Oleh: Chairul Fahmi
Pekerja The Aceh Institute,
Alumni Master in European Law and Policy, University of Portsmouth, UK
Dalam pertemuan disebuah restoran di atas Canal Kota Amsterdam, Belanda. Jusuf Kalla pernah mengatakan kepada delegasi GAM bahwa “GAM memang hebat telah bertempur selama 30 tahun. Namun Indonesia akan mempersiapkan perang selama 100 tahun lagi jika GAM tetap berperang”. Ungkapan ini pernah diungkapkan oleh Kalla dalam pelucuran buku Damai di Aceh:Catatan PerdamaianRI-GAM di Helsinki, karya Hamid Awaluddin.
Terlepas bahwa kalimat seperti itu sebagai sebuah ultimatum atau ancaman bagi delegasi GAM. Namun perjuangan dan perjalanan panjang Kalla saat itu telah membawa kepada perdamaian di Aceh. Para delegasi itu akhir bersepakat dengan janji masing-masing pihak untuk menandatangani sebuah naskah perdamaian, pada tanggal 15 Agustus 2005, yang kemudian dikenal dengan MoU Helsinki.
Gerakan Aceh Merdeka berjanji untuk melepaskan tuntutan kemerdekaan untuk membentuk satu Negara yang merdeka. Sementara RI berjanji bahwa Aceh akan diberikan hak (kewenangan) otonomi khusus dalam NKRI. Aceh akan mempunyai hak-hak khusus yang tidak dimiliki oleh Provinsi lainnya di Indonesia. Kewenangan khusus tersebut baik dalam bidang administratif, politik, hukum, politik hukum (legal policy), ekonomi, agama dan sosial-budaya.
Namun setelah MoU Helsinki berumur 5 tahun, adakah semua janji itu telah ditepati? Apakah pasal-pasal dalam UUPA sejalan dengan klausal perjanjian damai dalam MoU Helsinki? Adakah Aceh telah mendapatkan status otonomi khusus seperti yang pernah dijanjikan?
Janji yang tidak ditepati
Dalam sebuah edisi (13/08/10), harian Serambi Indonesia merilis sebuah berita bahwa “Meukue Anulir RPP Sabang, Pemerintah Aceh Kecewa dan Merasa ditipu lagi”. RPP Sabang adalah sebuah turunan aturan dari UU yang memberikan kewenangan khusus bagi Aceh tentang kawasan bebas Sabang, dimana setiap perdagangan dan tata niaga akan bebas dari biaya masuk dan bea cukai lainnya. Sehingga dengan demikian perekonomian di Aceh diharapkan akan tumbuh berkembang.
Namun kemudian, draft tersebut akhirnya dibatalkan. Sehingga mengakibatkan seluruh praktek perdagangan di Aceh harus mengikuti aturan yang berlaku secara umum. Pembatalan ini telah menimbulkan sebuah kesimpulan bahwa “Aceh ditipu lagi”. Bahkan seorang pakar hukum Mawardi Ismail mengatakan hal seperti ini sebagai ”sebuah praktek yang tidak terpuji dalam hubungan ketatanegaran”.
Sebenarnya, fenomena Aceh ditipu dan janji yang tak ditepati adalah bukan hal baru. Melainkan hal ini terus terjadi berulangkali. Ketika Soekarno menagis dihadapan Teungku Daud Bereueh, yang meminta agar Aceh dapat membantu perjuangan Indonesia melawan agresi Belanda kedua, dengan berjanji bahwa Aceh akan diberikan kewenangan khusus untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah. Namun setelah Daud Bereueh membantu perjuangan Soekarto, jabatan beliau sebagai Gubernur Militer Aceh Langkat di cabut dan Aceh digabung dibawah Sumatra Utara. Janji itu tak ditepati.
Pada masa Presiden Megawati, dihadapan ribuan jamaah mesjid raya Baiturrahman. Sang Presiden berjanji sambil berurai air mata mengatakan bahwa tidak akan ada lagi darah yang tumpah di Aceh. Namun kenyataan yang terjadi adalah Aceh menjadi daerah bersimbah darah, dibawah operasi Darurat Militer, semua orang di dicurigai, pengungsian terjadi dimana-mana, pembunuhan dengan mudah dilakukan tanpa ada proses hukum dan peradilan. [Baca;operasi militer diAceh].
Kewenangan yang Terpasung
Meskipun hubungan Aceh dan pemerintah pusat RI banyak catatan yang pahit. Namun Aceh sebagai penyelamat republik pada agresi kedua Belanda, masih menaruh harapan, bahwa dengan MoU Helsinki, maka Aceh dan rakyatnya akan lebih bermartabat, yaitu dengan adanya sebuah kewenangan khusus, yang telah disepakati.
Dalam MoU Helsinki yang kemudian diratifikasi dalam bentuk UU Pemerintah Aceh, setidaknya Aceh mempunyai 25 kewenangan khusus. Mulai dari Kewenangan membangun kawasan khusus untuk perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas (Pasal 4 UUPA), sampai kewenangan dalam hal pengaturan bidang pertanahan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 253 dinyatakan bahwa “Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjadi Badan Pertanahan Aceh (BPA) dan Badan Pertanahan Kabupaten/Kota”.
Ironis, bahwa kewenangan itu hanya ada dalam pasal UU saja, karena Aceh tidak dapat melaksanakan kewenangan itu karena tanpa ada Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan turunan untuk melaksanakan semua kewenangan tersebut.
Padahal dalam Pasal 271 disebutkan bahwaPenetapan peraturan-peraturan pelaksana tersebut menjadi kewajiban pemerintah pusat: “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menjadi kewajiban Pemerintah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Yaitu sejak UUPA disahkan pada tahun 2006.
Lebih jauh, jika kita lakukan analisis perbandingan, banyak sekali perbedaan yang significant antara klausal MoU dengan pasal-pasal dalam UUPA. Pasal dalam UUPA lebih general dan mengkaburkan substansi , jika dibandingkan dengan pasal dalam MoU Helsinki. Misalnya, Pasal 160 UUPA menyatakan bahwa: ”Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh”. Sementara dalam MoU Helsinki poin 1.3.5 dinyatakan: “Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang adasaat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh”.
Dalam klausal ini sangat jelas disebutkan bahwa dana hasil migas di Aceh harus dialokasikan untuk Aceh sebanyak 70%. Sementara akibat terjadinya pengkaburan jumlah pembagian tersebut dalam UUPA, menjadikan hasil dari penjualan gas dan energy lainnya yang diambil dari bumi Aceh tidak pernah transparan. Hal inilah yang pernah dikritik oleh Pemerintah Aceh bahwa Jakarta harus transparan dalam pengelolaan dana Migas.
Inilah sebuah fakta, bahwa ketika janji itu tak ditepati maka akan menimbulkan berbagai kekecewaan, yang pada akhirnya akan melahirkan sebuah “konflik” baru. Paling tidak konflik saling tidak percaya dan saling curiga.
Maka Rasulullah selalu berpesan bahwa janji itu haruslah ditepati, sehingga tidak ada yang kecewa, curiga, dan sakit hati. Bahkan Beliau mengatakan orang yang tidak menapati janji adalah salah satu ciri-ciri munafik.
Semoga dihari ulang tahun yang kelima ini, dan peringatan kemerdekaan republic yang ke-65. Indonesia akan menjadi republik yang selalu menjadi amanahnya, tidak menjadi munafik yang mengingkari janji lagi dan Aceh akan selalu dalam kedamaian, bukan keinginan untuk mempersiapkan 100 tahun perang lagi. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H