Mohon tunggu...
Althamira Frishka
Althamira Frishka Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis yang tertarik dengan kesehatan mental, perempuan dan anak. Temukan karya A.F di IG @althamirafrishka

Selanjutnya

Tutup

Diary

Wejangan Bapak #2

23 Januari 2024   15:43 Diperbarui: 26 Januari 2024   20:20 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa yang akan mencintaimu paling besar selain Bapak?

Maka jangan sampai engkau menjadi 'berbeda' usai mengarungi bahtera rumah tangga. Jadilah berbeda ke arah akhlak yang lebih baik dan jangan jemawa.



Wejangan Bapak #2

Ini hanya kisah antara obrolan anak perempuannya yang paling kecil dengan bapaknya. Disela malam, disela waktu yang sempat mereka habiskan berdua. Cerita ini akan menjadi pengingat, bahwa kasih orangtua sepanjang masa.

Ah, cintanya anak perempuan akan tetap pada Bapaknya. Yang mencintainya tanpa rupa, yang mencintainya tanpa meminta balas, yang mencintainya sepanjang hayat. Bakti anak perempuannya, cukup absen wajah pada orangtua. Tak perlu harta. Hanya senyum terukir berkata bahwa engkau bahagia dengan titian yang kau pilih. Cukup.

Maka jadilah Bapak yang kelak anak perempuanmu mengasihimu sepanjang masa. Karena sosok Bapak akan menjadi sosok ideal pria masa depannya. Bukan hanya anak perempuan, tapi juga anak laki-laki. Sosok Bapaklah yang menjadi contoh bagi mereka. Menjadi pria seperti apa mereka seharusnya di depan perempuan, pun pria bagaimanakah yang kelak akan menghabiskan waktu bersama selamanya untuk anak perempuan.

Ku ceritakan pada Bapak, video viral antara pesan orangtua perempuan pada calon menantu laki-lakinya. Bahwa kelak, kepada pria yang akan meminang anak gadisnya, Bapak itu berkata, "Jika engkau (anak muda) tak lagi mencintai anak perempuanku pulangkan saja dia padaku. Jangan menyakitinya."

Bapak hanya mendengar dengan seksama. Tahu makna dalam dibalik itu. Bahwa Bapak akan selalu ada untuk anak perempuannya. Tanggung jawabnya yang ia besarkan dengan penuh kasih sayang. Maka tak patut lah sebagai anak yang dibesarkan dengan segala rupa merasa kurang. Bapak juga paham, ah, seperti ini yang anak gadisnya inginkan. Bahwa dia akan selalu ada.

Bapak berkata, "Doa Bapak hanya 1, bahwa engkau akan mendapatkan pria yang membimbingmu tanpa kekerasan seperti Bapak yang memarahimu dengan kelembutan. Semoga engkau akan mendapatkan pria yang sayang, sabar, dan setia padamu apapun tingkahmu."

Yang berkata, "Doa Bapak, engkau selalu berkecukupan seperti aku mencukupimu."

Kapan lagi, diusia yang menjelang 30 tahun ini, anak gadismu Bapak, mendengar apa yang engkau angankan. Mendengar ridhomu pada apa yang selama ini menjadi harapan Bapak. Mendapat kesempatan disela malam, sepulang bekerja, atau sekadar nongkrong bersama di teras duduk di kursi bambu, cerita tentang kehidupan. 

Bercerita tentang apa-apa yang tak pernah dapatkan semasa di bangku pendidikan. Anak gadismu kembali ingat. Ah, ya benar. Bapak tidak pernah mengingatkan dengan suara keras. Tidak pernah memarahi dengan bentakan. Bapak hanya meminta duduk disebelah Bapak, bersuara rendah mengingatkan apa-apa yang menjadi kesalahanku di masa lampau.

Ah, jadi ingat ... Kata Bapak di depan calon suami bahwa anak gadisnya ini cengeng. Ternyata seperti itulah aku di mata Bapak. Jangan larang ia untuk berdagang/bekerja atau apapun kegemaran dia. 

Ah, jadi ingat, pada kakak perempuan  di depan calon suami, Bapak berkata bahwa anak gadisnya ini keras kepala. Jangan larang ia untuk berdagang/bekerja atau apapun kegemaran dia, support dia.

Ah, jadi ingat, pada kakak perempuan di depan calon suami kelak akan berkata, anak gadisnya yang ini spesial. Pun masih rahasia spesial dalam hal apa. Mungkin bisa jadi Wejangan Bapak #3 nanti ya.

Mudah-mudahan para calon suami ingat. Wallahu a’lam bishawab

Maka pesan Bapak, raih kebahagianmu sendiri, Nak. Gantung dan pasrahkan pada Yang Maha Kuasa. Pun, masih rahasia. Kenapa Bapak kerap kali berulang-ulang berpesan. "Tetaplah menghasilkan uang sendiri, Nak." Apakah karena anak-anaknya perempuan semua? Dia tidak ingin anak-anak gadisnya menjadi 'pengemis' di mata orang lain? Padahal, disetiap pengajian, rezeki suami ya rezeki istri. Rezeki hanya 1. Entah itu dari tangan suami atau dari tangan keduanya. Mungkin 3 tahun lagi, kalau ada kesempatan ngobrol dengan Bapak, bisa jadi teka-teki ini akan terkuak. Kenapa Bapak bersikukuh dan keras kepala bahwa anak gadisnya harus bekerja?

...

Bapak memastikan pada anak² perempuannya bahwa dia selalu ada untuk tempat dia berpulang. Banyak destinasi yang ingin ia habiskan bersama anak perempuannya. Namun raganya tak kuat lagi. Hatinya pun kini patah. Bahkan tak ingin mengharap. Sudah cukup hatinya kerap pilu. "Pulanglah, Nak." Hanya kata-kata itulah yang selalu tercekat di tenggorokkannya. Namun dia simpan, pendam, hingga akhirnya merasa kehilangan anak perempuannya.

Ah, apa ini rasanya ditinggal pergi menempuh hidup masing-masing oleh anak yang hanya titipan Ilahi ini? Atau karena ini semakin hari semakin banyak syarat yang ia ajukan untuk jadi calon menantunya?

Bapak bilang, bahwa bakti anak perempuan terbesar pada orangtua ialah, anaknya bahagia bersama keluarga barunya. Maka sudahkah suami bertanya pada istri, "Dek, apakah engkau bahagia hari ini?" Sama seperti Bapak yang setiap kali pulang kerja, dia bertanya. "Bagaimana cerita hari ini?"

Alhasil, Bapaklah tempat anak gadisnya berkeluh kesah.

Tiba² Bapak datang, celingukan, "Hair dryernya mana?"

Lantas aku bertanya, "Buat apa?"

Tak disangka, "Ini tolong blow kan rambut Bapak."

Apaa? Keningku berkerut. Tak biasanya Bapak tiba-tiba minta rambutnya untuk di blow.

"Rambut pendek aja buat apa di blow," kataku senewen sambil mencari hair dryer.

"Sudah blow saja, duduk ya Bapak," katanya sambil cengengesan membawa sebuah sisir.

"Waktu Bapak muda, Bapak suka nge-blow rambut. Ini anak-anak Bapak perempuan semua kenapa bapak lihat tidak ada yang rajin nge-blow rambut."

Aku hanya tertawa sembari menyisir rambut Bapak ke belakang. Bunyi hairdryer yang berisik sambil melihat Bapak berkaca.

Perkara warisan, Bapak bilang tiba-tiba. Hatiku tersayat. Beberapa waktu ini sering sekali dia bercerita tentang warisan. Yang aku berdoa setiap kali, bahwa aku tidak ingin mendengar tentang itu. Pembahasan itu bagai mengatakan usianya tak muda lagi. Badan yang dulu kekar seakan Bapakku adalah Pahlawanku bagai sirna.

Memang sepatutnya pembahasan itu tak bisa aku elakkan.

Bapak mengingatkan, kelak ... Jangan jadi istri yang mengusik warisan suami kalian. 

Seburuk-buruknya istri, mencampuri urusan yang bukan urusannya. Jemawa tidak baik. Apalagi tabu untuk mengusik warisan suami. Bapak tegas mengingatkan.

Bapak bilang, Bapak tak punya apapun. Hanya meninggalkan biji benih. Tak mungkin Bapak mewakafkan biji benih ini untuk para petani dengan niatan sebagai bekal akhirat Bapak. Karena bapak tahu, apa yang bapak simpan ini ada hak anak-anak dan ibu yang semasa itu Bapak kurangi untuk disimpan. Untuk kalian, anak-anak perempuannya yang paling dia sayang.

Namun ... biji benih ini jika disemai di tangan anak-anak Bapak, Bapak harap bisa menjadi manfaat untuk orang lain, maka sama saja menjadi amal jariyah untuk Bapak.

Maka diusiaku yang menjelang 30 tahun. Aku berkata, di mataku Bapak berhasil, didikannya pada anaknya tak membuat anak-anak perempuan Bapak untuk berpangku tangan.

"Maka, jemput sendiri rezekimu, Nak. Wahai anak-anak perempuan Bapak yang tersayang."

Kepada kakak yang kisahnya mengingatkan aku untuk tetap berbakti kepada orangtua setelah menikah. Love You All.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun