Mohon tunggu...
Althamira Frishka
Althamira Frishka Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis yang tertarik dengan kesehatan mental, perempuan dan anak. Temukan karya A.F di IG @althamirafrishka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Museum 13, Misi Penyelamatan Fosil di Bojonegoro Sejak 1989

13 Juni 2022   11:26 Diperbarui: 13 Juni 2022   14:05 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hary Nugroho, Pemilik sekaligus pengelola Museum 13 mengenalkan penemuan fosil di Kabupaten Bojonegoro [Dok. Pribadi]

Langkah menyelamatkan peninggalan benda bersejarah menjadi cikal bakal berdirinya Museum 13. Museum ini didirikan oleh Hary Nugroho yang memang sangat konsen pada dunia kepurbakalaan.

Menurut Hary Nugroho, pemilik sekaligus pengelola Museum 13 (baca; satu tiga), adanya fosil di Bojonegoro menunjukkan sejarah panjang kabupaten ini. Museum 13 berada sekitar 20 menit atau 15,1 km dari pusat kota. Tepatnya di SDN II Panjunan, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.

Hary menyulap ruang kelas menjadi layaknya museum atau serupa laboratorium bersejarah. Khusus mengulik paleontologi-ilmu tentang fosil hewan dan tumbuhan.

Hary dikenal sebagai orang yang bersahaja dan sederhana. Saat berkesempatan menemui langsung, Hary sedang mencuci tangannya di ember berbuih sabun. Berjongkok dan tersenyum melihat kedatangan kami. Dia baru saja membersihkan alat peraga pantomim.

Gaya bahasanya santai. Guru kelas III ini mempersilahkan tim publikasi Pemkab Bojonegoro untuk melihat berbagai koleksi fosil mereka. Ada dua etalase kaca berukuran besar dan dua rak sederhana. Semua untuk memajang hasil temuan Hary beserta 13 orang yang tergabung. Jumlah anggota kebetulan sama seperti nama museum.

Penamaan Museum 13, kata Hary memiliki filosofi khusus. Satu (1) merupakan Tuhan Yang Maha Esa. Sementara tiga (3) mengambil proses kehidupan. Di antaranya lahir, hidup, dan mati. Bak ahli Paleontologi, secara komunal 'nggladak' di berbagai wilayah di Kabupaten Bojonegoro.

"Nggladak istilah teman-teman saat proses mencari dan penyelamatan fosil purba. Ketertarikan di dunia Paleontologi ini bermula saat dulu mencari bebatuan akik. Saat itulah temuan fosil pertama yaitu fosil gigi dan kaki gajah," ucapnya.

Hary masih ingat, Museum 13 berdiri sejak 1989. Kini telah berumur 33 tahun sejak penemuan fosil pertama. Berbekal melihat peta geologi, beberapa titik penjelajahan di antaranya Desa Drenges, Kecamatan Sugihwaras dan Kali Gandong di Kecamatan Sugihwaras yang juga merupakan anak kali tertua. Ada juga di Desa Pragelan, Kecamatan Gondang dan Desa Wotanngare, Kecamatan Kalitidu.

"Kendalanya ada pada 'kolekdol'. Istilah untuk orang yang mengoleksi tapi di-dol (Jawa: dijual). Jadi kalah cepat untuk menyelamatkan penemuan-penemuan bersejarah. Sebab berbicara tentang cagar budaya masih kalah dengan urusan perut karena dijual bebas," selorohnya.

Temuan demi temuan mereka dapatkan. Terbaru, ada penemuan 79 spesies molusca di Kabupaten Bojonegoro. Sementara di Maret 2022 ini ditemukan fosil Stegodon Trigonochephalus Ivory (gading) berdiameter 42 cm x 9 cm. Penemuan fosil di Desa Ngluyu, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk.

Sedangkan gading bagian femur juga pernah ditemukan di Desa Bareng, kecamatan Ngasem pada 2016 silam. Dengan prakira umur antara 300 ribu hingga 10 ribu tahun. Masih banyak lagi temuan-temuan lain di wilayah Bojonegoro yang sudah tak terhitung lagi.

Salah satu koleksi Pecahan perahu besi Ngraho di dasar Sungai Bengawan Solo, Desa Padang, Kec. Trucuk. [Dok. Pribadi]
Salah satu koleksi Pecahan perahu besi Ngraho di dasar Sungai Bengawan Solo, Desa Padang, Kec. Trucuk. [Dok. Pribadi]

Untuk itu, besar harapan Hary bahwa Kabupaten Bojonegoro dapat mewujudkan museum yang representatif. Sebab museum menjadi sumber informasi pertama suatu daerah. Terlebih, peneliti berbagai universitas seperti dari ITB, UNAIR, dan UPN Jogja menjadikan Museum 13 sebagai jujugan data dari komunitas.

Pengelolaan museum secara mandiri ini pun mendapat perbantuan konservasi dari Sragen dan Museum Geologi Bandung. Sehingga ilmu baru bagaimana pemetaan lapangan dan observasi bersumber langsung dari ahlinya.

"Kami juga memiliki agenda dengan siswa-siswi untuk terjun langsung praktik. Seperti saat bersama Balai Arkeologi Yogjakarta. Siswa terlibat langsung dalam proses ekskavasi Situs Wotanngare. Atau belajar mengidentifikasi artefak. Kegiatan bersama siswa ini dapat menumbuhkan rasa untuk peduli terhadap peninggalan bersejarah," tukasnya. [cs/nn]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun