Karena kita tahu, psikolog tidak bisa meresepkan obat. Sementara psikiater bisa. Dan menurut gue, pasien ini sudah membutuhkan intervensi obat. Dan, tarahhh ...
Pada pengobatan pertama, memang kami diresepkan obat. Jelang dua minggu, ada perubahan drastis. Mulai dari ...
Pasien tidak lagi mendengar suara-suara di kepalanya, bisa tidur nyenyak, hingga sedikit demi sedikit (masih meyakini) bahwa orang lain ingin melukai dirinya, tapi sudah berkurang.
Namun ... ada perasaan hampa yang dirasakan pasien di siniÂ
Tapi itu cuma kenikmatan sesaat yang gue rasain sebagai pendamping. Karena sampai tulisan ini dikeluarkan, pasien masih belum mau kembali berobat lagi dan berkelit bahwa dirinya tidak sakit. Padahal, si pasien telah mengakui, "Ibu (Psikiater) waktu itu cocok. Apapun keluhan didengerin."
Artinya, Hai ... pasien ini hanya butuh di dengerin, kok. Dan kadang, orang sekitar tidak mampu melakukannya. Padahal, kita diciptakan dengan dua telinga dan satu mulut. Kenapa mendengar itu terasa sulit sekali?Â
dan terpenting selama pengobatan, apapun yang dikatakan pasien terkait halusinasi dan wahamnya tidak ada sanggahan dari keluarga.Â
KENAPA?
Karena mereka hanya butuh di dengar, bukan diintervensi kebenaran dengan embel-embel nasihat.
Ada cara berkomunikasi dengan pasien seperti ini :
1. Tidak menyanggah ucapan mereka
2. Tidak membenarkan/menasehati
Gue yakin yang pernah ngalamin pengalaman kayak gini pasti gatel banget buat nasehatin dll. Tapi di kasus gue, memberi nasihat kayak menabuh garam di atas luka.
3. Alihkan dengan topik lain
Misal, ngomong tentang cucunya (kalau udah punya), ngobrol tentang kegiatan positif kayak hobi dia, kesukaan dia (makanan, minuman), rencanakan perjalanan yang dia suka.Â