Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aceh, Indonesia, dan Sejarah yang Tak Boleh Dilupakan

20 Maret 2019   17:37 Diperbarui: 4 Juli 2021   04:06 2173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika Anda memilih sisi Aceh, maka persepsi Anda akan dibentuk sedemikian rupa bahwa Pemerintah Indonesia, terutama dibawah pimpinan Jenderal Soekarno dan Soeharto adalah dua jenderal diktator yang kejam nan jahat kepada Aceh. Dua orang itu adalah sosok yang telah melakukan operasi militer yang begitu keras kepada rakyat Aceh.

Pada masa pemerintahan Soekarno misalnya, Aceh dileburkan ke dalam provinsi Sumatra Utara. Praktis, Aceh yang pernah menjadi raksasa dunia semasa Kerajaan Aceh Darussalam, nyaris ketika itu hilang dan tak ubahnya seperti sebuah kabupaten. Artinya, Aceh menjadi kecil dan dikecilkan. Itu terjadi pada medium 1949.

Baca juga : Paradoks Kebijakan di Aceh: Toleransi Identitas Beragama

Selain itu, Soekarno juga menolak Aceh untuk menerapkan Syariat Islam. Padahal Soekarno sendirilah yang pada kedatangannya di Aceh, berjanji kepada Daud Beureueh akan memberikan 3 kebebasan khusus bagi Aceh (agama, pemerintah, dan budaya) lewat pengaruhnya. Tapi janji itu tak kunjung direalisasikan oleh Soekarno, bahkan cenderung dikhianati.

Sampai pada titik ini, Aceh murka dan bergejolak. Maka meletuslah peristiwa Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin oleh Daud Beureueh, sosok yang dulunya begitu dekat dengan Soekarno. Operasi militer pun diterapkan di Aceh oleh aparat militer Indonesia atas instruksi Soekarno untuk menumpas anggota DI/TII pimpinan Daud Beureueh.

Kekejaman terhadap Aceh terus berlanjut pada pemerintahan Soeharto. Di era Presiden RI berintang lima ini, kekayaan bumi Serambi Mekkah dikuras habis oleh mereka yang bercokol di Jakarta dengan bantuan pihak swasta. Rakyat Aceh dijadikan penonton dalam upaya mengangkut segala kekayaan alamnya. Pada masa itu, Aceh dapat disebut sebagai daerah yang telah dimasukkan ke dalam cengkraman gurita kapitalisme.

Lebih jauh lagi, Soeharto juga menjadikan Aceh sebagai tempat pemindahan "kemiskinan" dengan program andalannya adalah "transmigrasi". Hadirnya program transmigrasi di Aceh disinyalir sebagai langkah Soeharto untuk mengurangi angka kemiskinan di pulau Jawa. Artinya, Soeharto ingin berbagi beban Pemerintah Pusat kepada Aceh. Selain itu, pembajakan dan penyeragaman adat istiadat di Aceh juga gencar dilakukan.

Baca juga : Bagaimana Jika Bukan Hanya Aceh yang Menerapkan Hukum Jinayat?

Akibatnya, di masa Soeharto inilah, sebuah gerakan bernama Aceh Merdeka (AM-kemudian berubah menjadi GAM) resmi diproklamirkan oleh Tgk. Muhammad Hasan Tiro di Gunung Halimun pada tanggal 4 Desember 1976 yang bertujuan untuk memisahkan Aceh dari cengkraman Indonesia.

Dengan persepsi yang sedemikian rupa itu, maka jadilah Anda sebagai orang (terutama di Aceh) yang sebegitu bencinya kepada Indonesia atas apa yang pernah dilakulan oleh Jenderal Soekarno dan Soeharto. Dalam benar Anda, dua Jenderal itu, besar kemungkinan akan dianggap sebagai dua orang diktator jahat yang selalu berusaha untuk menekan rakyat Aceh.

Hadirnya tokoh DI/TII dan GAM dianggap oleh Aceh, terutama Daud Beureueh dan Hasan Tiro, adalah sebagai sebuah upaya dan jalan untuk melawan Indonesia, melawan operasi militer sekaligus melawan kesewang-wenangan Pemerintah Pusat terhadap Aceh. Itu adalah sedikit tidaknya persepsi dari Aceh. Silahkan setuju atau tidak dengan argumen tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun