Dalam kegelisahan dan ketidakpastian yang kerap menghampirinya, Jundai mulai banyak bertanya: Mengapa saya harus berada di sini? Mengapa hidup begitu sulit meski saya sudah bekerja keras?Â
Mengapa universitas berisi pengetahuan yang bersifat merusak? Pertanyaan demi pertanyaan kemudian membawanya pada satu kesimpulan: "Saya tidak bisa hidup seperti ini".
Akhirnya, setelah tujuh tahun berada di Bangkok, ia kembali ke kampung halamannya dan hidup sebagaimana yang ia ingat di masa kecilnya.Â
Setiap hari ia bekerja selama dua jam, dua bulan dalam setahun -- sebulan untuk menanam padi, sebulan lagi untuk memanennya, -- dan sisanya adalah waktu luang. Sepuluh bulan waktu luang.Â
Dalam setahun, ia bisa menghasilkan 4 Ton beras dan menghidupi enam orang anggota keluarganya. Ia juga membuat dua buah kolah ikan, menggarap setengah hektar lahan untuk ditanami sayur, dan itu membuat keluarganya memiliki stok makanan untuk dimakan selama setahun.
"Lalu mengapa saya harus berada di Bangkok dan bekerja keras dan tetap tidak menghasilkan apa-apa?" Tanyanya pada diri sendiri.
Sebelumnya Jundai juga berpikir bahwa orang seperti dirinya, yang tidak pernah mendapat nilai bagus di sekolah, tidak pernah menyelesaikan kuliah, tidak akan bisa memiliki rumah. "Sebab orang yang lebih pintar dari saya, yang setiap tahun menjadi yang nomor satu di kalas, yang kemudian mendapat pekerjaan bagus, membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memiliki sebuah rumah".
Tetapi pemikiran semacam itu segera terbantah begitu ia meluangkan waktu selama dua jam -- setiap hari -- untuk melakukan pembangunan, di mulai dari pukul 5 sampai pukul 7 pagi. Dalam tiga bulan, ia berhasil membangun sebuah rumah. Rumah pertama segera disusul dengan rumah kedua, rumah kedua diikuti dengan rumah ketiga, dan Jundai terus membangun rumah sepanjang tahun.
Ia juga pernah mencoba berpakaian seperti orang lain, atau seperti bintang film, semata agar dirinya terlihat lebih baik. Untuk mendapatkan pakaian itu, misalnya celana jeans, ia harus menabung selama sebulan. Tetapi begitu ia memakai celana itu, ia sama sekali tidak merasa lebih baik. Ia masih pria yang sama.
"Jadi mengapa saya harus membelinya?"
Sejak saat itu sampai dua puluh tahun kemudian, 2012, mungkin juga sampai saat ini, ia tidak pernah lagi membeli pakaian. Pengalaman tadi memberinya satu pelajaran: jika ia membeli sesuatu hanya karena ia menginginkannya, itu berarti ia telah melakukan hal yang keliru. Karena itu, semua pakaian yang kini ia miliki merupakan pemberian dari orang-orang yang jatuh iba ketika mengunjunginya.