Mohon tunggu...
Chairul Amri Sanusi
Chairul Amri Sanusi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang guru yang terus belajar untuk menjadi guru yang bisa ditiru dan digugu, mengelola website: http://www.chairulamri.my.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sebuah Kisah Mengharukan Sebelum Tsunami Terjadi

27 Desember 2014   09:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:22 1110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1419621929733347152

[caption id="attachment_386355" align="alignleft" width="784" caption="tsunami effect"][/caption]

Desa Lambada Lhok kecamatan Baitussalam Aceh Besar terkenal dengan daerah pesisir dan pesona alamnya yang indah karena sebelah utaranya berhadapan langsung dengan laut samudera yang luas. Sehari-harinya masyarakat bekerja sebagai nelayan tangkap ikan.

Begitu pulalah yang dilakukan oleh Hamdani dan 3 kawannya, pagi itu awal November 2004 tepatnya 24 Ramadhan 1425 H, menjelang lebaran mereka berangkat menuju laut lepas dengan menggunakan boat pancing ukuran 6 GT berharap bisa membawa pulang hasil tangkapan sekedar untuk mencukupi kebutuhan meugang dan uro raya (meugang=tradisi sakral di Aceh, uro raya=hari Raya) yang sudah di depan pintu.

Namun takdir berkata lain, keesokan harinya 25 ramadhan 1425 H boat mereka mengalami kerusakan parah di bagian mesin di sekitar daerah Gerutee (daerah Lamno Aceh Jaya). Berbagai macam usaha dilakukan untuk memperbaiki mesin dan berharap bantuan barangkali ada nelayan lain yang lewat bisa membantu mereka, namun usaha itu sia-sia. Sementara persediaan makanan pun mulai menipis karena bekal yang di bawa hanya cukup untuk bekal 4 hari.

Sejak saat itulah mereka menghabiskan hari-harinya terombang-ambing oleh ombak dan hanyut tak menentu arah selama berhari-berhari. Terpaksa mereka harus ekstra berhemat untuk menjaga persediaan.

Mereka hanya bisa pasrah, sementara di Gampong (desa) keluarga dan masyarakat pun mulai cemas setelah mereka seharusnya sudah kembali ke darat tapi belum ada tanda-tanda mereka akan kembali.

Masyarakat di bawah komando Kepala Desa dan Panglima Laot (pemuka adat bagian laut) waktu itu juga melakukan pencarian selama berhari-hari dengan melibatkan semua pihak dan juga menempuh jalur diplomasi melalui lembaga panglima laot lhok dan provinsi, namun belum ada hasilnya. Saat itu saya masih ingat tiap pulang dari shalat tarawih di mesjid, kami bersama keluarga yang ikut hanyut serta warga lainnya selalu menggelar do’a bersama di rumah nenek (Hamdani adalah adik ibu/paman saya).

Lebaran tiba, keluarga isteri dan anak yang ditinggalkan melewatkan lebaran tanpa kehadiran orang yang mereka sayangi, bayang-bayang kekhawatiran akan nasib mereka selalu menghantui pihak keluarga. Hanya do’a yang bisa diucapkan untuk keselamatan mereka.

Pada hari ke 25 mereka hanyut di bawa ombak, kondisi fisik mereka dan juga boat sudah sangat mengkhawatirkan, namun ada sebuah kapal besar yang namanya masih bisa dihafal betul oleh paman saya “SPIRIT OF ALPHA” sebuah kapal barang yang mau ke Amerika Serikat melintas di samping boat mereka. Mengetahui mereka adalah nelayan yang hanyut lalu awak kapal itu membantu 1 goni beras dan lauk lainnya sebelum kapal tersebut melanjutkan perjalanannya.

Dengan bekal itulah mereka bertahan hidup ditengah-tengah ombak besar di laut lepas yang menggulung, diperkirakan ombaknya mencapai sampai 7-9 meter. Dengan kondisi tubuh yang lemas dan fisik kapal yang sudah dipenuhi air dan terus menerus diterjang ombak tentunya hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan mereka.

Dengan kehendak yang maha kuasa dari jauh nampak sebuah boat kecil semakin lama semakin mendekat dengan mereka, rupanya boat itu milik nelayan Srilangka yang tengah melintasi di wilayah itu.

