Mohon tunggu...
Chairil Anwar B.
Chairil Anwar B. Mohon Tunggu... Buruh - Pekerja Kasar

Dilihat dari sisi manapun, rasanya tak ada yang menarik dari diri saya. Karena itu, ada baiknya bila saya abaikan saja bagian ini.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jon Jundai: Hidup Itu Mudah

21 Januari 2023   23:25 Diperbarui: 21 Januari 2023   23:26 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Jika mereka menganggapku gila, itu bukan salahku; itu salah mereka sebab berpikir bahwa aku gila).

***

Di atas panggung, dengan mengenakan kemeja dan celana panjang yang tampak lusuh ditimpa cahaya lampu berwarna kemerahan, ia mengawali presentasinya dengan sebuah ungkapan yang selalu ingin ia sampaikan kepada semua orang dalam hidupnya; "Hidup itu mudah".

Jon Jundai, pendiri Pun Pun, pusat belajar mandiri dan tempat penyimpanan benih, adalah pria unik yang saya ketahui -- setidaknya itu kesan pertama saya setelah selesai menonton video ceramahnya di TEDxDoisuthep, yang tayang pada 2010 lalu, berjudul "Life Is Easy; Why We Make It So Hard". 

Ia lahir di desa miskin di Timur Laut Thailand. Ketika masih kanak-kanak, ia merasa hidup begitu mudah dan menyenangkan. Setiap orang bekerja dua jam sehari, dua bulan dalam setahun, dan mereka punya banyak waktu luang untuk menyendiri, memikirkan hidup mereka, memikirkan hal-hal yang ingin dan tak ingin mereka lakukan.

"Itu sebabnya ada banyak festival di Thailand," katanya, "sebab semua orang punya banyak waktu luang".

Namun begitu listrik dan TV masuk ke desanya, diikuti berbagai barang elektronik dan orang-orang yang berkata bahwa ia miskin, bahwa ia harus mengejar kesuksesan dalam hidupnya, dan bahwa ia harus pergi ke Bangkok untuk meraih kesuksesan itu, Jundai pun mulai merasa bahwa ia memang miskin. 

Itulah yang mendorongnya pergi ke Bangkok, tempat di mana ia harus bekerja keras, setidaknya bekerja selama delapan jam sehari, tidur di ruangan sempit bersama orang banyak, dan hanya bisa makan mi atau nasi goreng.

Selama berada di Bangkok Jundai juga sempat belajar di universitas, tetapi rutinitas di tempat itu membuatnya cepat merasa bosan; ia bahkan menganggap universitas memiliki pengetahuan yang bersifat merusak. 

"Jika Anda belajar menjadi seorang insinyur atau arsitek," katanya, "itu berarti Anda akan lebih merusak. Kalau kita masuk fakultas pertanian atau sejenisnya, artinya kita sedang belajar bagaimana cara meracuni tanah dan air".

Dalam kegelisahan dan ketidakpastian yang kerap menghampirinya, Jundai mulai banyak bertanya: Mengapa saya harus berada di sini? Mengapa hidup begitu sulit meski saya sudah bekerja keras? 

Mengapa universitas berisi pengetahuan yang bersifat merusak? Pertanyaan demi pertanyaan kemudian membawanya pada satu kesimpulan: "Saya tidak bisa hidup seperti ini".

Akhirnya, setelah tujuh tahun berada di Bangkok, ia kembali ke kampung halamannya dan hidup sebagaimana yang ia ingat di masa kecilnya. 

Setiap hari ia bekerja selama dua jam, dua bulan dalam setahun -- sebulan untuk menanam padi, sebulan lagi untuk memanennya, -- dan sisanya adalah waktu luang. Sepuluh bulan waktu luang. 

Dalam setahun, ia bisa menghasilkan 4 Ton beras dan menghidupi enam orang anggota keluarganya. Ia juga membuat dua buah kolah ikan, menggarap setengah hektar lahan untuk ditanami sayur, dan itu membuat keluarganya memiliki stok makanan untuk dimakan selama setahun.

"Lalu mengapa saya harus berada di Bangkok dan bekerja keras dan tetap tidak menghasilkan apa-apa?" Tanyanya pada diri sendiri.

Sebelumnya Jundai juga berpikir bahwa orang seperti dirinya, yang tidak pernah mendapat nilai bagus di sekolah, tidak pernah menyelesaikan kuliah, tidak akan bisa memiliki rumah. "Sebab orang yang lebih pintar dari saya, yang setiap tahun menjadi yang nomor satu di kalas, yang kemudian mendapat pekerjaan bagus, membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memiliki sebuah rumah".

Tetapi pemikiran semacam itu segera terbantah begitu ia meluangkan waktu selama dua jam -- setiap hari -- untuk melakukan pembangunan, di mulai dari pukul 5 sampai pukul 7 pagi. Dalam tiga bulan, ia berhasil membangun sebuah rumah. Rumah pertama segera disusul dengan rumah kedua, rumah kedua diikuti dengan rumah ketiga, dan Jundai terus membangun rumah sepanjang tahun.

Ia juga pernah mencoba berpakaian seperti orang lain, atau seperti bintang film, semata agar dirinya terlihat lebih baik. Untuk mendapatkan pakaian itu, misalnya celana jeans, ia harus menabung selama sebulan. Tetapi begitu ia memakai celana itu, ia sama sekali tidak merasa lebih baik. Ia masih pria yang sama.

"Jadi mengapa saya harus membelinya?"

Sejak saat itu sampai dua puluh tahun kemudian, 2012, mungkin juga sampai saat ini, ia tidak pernah lagi membeli pakaian. Pengalaman tadi memberinya satu pelajaran: jika ia membeli sesuatu hanya karena ia menginginkannya, itu berarti ia telah melakukan hal yang keliru. Karena itu, semua pakaian yang kini ia miliki merupakan pemberian dari orang-orang yang jatuh iba ketika mengunjunginya.

"Tapi bagaimana kalau saya sakit?" tanyanya. "Apa yang harus saya lakukan?"

Pada awalnya Jundai merasa khawatir sebab ia tidak memiliki uang. Ia mulai merenung, merenung, dan merenung. Baginya 'sakit' adalah hal yang wajar, bukan sesuatu yang buruk. "Penyakit menyiratkan bahwa ada sesuatu yang salah yang telah kita lakukan pada tubuh kita". Karena kekhawatiran itu pula ia mulai mempelajari berbagai pengetahuan 'dasar'; bagaimana menggunakan air untuk penyembuhan, bagaimana menggunakan tahan untuk penyembuhan, atau bagaimana memanfaatkan daun-daun untuk penyembuhan.

Kini, ia merasa bebas. Ia merasa tenang. Ia tidak perlu membuat dirinya seperti orang lain. Ia juga tidak khawatir lagi soal apapun, sebab ia bisa mengandalkan dirinya sendiri untuk makanan, rumah, kesehatan, hal-hal yang kadang terasa sulit untuk didapat. Di atas semua itu, ia sadar bahwa ia tidak bisa mengatur apapun yang ada di luar dirinya. Yang bisa ia lakukan hanya mengubah pikirannya. "Sekarang pikiran saya ringan dan mudah," katanya.

"Dan itu sudah cukup".***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun