Dampak yang tak terduga serupa juga terjadi dalam perang dagang dan 'decoupling' antara AS dan Tiongkok. Tujuan awal pemerintah AS dalam memulai perang dagang dengan Tiongkok adalah untuk mengurangi defisit perdagangan luar negeri dan meminta Tiongkok untuk meningkatkan impor barang-barang AS. Namun, data statistik pemerintah AS menunjukkan bahwa defisit perdagangan AS-Tiongkok pada tahun 2022 telah melampaui jumlah yang ada di era Trump (2017-2021).Â
Selain itu, defisit perdagangan luar negeri AS pada tahun lalu telah mencapai rekor tak terdahului sebesar 1,18 triliun dolar AS. Kenyataannya adalah perang dagang AS-Tiongkok tidak meningkatkan ekspor AS ke Tiongkok; bagian ekspor AS ke Tiongkok telah menyusut dari 8,4% pada tahun 2017 menjadi 7,5%. Pada tahun 2017, Tiongkok bertanggung jawab atas 47% dari defisit perdagangan AS, dan pada tahun 2022 ini telah menyusut menjadi 32%.
Bagian Eropa dalam defisit perdagangan AS telah turun dari 21% pada tahun 2017 menjadi 18% tahun lalu. Dipengaruhi oleh perjanjian perdagangan bebas "Perjanjian AS-Meksiko-Kanada" yang ditandatangani pada Oktober 2018, bagian Kanada dan Meksiko dalam defisit perdagangan AS telah meningkat dari 11% pada tahun 2017 menjadi 18% tahun lalu.
Meski total ekspor AS telah naik dari rata-rata 1,5 triliun dolar AS per tahun pada 2017 hingga 2020 menjadi 1,9 triliun dolar AS tahun lalu, peningkatan besar sebagian besar berasal dari permintaan Eropa atas energi dan produk kimia AS yang disebabkan oleh perang Rusia-Ukraina. Meski nilai total impor AS dari Tiongkok tetap stabil antara 2017 dan 2022, total impor AS telah naik sekitar 900 miliar dolar AS. Dalam 20 tahun terakhir, proporsi belanja total AS untuk produk jadi yang diimpor telah naik dari 23% menjadi 34%. Ini menunjukkan bahwa AS masih merupakan ekonomi yang bergantung pada impor, yang menyebabkan defisit perdagangan terus membesar.
Karena perang dagang dan 'decoupling', AS telah mengurangi impor barang-barang dari Tiongkok dan beralih ke impor dari negara-negara Asia Timur, Asia Tenggara dan negara tetangga. Dipengaruhi oleh "Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-Tiongkok" yang ditandatangani pada tahun 2000 dan "Perjanjian AS-Meksiko-Kanada" yang ditandatangani pada tahun 2018, ada analisis yang menunjukkan bahwa Indonesia dan Meksiko telah menjadi penerima manfaat terbesar dari 'decoupling' antara AS dan Tiongkok.
Namun, Tiongkok masih merupakan faktor terbesar di balik manfaat yang diperoleh negara-negara pihak ketiga seperti Indonesia dan Meksiko. Hal ini terutama disebabkan oleh ekspor besar-besaran komponen dan bahan baku dari Tiongkok ke Indonesia dan Meksiko, yang memungkinkan mereka meningkatkan volume ekspor ke AS. Memang, Indonesia telah menggantikan sebagian ekspor Tiongkok ke AS, khususnya dalam hal komponen komputer dan peralatan telekomunikasi.Â
Di sisi lain, total ekspor Tiongkok ke Idonesia telah meningkat dua kali lipat antara tahun 2017 dan 2022, sehingga surplus perdagangan Tiongkok-Indonesia telah meningkat hampir tiga kali lipat. Ini menunjukkan bahwa baik Tiongkok maupun Indonesia telah mendapatkan manfaat baik langsung maupun tidak langsung dari ekspor ke pasar AS, hanya saja konsumen AS yang menanggung biaya produksi tambahan.
Selain itu, volume ekspor Tiongkok ke Meksiko telah meningkat 50% pada tahun 2021, dan meningkat lagi 30% tahun lalu. Dapat dikatakan bahwa meskipun volume ekspor langsung Tiongkok ke AS telah berkurang, volume ekspor tidak langsungnya sedang meningkat. Ini menjelaskan mengapa bagian Tiongkok dalam produksi manufaktur global telah meningkat dari 26% pada tahun 2017 menjadi 31% pada tahun 2021.
Meskipun bagian impor Tiongkok dalam GDP global telah menurun dari 28% pada awal tahun 2000 menjadi 17% pada tahun 2022, volume ekspor Tiongkok ke seluruh dunia baru-baru ini mencapai puncak yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa pada saat dunia semakin bergantung pada perdagangan dengan Tiongkok, Tiongkok justru semakin mengurangi ketergantungannya pada perdagangan dunia.
Data ini menunjukkan bahwa perang dagang dan decoupling antara AS dan Tiongkok tidak hanya merugikan AS sendiri, tetapi malah memberikan keuntungan bagi negara-negara pihak ketiga (seperti Indonesia, Meksiko) dan Tiongkok.
3. Pusat Pasar Konsumen Global Bergerak ke Timur