redenominasi rupiah sempat ramai dibicarakan masyarakat Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Hal ini pernah diungkapkan oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam konferensi pers lalu.
Rencana“Redenominasi dari sisi ekonominya ada banyak manfaat, terutama masalah efisiensi dengan nol tiga (dikurangi) efisiensi ekonomi akan meningkat, penggunaan teknologi perbankan dan pembayaran sangat efektif” ujarnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Redenominasi bertujuan untuk menyederhanakan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa harus mengurangi daya beli, harga atau nilai rupiah terhadap harga barang dan jasa.
Sejarah Redenominasi pernah terjadi di Indonesia pada penghujung 1960-an,. Berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 27 Tahun 1965, tepatnya pada 13 Desember 1965. Saat itu uang pecahan Rp 1.000 diterbitkan dengan desain baru Rp 1, dengan Rp 1 yang nilainya dianggap setara dengan Rp 1.000 sebelum terjadinya Penetapan Presiden.
Wacana redenominasi pun sudah bergulir lama. RUU Redenominasi Rupiah sebenarnya telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024 yang diteken Sri Mulyani. Namun, hingga saat ini, tidak ada progresnya.
Jika pemerintah ingin melanjutkan kebijakan Redenominasi, kondisi ekonomi harus berjalan dengan normal sebelum kebijakan redenominasi bergulir. Kita harus melihat berbagai contoh dari negara lain terkait kebijakan redenominasi. Perry menuturkan “ Pesannya, kondisinya harus normal karena negara lain melakukannya dalam kondisi normal,”.
“Jangan dilakukan pada saat krisis atau panas, kalau lagi kuat dan tenang baru dilakukan,” jelas Perry.
Dilain pihak Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi XI Muhamad Misbakhun justru menilai saat ini menjadi momentum yang tepat untuk melakukan redenominasi rupiah.
“Justru sekarang adalah momentum terbaik, to show to the world, di saat dunia dilanda resesi” ungkapnya
Menurutnya terkait dengan kondisi pemulihan ekonomi, dia menegaskan dasar perekonomian Indonesia cukup baik. Pasalnya dia melihat cadangan devisa Indonesia kuat. Serta disaat negara-negara dunia dilanda defisit Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi.
Mengamini pendapat Gubernur BI, para ekonom khususnya Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudistira menilai redenominasi belum tepat jika dilakukan dalam 2-3 tahun ke depan. Beberapa pertimbangan sebelum lakukan redenominasi yaitu stabilitas inflasi harus terjaga.
“Pertimbangan utama adalah kekhawatiran terjadinya hiperinflasi karena perubahan nominal uang mengakibatkan pedagang menaikkan pembulatan uang ke atas,” ungkap Bhima
Misalnya harga barang sebelum penyederhanaan uang seharga Rp.9.300 kemudian tidak mungkin naik menjadi Rp. 9,5 setelah redenominasi. “Yang ada sebagian harga dijadikan Rp.10, ada pembulatan nominal baru ke atas. Apabila kondisi ini terjadi dikhawatirkan akan sulit dikontrol oleh pemerintah dan BI. Akibatnya apa? Hiperinflasi bahkan bisa mengakibatkan krisis kalau tidak hati-hati,” sambungnya
Terlepas adanya pro kontra dari berbagai pihak. Tujuan didorongnya Redenominasi dinilai penting agar perekonomian Indonesia bisa setara dengan negara-negara lain atau mata uang rupiah terasa lebih bernilai jika dibandingkan mata uang negara lain. Misalnya sebelum redenominasi US$1 senilai dengan Rp15.100, setelah redenominasi US$1 menjadi Rp15,1. Di mata internasional, hal ini jelas lebih ringkas, dapat mencerminkan kesetaraan kredibilitas dengan negara maju lainnya.
Serta dari sudut pandang investor, akan lebih mudah untuk menaruh uang kedalam negeri yang nilai mata uangnya sudah dilakukan penyederhanaan nilai, dengan kata lain mata uang setelah redenominasi cenderung mendapatkan kepercayaan dari para investor yang berimbas pada penguatan mata uang Rupiah.
Juga perlunya pemerintah mensosialisasikan kepada masyarakat agar tidak terjadi kebingungan dalam bertransaksi. Berkaca dari beberapa negara yang sukses melakukan redenominasi yaitu Turki melakukan kebijakan redenominasi selama 10 tahun dan Rumania selama hampir 2 tahun. Diperlukan sosialisasi sejak dini, massif dan secara terus-menerus kepada masyarakat agar masyarakat memahami bahwa kebijakan redenominasi itu berbeda dengan sanering.
Sebenarnya sudah siapkah kita dengan redenominasi rupiah? Menurut pendapat pribadi, dalam 3-5 tahun kedepan kita belum siap akan kebijakan penyederhanaan rupiah. Berikut berbagai alasan mengapa kebijakan tersebut tidak mudah diimplementasikan di Indonesia:
Hambatan utama berasal dari letak geografis Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang dihubungkan oleh laut. Kondisi tersebut membuat distribusi perekonomian di Indonesia tidak merata. Alhasil beberapa daerah akan kesulitan mengakses uang baru hasil kebijakan ini, bahkan untuk sekedar mengetahui kebijakan dari pemerintah, masyarakat kesulitan untuk mengakses informasi. Jika kita ambil contoh dari negara yang berhasil melaksanakan kebijakan redenominasi seperti Turki maupun Rumania, mereka tidak memiliki hambatan seperti luasnya wilayah ataupun banyaknya pulau seperti yang dimiliki Indonesia serta keberhasilan negara-negara tersebut memerlukan waktu yang cukup lama.
Selanjutnya dari segi aksesibilitas informasi, kurangnya literasi merupakan permasalahan dalam melaksanakan kebijakan ini. Menurut Program for International Student Assessment (PISA) pada 2019 menyebutkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 62 dari 70 negara dalam tingkat literasi tiap masyarakatnya. Padahal, literasi sangatlah penting untuk meminimalisasi kesalahan informasi. Dengan tingkat literasi yang cukup rendah, ditakutkan masyarakat akan kewalahan dalam menerima informasi seputar kebijakan yang akan diterapkan pemerintah,
Dan juga hambatan eksternal dari global seperti maraknya hiperinflasi, perang Rusia-Ukraina dimana merupakan penyebab tidak stabilnya berbagai harga pangan dilingkup global serta Indonesia sedang mengalami pemulihan pasca pandemi COVID-19. Berbagai kondisi tersebut cukup menyulitkan Indonesia yang sempat defisit keuangan dalam periode COVID-19. Dan ingat kata Gubernur BI bahwa untuk melakukan suatu kebijakan besar harus melihat kondisi ekonomi terkini.
Belum lagi pada tahun 2024, akan ada kontestasi demokrasi, pesta politik umumnya akan diwarnai oleh peningkatan polarisasi dalam masyarakat yang menimbulkan ketidakstabilan politik, yang akan berimbas pada tidak stabilnya kondisi ekonomi. Hal ini berdasarkan penelitian ahli ekonomi politik terkemuka dari Harvard University Alberto Alesina, dkk (1996) apabila ketidakstabilan politik mengurangi pertumbuhan ekonomi.
Apalagi sekarang maraknya berita hoax, apabila pemerintah tetap memaksa agar dilaksanakan kebijakan tesebut, maka oposisi bisa merubah interpretasi masyarakat mengenai kebijakan tersebut agar sesuai dengan kepentingannya dalam membangun rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Dari beberapa pertimbangan ini, saya rasa Indonesia dalam waktu dekat bisa dibilang masih belum siap untuk menjalankan kebijakan Redenominasi rupiah. Diharapkan untuk pemerintah agar dapat menimbang berbagai pertimbangan tersebut supaya kebijakan Redenominasi rupiah dapat berjalan secara efektif dan efisien. Namun, ada hal yang bisa dilakukan masyarakat ketika transisi kebijakan redenominasi terjadi.
Contohnya apabila kita melihat fenomena di masyarakat, Ketika kita berjalan-jalan ke café, restoran bahkan warung terdekat anda, terpampang harga dengan tambahan ”k” dibelakang digitnya. Semisal untuk harga nasi goreng seharga Rp. 10.000 per porsi namun pada papan hanya dicantumkan 10k saja. Di sini “k” memiliki arti umum kelipatan seribu.
Dari fenomena tersebut, tanpa disadari sebetulnya masyarakat secara tidak langsung sudah menerapkan redenominasi rupiah meski secara informal. Artinya selama ini, tidak ada ketentuan resmi dari otoritas moneter Bank Indonesia, namun masyarakat sudah mulai terbiasa melakukannya dalam transaksi rupiah sehari-hari. Dan tidak menutup kemungkinan akan dilakukannya kebijakan redenominasi di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H