Mohon tunggu...
Althamira Frishka
Althamira Frishka Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis yang tertarik dengan kesehatan mental, perempuan dan anak. Temukan karya A.F di IG @althamirafrishka

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Realita Terganggu? dari Bisikan sampai Bunyi Bantingan

20 Desember 2021   16:24 Diperbarui: 20 Desember 2021   16:43 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang udah kenal dengan istilah Gangguan Psikotik? atau Psikosis?

Nah, buat kamu yang udah pernah ngalami, atau cuma jadi pendamping pasien, atau justru kuliahnya jurusan psikolog pasti udah kenal dengan istilah ini. Tapi buat gue, ini istilah awam yang perilakunya gue tahu nih, deket dengan gue, tapi baru tau kalau kalau "Oh, ini toh yang namanya Gangguan Psikotik?"

Di sini, gue mau ceritain pengalaman yang cuma seuprit ini, tapi ini gue alami di 27 tahun semasa gue hidup. Dan penjabaran teori, gue dapatin dari dengerin talkshow bernarasumber Utami Sanjaya,  Psikiater RSUD Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Kabupaten Bojonegoro. Dan satu-satunya dokter yang pernah gue temui yang sabar banget dan nggak judmental.

Ada dua jenis gangguan jiwa yang dijelasin waktu itu. 

Pertama, Neurotik

Kedua, Psikotik.

Neurotik adalah kecenderungan perilaku individu yang masih ringan di mana pasien belum mengalami realita terganggu. Seperti timbul rasa cemas berlebih, sulit tidur, serta mood terganggu. Sementara, Psikotik sudah termasuk gangguan jiwa berat di mana pasien mengalami realita terganggu. 

Realita terganggu di sini seperti halusinasi. Namun selain halusinasi, ada gejala lain yang menunjukkan bahwa "Pasien dinyatakan mengalami gangguan Psikotik" yaitu adanya waham. Waham apa, sih? 

Waham adalah keyakinan yang salah tapi diyakini pasien sebagai keyakinan yang benar.

Contohnya, waham curiga. Pasien meyakini bahwa orang lain mau melukai dirinya. Padahal keluarga terdekat mengatakan itu tidak benar. Jadi, indikasi kecurigaan ini berujung pada observasi yang mengatakan pasien termasuk mengalami Gangguan Psikotik. 

Jadi, gue mau ceritain pengalaman gue. Dan mohon doanya supaya pasien yang ada di deket gue mau berobat lebih lanjut ya gaiis. Dan mendapatkan diagnosa tepat. Yang paling gue inget dari perkataan Ibu Psikiater adalah ...

"Kesembuhan pasien jiwa karena adanya dukungan keluarga."

Jadi, dari analisa gue (yang akhirnya pasien mau berobat ke poli jiwa selama 27 tahun gue hidup, walau baru sekali doang) ciri-cirinya kenapa gue bisa berasumsi gejala gangguan psikotrik yaitu, realita si pasien ini terganggu. Salah satunya semacam dengar bisikan hingga ada suara dentuman. Waham bahwa orang sekitar (tetangga/suami) selalu berniat menyakiti dirinya. 

dan ... waktu pertama kali bujuk rayu mengajak ke poli psikiater (yang menurut gue ini langsung langkah maju tiga kali) ini sempet diragukan oleh yang lain karena, "Lo, yakin nggak ke psikolog dulu?

Karena kita tahu, psikolog tidak bisa meresepkan obat. Sementara psikiater bisa. Dan menurut gue, pasien ini sudah membutuhkan intervensi obat. Dan, tarahhh ...

Pada pengobatan pertama, memang kami diresepkan obat. Jelang dua minggu, ada perubahan drastis. Mulai dari ...

Pasien tidak lagi mendengar suara-suara di kepalanya, bisa tidur nyenyak, hingga sedikit demi sedikit (masih meyakini) bahwa orang lain ingin melukai dirinya, tapi sudah berkurang.

Namun ... ada perasaan hampa yang dirasakan pasien di sini 

Tapi itu cuma kenikmatan sesaat yang gue rasain sebagai pendamping. Karena sampai tulisan ini dikeluarkan, pasien masih belum mau kembali berobat lagi dan berkelit bahwa dirinya tidak sakit. Padahal, si pasien telah mengakui, "Ibu (Psikiater) waktu itu cocok. Apapun keluhan didengerin."

Artinya, Hai ... pasien ini hanya butuh di dengerin, kok. Dan kadang, orang sekitar tidak mampu melakukannya. Padahal, kita diciptakan dengan dua telinga dan satu mulut. Kenapa mendengar itu terasa sulit sekali? 

dan terpenting selama pengobatan, apapun yang dikatakan pasien terkait halusinasi dan wahamnya tidak ada sanggahan dari keluarga. 

KENAPA?

Karena mereka hanya butuh di dengar, bukan diintervensi kebenaran dengan embel-embel nasihat.

Ada cara berkomunikasi dengan pasien seperti ini :

1. Tidak menyanggah ucapan mereka

2. Tidak membenarkan/menasehati

Gue yakin yang pernah ngalamin pengalaman kayak gini pasti gatel banget buat nasehatin dll. Tapi di kasus gue, memberi nasihat kayak menabuh garam di atas luka.

3. Alihkan dengan topik lain

Misal, ngomong tentang cucunya (kalau udah punya), ngobrol tentang kegiatan positif kayak hobi dia, kesukaan dia (makanan, minuman), rencanakan perjalanan yang dia suka. 

Mengalihkan pembicaraan memang harus punya skill khusus, supaya pasien tidak tersinggung.

4. Please, dengerin mereka ngomong!

Mereka selalu dalam lingkaran yang tidak mengizinkan andil suara. Padahal, mereka juga punya pemikiran dan pendapat yang justru disepelekan/dipandang sebelah mata dengan orang terdekat. 

Dan .. pasien yang gue omongin dari tadi itu adalah ibu gue.

Sekian, jika kalian punya kondisi yang sama dengan gue, boleh komentar dan kita bisa saling sharing. Karena tidak ada kesehatan fisik tanpa mental yang sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun