Mohon tunggu...
Chair Muhammad
Chair Muhammad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Negeri Malang

saat ini sebagai mahasiswa S1 Ekonomi Pembangunan di Universitas Negeri Malang, memiliki minat pada bidang ekonomi serta bisnis secara keseluruhan

Selanjutnya

Tutup

Financial

Siapkah Indonesia Akan Redenominasi Rupiah?

21 Februari 2023   14:05 Diperbarui: 21 Februari 2023   14:27 8362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Pertimbangan utama adalah kekhawatiran terjadinya hiperinflasi karena perubahan nominal uang mengakibatkan pedagang menaikkan pembulatan uang ke atas,” ungkap Bhima

Misalnya harga barang sebelum penyederhanaan uang seharga Rp.9.300 kemudian tidak mungkin naik menjadi Rp. 9,5 setelah redenominasi. “Yang ada sebagian harga dijadikan Rp.10, ada pembulatan nominal baru ke atas. Apabila kondisi ini terjadi dikhawatirkan akan sulit dikontrol oleh pemerintah dan BI. Akibatnya apa? Hiperinflasi bahkan bisa mengakibatkan krisis kalau tidak hati-hati,”  sambungnya

Terlepas adanya  pro kontra dari berbagai pihak. Tujuan didorongnya Redenominasi dinilai penting agar perekonomian Indonesia bisa setara dengan negara-negara lain atau mata uang rupiah terasa lebih bernilai jika dibandingkan mata uang negara lain. Misalnya sebelum redenominasi US$1 senilai dengan Rp15.100, setelah redenominasi US$1 menjadi Rp15,1. Di mata internasional, hal ini jelas lebih ringkas, dapat mencerminkan kesetaraan kredibilitas dengan negara maju lainnya.

Serta dari sudut pandang investor, akan lebih mudah untuk menaruh uang kedalam negeri yang nilai mata uangnya sudah dilakukan penyederhanaan nilai, dengan kata lain mata uang setelah redenominasi cenderung mendapatkan kepercayaan dari para investor yang berimbas pada penguatan mata uang Rupiah.

Juga perlunya pemerintah mensosialisasikan kepada masyarakat agar tidak terjadi kebingungan dalam bertransaksi. Berkaca dari beberapa negara yang sukses melakukan redenominasi yaitu Turki melakukan kebijakan redenominasi selama 10 tahun dan Rumania selama hampir 2 tahun. Diperlukan sosialisasi sejak dini, massif dan secara terus-menerus kepada masyarakat agar masyarakat memahami bahwa kebijakan redenominasi itu berbeda dengan sanering.

Sebenarnya sudah siapkah kita dengan redenominasi rupiah? Menurut pendapat pribadi, dalam 3-5 tahun kedepan kita belum siap akan kebijakan penyederhanaan rupiah. Berikut berbagai alasan mengapa kebijakan tersebut tidak mudah diimplementasikan di Indonesia:

Hambatan utama berasal dari letak geografis Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang dihubungkan oleh laut. Kondisi tersebut membuat distribusi perekonomian di Indonesia tidak merata. Alhasil beberapa daerah akan kesulitan mengakses uang baru hasil kebijakan ini, bahkan untuk sekedar mengetahui kebijakan dari pemerintah, masyarakat kesulitan untuk mengakses informasi. Jika kita ambil contoh dari negara yang berhasil melaksanakan kebijakan redenominasi seperti Turki maupun Rumania, mereka tidak memiliki hambatan seperti luasnya wilayah ataupun banyaknya pulau seperti yang dimiliki Indonesia serta keberhasilan negara-negara tersebut memerlukan waktu yang cukup lama.

Penelitian tingkat literasi menurut PISA, Indonesia menempati peringkat 62 dari 70 negara 
Penelitian tingkat literasi menurut PISA, Indonesia menempati peringkat 62 dari 70 negara 

Selanjutnya dari segi aksesibilitas informasi, kurangnya literasi merupakan permasalahan dalam melaksanakan kebijakan ini. Menurut Program for International Student Assessment (PISA)  pada 2019 menyebutkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 62 dari 70 negara dalam tingkat literasi tiap masyarakatnya. Padahal, literasi sangatlah penting untuk meminimalisasi kesalahan informasi. Dengan tingkat literasi yang cukup rendah, ditakutkan masyarakat akan kewalahan dalam menerima informasi seputar kebijakan yang akan diterapkan pemerintah,

Dan juga hambatan eksternal dari global seperti maraknya hiperinflasi, perang Rusia-Ukraina dimana merupakan penyebab tidak stabilnya berbagai harga pangan dilingkup global serta Indonesia sedang mengalami pemulihan pasca pandemi COVID-19. Berbagai kondisi tersebut cukup menyulitkan Indonesia yang sempat defisit keuangan dalam periode COVID-19. Dan ingat kata Gubernur BI bahwa untuk melakukan suatu kebijakan besar harus melihat kondisi ekonomi terkini.

Belum lagi pada tahun 2024, akan ada kontestasi demokrasi, pesta politik umumnya akan diwarnai oleh peningkatan polarisasi dalam masyarakat yang menimbulkan ketidakstabilan politik, yang akan berimbas pada tidak stabilnya kondisi ekonomi. Hal ini berdasarkan penelitian ahli ekonomi politik terkemuka dari Harvard University Alberto Alesina, dkk (1996) apabila ketidakstabilan politik mengurangi pertumbuhan ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun