oleh : Chairul Basrun Umanailo
085243002500: chairulbasrun@gmail.com
Bangsa Indonesia kembali dikejutkan dengan kolom, kolom dalam baris Kartu Tanda Penduduk yang mengisyaratkan agama bagi setiap pemiliknya. perdebatan terus berlanjut dan tidak bisa dihentikan atas nama perdamaian. Sebab musabab dari perdebatan yang panjang adalah ketika Menteri Dalam Negeri (Cahyo Kumolo) melemparkan wacana penghapusan kolom agama dalam KTP sebagai keberpihakan pada kaum minoritas di Indoensia.
Dalam tulisan ini pun saya tidak membela pada siapa yang benar, semurni logika saya berpikir bahwa agama merupakan identitas kultural dan sangat sensitif ketika pemaknaan terhadap agama itu sendiri harus bertentangan. Pada waktu negara ini dibangun, sadar atau tidak agama lah yang kemudian menjadi katalisator, identitas para pendahulu kita bahkan Founding Father selalu terdepan dalam berkecampuk dengan berbagai situasi penguasaan kalonialisasi. Sebut Saja Agus Salim, dengan percaya dirinya hingga ke Negeri Belanda tetap menggunakan sarung sebagai identitas Islamnya yang kuat dan itupun tidak menjadi masalah dalam berdiplomasi atau bernegara pada saat itu.
Dalam beberapa kutipan yang coba saya rangkum, seraya ingin memahami apa itu konsep agama? kembali kita mempertanyakan agama pada titik awal dimana kesadaran anda maupun saya masih berada pada tataran “mencari”. Seorang filosof berkembangsaan Pakistan, Sir DR Mohammad Iqbal, menulis bahwa sebenarnya “agama” itu merupakan suatu pernyataan utuh dari manusia (Damani 2002). Menurut hendro puspito agama adalah suatu jenis sistem sosial yang di buat oleh penganut-penganut nya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non empiris yang di percayainya dan di daya gunakan nya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas umum nya (B.R Wilson). Lain lagi ketika Emile Durkheim seorang Sosiolog yang menyatakan bahwa agama merupakan proyeksi pengalaman sosial.
Agama merupakan bentuk kesadaran manusia yang termanifestasi pada suatu kultur dimana manusia awalnya terpasung karena keturunan dan membuat kemungkinan untuk berubah seiring pembentukan kesadarannya. Kesadaran terbentuk oleh dan dari dirinya sendiri. Menurut Berger, manusia secara ontogenetis dilahirkan dalam bentuk kedirian yang “belum selesai”. Keberadaannya di-dunia, dengan demikian, merupakan proses untuk “menjadi manusia”. Manusia, dalam konteks tersebut, secara terus-menerus melakukan proses eksternalisasi diri. Ia selama proses tersebut mencurahkan makna-makna ke dalam realitas (Irfan Noor). Maka Agama menjadi sebuah cerminan bagi setiap individu dalam keseharian yang berhadapan dengan realitas sosial. Apa yang saya anggap sebagai “terpasung” merupakan bagian keberhinggaan yang sering di temukan dalam kajiannya Peter L Berger.
Maka ketika seseorang tidak mampu mengurai keterpasungannya dalam realitas sosial sulit baginya untuk hidup selayaknya individu yang mampu melepaskan keterpasungannya itu. Hal ini terkait dengan identitas yang ketika dalam pertukaran simbolik menjadi modal utama dalam berinteraksi. Kultur budaya kita memiliki unsur pemaksa, anda akan sulit bereksistensi ketika harus berhadapan dengan kelompok yang secara Sosiologis memiliki homogenitas. Dan hasil dari situasi seperti ini adalah anomaly. Agama merupakan instrument penyusun keteraturan sosial, agama mempolarisasi masyarakat pada tiap-tiap diferensiasi dengan berbagai aturan serta norma yang ditetapkan.
Agama dalam identitas merupakan penanda bahwa eksistensi agama sebagai katalisator kehidupan manusia itu jelas sangat berarti. Seluruh agama memiliki aturan jelas serta orientasi dan perilaku dalam menjalankan agama pun sudah ditetapkan. Artinya agama mempolarisasikan individu sesuai tujuan agama itu sendiri. Dan ketika seseorang memilih untuk memeluk salah satu agama tentunya memiliki argumentasi yang kuat, seperti misalnya rasa nyaman, jati diri serta perlindungan.
Kembali saya singgung kolom KTP tentang agama, sebab bukan sekedar tulisan Islam, Kristen, Hindu, Budha serta Konghucu, melainkan tersirat identitas kita yang sangat kuat sebagai individu yang memiliki proyeksi kehidupan, apa jadinya ketika seseorang tidak memiliki proyeksi tentang kehiduapnnya sendiri. Lagi-lagi keteraturan sosial kita akan terusik. Saya bisa bayangkan ketika KTP tanpa kolom agama maka kebebasan itu akan menjadi liar saat seseorang akan keluar masuk tempat ibadah, tanpa pernah merasa dia bagian dari ibadah tersebut, dan akan seenaknya mengaburkan agama-agama yang ada dengan ajaran intepretasinya.
Seingat saya, Max Weber mampu mengurai kapitalisme dari bagian yang menceritakan etos kerja berdasarkan agama, Jadi ketika usulan Pemerintah untuk menghapus kolom agama dalam KTP berarti pemerintah sendiri yang menghancurkan identitas rakyatnya, menghancurkan diferensiasi dan meleburkan tata nilai yang berhasil mengakomodir kehidupan sosial kita. Rakyat masih butuh identitas, Rakyat masih butuh keteraturan, ingat Bangsa Indonesia bisa hancur hanya karena 3 hal; 1, Agama di pasung, 2. Ekonomi di kebiri, 3. pemimpin ber“Onani”. Semoga kesadaran itu bisa tumbuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H