksi, maka rakyat akan terus menjadi korban dari ambisi segelintir elite yang mengutamakan kekuasaan di atas kepentingan rakyat. Sejarah akan terus ditulis oleh para pemenang yang bukan rakyat, dan yang menjadi pemenang adalah mereka yang memiliki kuasa untuk menulisnya sesuai keinginan mereka.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H