Pemandangan yang berbeda justru terlihat pada makam Belanda dan makam lainnya. Terlepas apakah Pemerintah Belanda mendanai atau tidak untuk merawat makam serdadu Belanda di Kerkhof, yang jelas makam Belanda (kecuali makam Pocut) selalu dirawat, dicat, diberi keterangan pada batu nisan, dan tampak berseri-seri. Singkatnya, makam Belanda diperhatikan, sementera makam Pocut seperti orang asing, sepi, dan sunyi. Padahal mereka bersemayam dalam komplek yang sama. Itulah yang terjadi sebelum akhirnya makam Pocut dipugar dan ditetapkan sebaga cagar budaya.
***
Pada saat Safiatuddin dinobatkan sebagai Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam dan berkuasa selama 34 tahun (1641-1675), sebetulnya makam Pocut sudah mulai diperhatikan jauh sebelum Pemerintah saat ini mencurahkan perhatiannya. Menurut catatan sejarah, Sultanah Safiatuddin yang merupakan adik dari Pocut Meurah Pupok, memberikan titah dan perintah kepada pihak istana Kerajaan Aceh untuk mengurusi makam kakaknya tersebut. Titah itu kemudian direspon dengan baik oleh pihak istina Aceh. Maka jadilah makam Meurah Pupok ditata menjadi lebih rapi dan diberikan penghormatan layaknya seorang pangeran kerajaan.
Setelah bertahun-tahun sempat tak diacuhkan oleh pemangku istana Aceh, Pocut Meurah Pupuk kembali menarik perhatian dan topik pembicaraan, meskipun Meurah Pupok sudah tak hidup lagi. Tentu saja, hal ini tidak terlepas dari upaya yang dilakukan oleh adiknya, Sultanah Safiatuddin. Tapi, setelah Sultanah Safiatuddin mangkat dari tampuk kekuasaannya, seperti yang telah diprediksi sebelumnya, bahwa Pocut Meurah Pupok kembali sunyi dan berlalu.
Di Aceh, yang kemudian dibicarakan adalah bagaimana cara membanggakan kebesaran sejarah Aceh melalui warung kopi, dunia perkuliahan dan pidato pejabat. Sementara untuk merawat ingatan sejarah Aceh, entah itu lewat replikasi, wisata, pertunjukkan, digitalisasi dan bahkan penelitian sejarah dengan tujuan agar sejarah Aceh tidak punah dimakan oleh waktu, nyaris tak tersentuh dan seringkali terabaikan. Ya, Aceh masih terjebak dalam tradisi lisan.
Menurut saya, justru perkara kebesaran sejarah Aceh itu akan tampak lebih megah apabila dapat direalisasikan sebagaimana yang saya sebutkan diatas. Sebagai contoh, Anda tahu kota Yogyakarta? Mengapa ia menjadi besar dan istimewa, karena kota Yogyakarta berhasil menghadirkan kebesaran sejarah di masa kini, sehingga orang-orang yang pernah singgah ke Yogyakarta atau sekedar berliburan saja, tahu betul megah dan istimewanya kota Yogyakarta lantaran mampu menyuguhkan kebesaran sejarah beserta adat dan istiadatnya kepada para pengunjung hingga membuat orang-orang rindu dan ingin kembali ke sana. Jadi, saya rasa warga di Yogyakarta itu, barangkali memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar untuk bergerak memajukan daerahnya sendiri. Mungkin saja.
Sementara di Aceh, rasa tanggung jawab itu mungkin terlalu banyak dioper-oper sana sini: dari satu individu ke individu yang lainnya, dari satu kelompok ke kelompok lainnya. Termasuk dalam hal merawat dan membesarkan sejarah Aceh, meski tentu saja tak seluruhnya begitu. Tetapi ada semacam nuansa seperti, “Ah, masih ada orang yang lain yang bisa mengemban tugas mulia itu.” Bukannya berprasangka buruk, namun ada banyak pemandangan yang mencerminkan dugaan itu.
Kalau bicara sejarah, benar bahwa Aceh memiliki panggung sejarah yang besar, panjang dan selalu menarik untuk diperbincangkan. Tetapi, kalu bicara bagaimana merawat ingatan sejarah Aceh beserta peninggalannya itu, jelas sekali belum dapat dikatakan sudah dikelola dengan baik dan benar. Masih banyak sekali peninggalan sejarah Aceh yang tercecer, mati suri, tak terawat, dan bahkan ada yang tak tersentuh sama sekali. Ini belum termasuk tentang menjemput pulang peninggalan sejarah Aceh dibeberapa negara, memperbaiki (rekonstruksi) penulisan sejarah, bahkan soal anggaran penelitian sejarah pun tak jelas disediakan atau tidak, yang akhirnya justru dapat membuat stigma bahwa Aceh tak pernah menghargai sejarahnya.