Tak disangka, "Ini tolong blow kan rambut Bapak."
Apaa? Keningku berkerut. Tak biasanya Bapak tiba-tiba minta rambutnya untuk di blow.
"Rambut pendek aja buat apa di blow," kataku senewen sambil mencari hair dryer.
"Sudah blow saja, duduk ya Bapak," katanya sambil cengengesan membawa sebuah sisir.
"Waktu Bapak muda, Bapak suka nge-blow rambut. Ini anak-anak Bapak perempuan semua kenapa bapak lihat tidak ada yang rajin nge-blow rambut."
Aku hanya tertawa sembari menyisir rambut Bapak ke belakang. Bunyi hairdryer yang berisik sambil melihat Bapak berkaca.
Perkara warisan, Bapak bilang tiba-tiba. Hatiku tersayat. Beberapa waktu ini sering sekali dia bercerita tentang warisan. Yang aku berdoa setiap kali, bahwa aku tidak ingin mendengar tentang itu. Pembahasan itu bagai mengatakan usianya tak muda lagi. Badan yang dulu kekar seakan Bapakku adalah Pahlawanku bagai sirna.
Memang sepatutnya pembahasan itu tak bisa aku elakkan.
Bapak mengingatkan, kelak ... Jangan jadi istri yang mengusik warisan suami kalian.Â
Seburuk-buruknya istri, mencampuri urusan yang bukan urusannya. Jemawa tidak baik. Apalagi tabu untuk mengusik warisan suami. Bapak tegas mengingatkan.
Bapak bilang, Bapak tak punya apapun. Hanya meninggalkan biji benih. Tak mungkin Bapak mewakafkan biji benih ini untuk para petani dengan niatan sebagai bekal akhirat Bapak. Karena bapak tahu, apa yang bapak simpan ini ada hak anak-anak dan ibu yang semasa itu Bapak kurangi untuk disimpan. Untuk kalian, anak-anak perempuannya yang paling dia sayang.
Namun ... biji benih ini jika disemai di tangan anak-anak Bapak, Bapak harap bisa menjadi manfaat untuk orang lain, maka sama saja menjadi amal jariyah untuk Bapak.
Maka diusiaku yang menjelang 30 tahun. Aku berkata, di mataku Bapak berhasil, didikannya pada anaknya tak membuat anak-anak perempuan Bapak untuk berpangku tangan.