Meskipun hubungan Aceh dan pemerintah pusat RI banyak catatan yang pahit. Namun Aceh sebagai penyelamat republik pada agresi kedua Belanda, masih menaruh harapan, bahwa dengan MoU Helsinki, maka Aceh dan rakyatnya akan lebih bermartabat, yaitu dengan adanya sebuah kewenangan khusus, yang telah disepakati.
Dalam MoU Helsinki yang kemudian diratifikasi dalam bentuk UU Pemerintah Aceh, setidaknya Aceh mempunyai 25 kewenangan khusus. Mulai dari Kewenangan membangun kawasan khusus untuk perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas (Pasal 4 UUPA), sampai kewenangan dalam hal pengaturan bidang pertanahan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 253 dinyatakan bahwa “Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjadi Badan Pertanahan Aceh (BPA) dan Badan Pertanahan Kabupaten/Kota”.
Ironis, bahwa kewenangan itu hanya ada dalam pasal UU saja, karena Aceh tidak dapat melaksanakan kewenangan itu karena tanpa ada Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan turunan untuk melaksanakan semua kewenangan tersebut.
Padahal dalam Pasal 271 disebutkan bahwaPenetapan peraturan-peraturan pelaksana tersebut menjadi kewajiban pemerintah pusat: “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menjadi kewajiban Pemerintah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Yaitu sejak UUPA disahkan pada tahun 2006.
Lebih jauh, jika kita lakukan analisis perbandingan, banyak sekali perbedaan yang significant antara klausal MoU dengan pasal-pasal dalam UUPA. Pasal dalam UUPA lebih general dan mengkaburkan substansi , jika dibandingkan dengan pasal dalam MoU Helsinki. Misalnya, Pasal 160 UUPA menyatakan bahwa: ”Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh”. Sementara dalam MoU Helsinki poin 1.3.5 dinyatakan: “Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang adasaat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh”.
Dalam klausal ini sangat jelas disebutkan bahwa dana hasil migas di Aceh harus dialokasikan untuk Aceh sebanyak 70%. Sementara akibat terjadinya pengkaburan jumlah pembagian tersebut dalam UUPA, menjadikan hasil dari penjualan gas dan energy lainnya yang diambil dari bumi Aceh tidak pernah transparan. Hal inilah yang pernah dikritik oleh Pemerintah Aceh bahwa Jakarta harus transparan dalam pengelolaan dana Migas.
Inilah sebuah fakta, bahwa ketika janji itu tak ditepati maka akan menimbulkan berbagai kekecewaan, yang pada akhirnya akan melahirkan sebuah “konflik” baru. Paling tidak konflik saling tidak percaya dan saling curiga.
Maka Rasulullah selalu berpesan bahwa janji itu haruslah ditepati, sehingga tidak ada yang kecewa, curiga, dan sakit hati. Bahkan Beliau mengatakan orang yang tidak menapati janji adalah salah satu ciri-ciri munafik.
Semoga dihari ulang tahun yang kelima ini, dan peringatan kemerdekaan republic yang ke-65. Indonesia akan menjadi republik yang selalu menjadi amanahnya, tidak menjadi munafik yang mengingkari janji lagi dan Aceh akan selalu dalam kedamaian, bukan keinginan untuk mempersiapkan 100 tahun perang lagi. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H