Melihat kondisi boat yang hampir tenggelam, nelayan Srilangka ini lalu mengisyaratkan kepada paman saya cs untuk naik ke kapal mereka. Lalu mereka bergegas meninggalkan boat yang hampir karam itu dan butuh waktu selama dua hari dua malam sebelum mereka tiba ke daratan daerah Srilangka.

Mereka diinapkan sementara di kantor pos polisi laut (airudnya kita) selama 2 hari sebelum dijemput oleh pihak KBRI lalu mereka di bawa ke Colombo ibu kota Srilangka. Sempat tinggal selama lebih kurang 10 hari di Colombo.

Kamis, 24 Desember 2004, saya menerima telepon dari staf panglima laot provinsi waktu itu Bang Miftahuddin Cut Adek, bahwa pihak KBRI Colombo sudah menghubungi mereka untuk memulangkan nelayan Aceh yang hanyut ke Srilangka dengan menempuh rute Colombo-Singapura-Medan.

Sampai di Medan Jum’at pagi , 25 Desember 2004. Malamnya langsung menuju Banda Aceh dengan menggunakan bus. Tentunya keluarga yang sudah tahu informasi kepulangan mereka bersyukur karena segera akan berjumpa kembali setelah selama lebih kurang 38 hari hanyut tidak jelas nasibnya.

Sabtu, 25 Desember 2004, keluarga dekat dan jauh berdatangan untuk melihat dan menjenguk mereka yang baru saja tiba paginya dari Medan. Lazimnya adat masyarakat Aceh mereka di peusijuk oleh saudara dan handai taulan.

Pagi itu, Minggu 26 Desember 2004 pukul 07. 30 wib sebuah gempa 9.6 SR yang disusul oleh gelombang Tsunami meluluhlantakkan daerah pesisir Aceh. Desa Lambada Lhok adalah merupakan salah satu desa yang paling parah terkena bencana ini. Semua bangunan rata dengan tanah kecuali yang tersisa hanya Masjid dan sebuah tower penampung air bersih. Dan lebih kurang 650 jiwa yang selamat dari sekitar 2200 jiwa sebelumnya.

Pagi Minggu kira-kira pukul 11.00 wib setelah gempa dan Tsunami, saya menuju ke arah Lambaro Angan dari Pagar Air Lambaro Kafe. Setibanya di masjid Lambaro Angan melihat begitu banyak jenazah yang terletak di luar masjid dan dalam masjid. Di antaranya banyak yang saya kenal karena memang saudara dan warga desa LambadaLhok.

Tiba-tiba saya melihat wajah paman saya (Hamdani) sedang berdiri diantara warga yang selamat lalu saya dekati dan kami saling berpelukan. Masih segar dalam ingatan saya ucapan yang beliau ucapkan pada waktu itu sambil terisak-isak. “Allah masih sangat sayang kepada saya, setelah berpuluh-puluh hari saya selamat dari gelombang di laut, kini Allah juga selamatkan saya dari musibah ini (gempa dan Tsunami)”

Subhanallah... saya tidak bisa berkata apa-apa, hanya bisa terus menangis, setelah beberapa hari kemudian dipastikan bahwa Ibu (nenek saya), isteri dan dua orang putra-putrinya ikut jadi syuhada Tsunami. Sementara kawannya yang lain yang hanyut bersama-sama tidak ada yang selamat baik isteri maupun anak-anaknya. Bahkan konon khabarnya serombongan keluarga isteri salah seorang dari mereka yang berasal dari Montasik menjadi korban ketika hendak berkunjung ke Lambada.

Setelah berpisah selama 40 hari dengan ibu, isteri dan anaknya karena hanyut di laut ketika mencari nafkah, lalu berjumpa sejenak di hari Sabtu,  dan pada hari Minggu mereka berpisah kembali untuk selamanya karena dijemput takdir musibah Tsunami. Allahu Akbar...

Kini Hamdani paman saya, masih sebagai seorang nelayan yang tegar, senantiasa menantang ombak untuk terus bisa manyambung hidup menafkahi sepasang putra putri yang telah Allah gantikan setelah Tsunami bersama isterinya.

Allahummaghfirlahum warhamhum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun