Kawasan "Selatan Global" masih dipengaruhi oleh "Gerakan Non-Blok", dan sebagian besar negara belum memilih pihak dalam perang Ukraina. Seiring eskalasi perang proksi antara NATO dan Rusia di Ukraina pada musim semi, negara-negara Selatan Global akan menghadapi tekanan yang lebih besar untuk memilih pihak.
Artikel ini membahas posisi Indonesia, salah satu negara asal "Gerakan Non-Blok", sebagai studi kasus untuk menganalisis dampak perang Ukraina terhadap kebijakan luar negeri Indonesia dan menjelajahi perkembangan yang mungkin di masa depan.
Perkembangan Gerakan Non-Blok
Setelah perang di Semenanjung Korea meletus pada tahun 1950-an, situasi global dengan cepat beralih ke konfrontasi Perang Dingin antara dua kelompok militer besar yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet.Â
Dipengaruhi oleh prinsip-prinsip yang ditetapkan pada Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, Jawa Barat (termasuk menghormati hak asasi manusia, kedaulatan, integritas teritorial, kemerdekaan, kesetaraan, tidak campur tangan dalam urusan domestik negara lain, penyelesaian damai konflik internasional, dan mempromosikan kerja sama dan kepentingan bersama), Gerakan Non-Blok resmi didirikan pada tahun 1961 di Belgrade, ibukota bekas Yugoslavia.
Hingga saat ini, Gerakan Non-Blok memiliki 120 negara anggota, 20 negara pengamat, dan 10 organisasi internasional; menjadi organisasi internasional terbesar kedua setelah PBB.
Ini dapat menjelaskan mengapa posisi diplomatik Indonesia dan Amerika Serikat berbeda sejak konflik Rusia-Ukraina meletus.
Sebagai negara pasca-kolonial yang pernah mengalami infiltrasi dan subversi oleh kekuatan eksternal selama Perang Dingin, Indonesia selalu skeptis terhadap negara adikuasa. Indonesia telah mengusung jalur diplomasi "non-blok" untuk melindungi kepentingan nasionalnya dari pengaruh negara adikuasa.
Sementara itu, Indonesia mengusulkan jalur yang mengutamakan kepentingan negara berkembang, melalui "diplomasi kekuatan menengah" (middle power diplomacy) untuk menjaga hukum internasional, memediasi konflik, dan mendukung pentingnya organisasi internasional.
Namun, Indonesia tidak sepenuhnya mengikuti langkah Amerika Serikat. Pada Maret tahun lalu, Kementerian Luar Negeri Indonesia awalnya menyatakan bahwa serangan terhadap Ukraina "tak dapat diterima", tetapi menolak menyebutkan "Rusia" secara spesifik.