Rasanya sudah tidak asing mendengar Demam Berdarah Dengue ini. Setiap tahun dari tahun ke tahun, rasanya tak pernah nol kasus. Bagi yang pernah merasakan, amit-amit jangan sampai terulang.
Rasa cenut-cenut, meriang, pusing tujuh keliling, sampai lidah terasa pahit, tak ingin kembali merasakan. Makanan enak pun terasa aduhai tak karuan.
Saya ingat sekali. Waktu nge-pos di berita kesehatan di 2018 akhir sampai 2020. Tiap tahun di akhir tahun yang diangkat selalu DBD. Demam berdarah, lorong rumah sakit yang ramai pasien DB, nyamuk-nyamuk yang berterbangan, sampai tidur dengan bunyi dengung yang melekat di telinga.
Apalagi, waktu ramai DBD, saya berulang kali mengingatkan orangtua di rumah setelah habis liputan. Setelah habis melihat lorong penuh kasur pasien, bangsal terisi penuh dan infus yang menusuk pergelangan tangan. Tidak muda, tidak pula tua.
"Hati-hati, musim DB, jangan pelihara nyamuk."
Akhirnya setiap saya pulang kerja, selepas magrib, setelah beberapa hari berkali-kali, Bapak mengeluh panas-dingin.
"Jangan-jangan DB, nih," celetuk saya pada Bapak.
Bapak yang masih tak percaya dan tidak mau makan saya bujuk rayu, "Kita berobat dulu. Kalau pun ujung-ujung perlu opname, kan nggak perlu makan. Udah di infus," ucap saya kala itu berbohong.
Ya yang benar saja ya, mana ada di infus tidak perlu makan. Dan waktu itu Bapak percaya karena dia nggak mau makan. Akhirnya mau saya antarkan berobat. Ternyata ini yang namanya berbohong demi kebaikan, hehehe.
Dan tadaaa! Setelah itu Bapak benar-benar terjangkit DB di akhir tahun 2019 kalau tidak salah. Yang seharusnya kami lebaran dan Solat Id dengan penuh sukacita. Idul fitri kami berlangsung di rumah sakit yang sepi dengan merchandise kotak kue lebaran dari RS. Tentu saja sebagai pelipur lara :")