Oleh: Chaerol Riezal*
Datanglah ke makam Teuku Umar di Mugo (Meulaboh-Aceh Barat) dan makam Cut Nyak Dhien di Sumedang (Jawa Barat) pada suatu waktu. Atau datanglah ke Rumah Cut Nyak Dhien di daerah Lampisang berbatasan dengan kota Banda Aceh pada suatu hari nanti. Disanalah kenangan-kenangan akan sepasang suami-istri, Umar dan Dhien diabadikan.
Bagi Anda yang pernah mengikuti perjalanan sejarah Aceh dalam masa perang Belanda di Aceh (1873-1942), khususnya mengenai Umar dan Dhien, pasti tahu tentang pasangan suami-istri tersebut, yang kelak akan membuat pasukan Belanda kewalahan menghadapinya. Namun, ke-kelak-an itu muncul dan dibabat oleh kisah sejarah berbau romantisme antara Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien.
Ya, kisah asrama itu bermula ketika Umar melamar Dhie, kemudian sah menjadi pasangan suami-istri, lalu Umar tampil sebagai pemimpin perang Aceh, dan terakhir Dhien tampil untuk melanjutkan perjuangan Umar yang telah syahid. Kedua tokoh itu berjuang di medan pertempuran untuk melawan dan mengusir pasukan Belanda dari tanah Aceh.
Tapi sayangnya, Umar dan Dhien tidak dimakamkan secara berdampingan, seperti halnya Theo van Gogh yang dimakamkan tepat disamping makam kakaknya Vincent Willem van Gogh, atau seperti halnya rencana Habibie yang telah memutuskan untuk dimakamkan disamping makam istri tercintanya, Ainun, ketika ia meninggal dunia kelak. Sementara Umar dan Dhien tidak demikian. Meskipun Umar dan Dhien terpisah oleh jarak yang teramat jauh, kisah sejarahnya tetap hidup dalam satu kenangan ke kenangan lain, dan mengalir dari satu cerita ke cerita berikutnya. Kisah itu pun, kini telah sampai kepada saya.
Umar dan para pejuang Aceh lainnya syahid di medan pertempuran ketika Perang Belanda di Aceh sedang berlangsung. Umar dinyatakan meninggal dunia pada 11 Februari 1899. Jasad Umar kemudian dikebumikan di daerah Mugo, Aceh Barat. Sementara Cut Nyak Dhien meninggal pada 8 November 1906 di Sumedang.
Bedanya, Umar meninggal ketika pasukan Belanda mendadak melakukan serangan terhadap pasukan Aceh ditepi pantai Langkak daerah Meulaboh. Dalam serangan itu, Umar terkena peluru dari pasukan Belanda. Tapi pejuang Aceh --beberapa sumber ada yang menyebutkan bahwa orang itu adalah pengawal setia Umar --berhasil melarikan Umar yang terkena peluru hingga akhirnya Umar meninggal dunia dan dikebumikan ke daerah Mugo, Aceh Barat.
Dimakamkannya Dhien di luar daerah Aceh, itu terjadi ketika Belanda menangkap Cut Nyak Dhien secara terhormat setelah Pang Laot memberitahukan tempat persembunyian Dhien kepada Belanda, tetapi dengan syarat tidak mengerahkan pasukan yang besar dan harus dilakukan secara terhormat dan manusiawi.
Perlu dicatat, mengasingkan seorang tokoh besar merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh Belanda waktu itu. alasannya pun jelas, Belanda ingin memangkas pengaruh tokoh tersebut terhadap rakyatnya. Boven Digul yang terletak di Papua merupakan tempat pengasingan dan sekaligus saksi bisu atas kebiasaan Belanda tersebut. Tapi jangan lupa, bahwa Boven Digul itu dipenuhi nyamuk malaria dan pada akhirnya akan membawa penyiksaan dan kematian.
Ketika Cut Nyak Dhien diasingkan oleh Belanda ke Sumedang, waktu itu tak ada satu yang mengira bahwa perempuan tua yang mereka panggil Ibu Perbu itu adalah The Queen of Aceh Batlle dari Perang Belanda di Aceh (1873-1942) bernama Cut Nyak Dhien. Barulah setelah Dhien meninggal dunia, masyarakat setempat di Sumedang mengatahui bahwa perempuan tua itu adalah srikandi hebat dari Tanah Rencong, hingga akhirnya berita itu tersebar luas sampailah ke Aceh dan bahkan sampai hari ini juga saya mengatahui bahwa Dhien ternyata tidak dikebumikan di Aceh, tetapi Dhien bersemayam di Sumedang daerah Jawa Barat.
Ya benar, hari-hari terakhir Cut Nyak Dhien dalam pengasingannya di Sumedang memang dihiasi oleh kesunyian, kesenyapan dan kesepian. Ia jauh dari orang-orang yang sangat ia cintai di Aceh. Tetapi, seperti halnya Umar yang sibuk saat masih aktif dalam memimpin pasukan Aceh, Dhien juga tidak mau hari-hari terakhirnya di Sumedang harus berakhir sepi tanpa kesibukan apapun. Karena itulah, Dhien memutuskan untuk memberikan dakwah atau semacam pengetahuan tentang agama Islam kepada masyarakat setempat. Itulah sebabnya, mengapa masyarakat Sumedang sangat mencintai Cut Nyak Dhien, bahkan ada kabar yang menyebutkan sebagian masyarakat Sumedang sudah menganggap Cu Nyak Dhien sebagai tokoh sejarah dari daerah mereka sendiri.
*
Seperti halnya Van Gogh yang dikenal kerap berpindah-pindah tempat untuk mengasahkan kemampuan seninya, Umar dan Dhien pun melakukan hal yang serupa. Selain pernah terlibat perang dengan pasukan Belanda diwilayah Meulaboh, Umar tercatat pernah berpindah ke beberapa tempat seperti di Aceh Jaya, Kutaraja, Aceh Besar dan Pidie. Dhien juga demikian. Kawasan lainnya yang sempat disinggahi oleh mereka adalah hutan rimba di Aceh. Setidaknya terdapat dua alasan yang paling kuat mengapa mereka berpindah-pindah tempat. Pertama, itu merupakan ciri khas taktik perang gerilya dari pasukan Aceh, dan yang kedua adalah adanya surat tugas militer.
Walalupun Umar sempat mengalami pertempuran hebat di daerah tersebut dan memperoleh kemenangan, akhirnya Umar ditugaskan kembali untuk memimpin pasukan Aceh diwilayah Meulaboh. Di sanalah Umar kembali membuat geger pihak kolonial Belanda dengan berita yang sangat menggemparkan. Umar pun sukses menyajikan pertempuran sengit dan panas dengan pasukan Belanda. Selain itu, Umar juga mampu menampilkan perang yang dipadukan dengan semangat jihad fisabilillah ketika berhadapan dengan serdadu Belanda.
Di dalam pasukan Aceh, terutama diwilayah Meulaboh (Aceh Barat), Umar dikenal sebagai otak dari segala kefrustasian yang dihadapi oleh pasukan Belanda. Dhien pun juga demikian. Ia tak kalah hebatnya dengan Umar, bahkan sempat dianggap oleh Belanda sebagai biang kerepotan para serdadunya. Tatapi, kehadiran Umar diwilayah Meulaboh (Aceh Barat) diakui oleh semua pihak, termasuk oleh Belanda sendiri, turut memberikan dampak yang luar biasa kepada pasukan Aceh. Umar mampu memberikan gairah perang tersendiri untuk pasukan Aceh dalam menghadapi gempuran serangan dari pasukan Belanda. Umar seolah menjadi lilin bagi pasukan Aceh. Meski demikian, kita juga tidak dapat mengabaikan begitu saja peranan dari pasukan Aceh itu sendiri yang telah banyak berjasa dalam peperangan dengan Belanda.
Di antara pasukan Aceh, Umar dan Dhien menjadi dua figur yang sentral, meskipun mereka bertindak sebagai pimpinan perang. Kemampuannya dalam memimpin pasukan Aceh dan membaca kelemahan (taktik perang) pasukan Belanda, menjadikan Umar dan Dhien sebagai otak dari kefrustasian kolonial Belanda. Taktik perang yang di usung oleh mereka berdua, terkadang sulit dibaca oleh Belanda. Tetapi kehebatan Umar dan Dhien, tidak terlepas dari koneksi hebat diantara mereka berdua yang menghubungkan satu sama lainnya. Terlebih lagi, ketika Umar syahid, Dhien langsung memberikan respons yang hebat kepada Belanda dengan mengambil alih tampuk kepemimpinan perang yang ditinggalkan oleh Umar. Inilah koneksi hebat yang diperlihatkan oleh Umar dan Dhien sebagai pasangan suami-istri.
Namun demikian, kepergian Umar untuk selama-lamanya pada 11 Februari 1899 sempat menimbulkan romantisme yang sulit untuk dibendung. Kenang-kenangan akan kehadiran Umar dalam memimpin pasukan Aceh selama aktif berperang memang sangat dirindukan. Sosok pria tampan selaku panglima perang itu namun arogan, yang dari mulutnya bisa keluar kata-kata puitis, cerdas, dan sampai pedas tapi berkelas, telah meninggalkan jejak-jejak yang amat berkesan dikalangan pasukan Aceh. Kesan itu justru semakin bertambah ketika Dhien diasingkan oleh Belanda.
Van Gogh, walaupun ia didapuk sebagai pelukis kenamaan asal Negeri Kincir Angin, semasa hidupnya sempat merasakan getir ketika lukisan yang ia karyakan tidak laku dijual di pasar. Umar dan Dhien, dengan segala kemampuan luar biasanya sebagai pemimpin perang Aceh, juga sempat merasakan kegetiran saat taktik perang dan tempat persembunyiannya diketahui oleh Belanda. Hal itu terjadi karna adanya pengkhianatan dalam tubuh pasukan Aceh sendiri. Di Aceh, waktu itu segala bentuk pengkhianatan dikenal dengan sebutan cuak.
**
Teuku Umar memang piawai dalam membangun opini publik, bahkan Belanda sendiri pun pernah tertipu dua kali oleh Umar. Tapi Umar bukan pemimpin pasukan kacangan yang bercuap-cuap hanya untuk mengaburkan kekurangan-kekurangan (logistik perang) yang dimiliki oleh pasukan Aceh. Lewat tangan Umar sendiri, tak terhitung berapa jumlah pasukan Belanda yang dikirimkan (dikembalikan) kepada Tuhan.
Ketika Umar memutuskan untuk menyeberang ke Belanda, nyaris sebagian pasukan Aceh dibawah pimpinannya mengaitkan hal itu sebagai bentuk pengkhiatan Umar. Tapi ternyata, Umar membuktikan kepada pasukan Aceh bahwa keputusannya bergabung dengan Belanda, adalah sebagai taktik manipulasi saja, agar ia bisa mengetahui kelemahan lawan dan merebut logistik perang (persenjataan) milik Belanda. Umar pun sukses membuat siasat perang dan memecah opini publik.
Dan keputusan Umar untuk menyeberang ke Belanda sebagai bentuk manupulasi ternyata benar. Pihak yang paling beruntung mendapatkan kembali Umar adalah pasukan Aceh. Setelah proses kembalinya Umar ke pangkuan pasukan Aceh yang dilakukan sendirinya, suami Cut Nyak Dhien itu hadir kembali untuk memimpin pasukan Aceh telah memperoleh sebagian logistik perang hasil rampasan Umar saat ia berpura-pura menjadi sekutu Belanda.
Seberapa besar imbas dan pengaruh kedatangan kembalinya Umar buat pasukan Aceh, tentu saja itu urusan pasukan Aceh dan Teuku Umar sendiri. Tapi yang juga menarik dari kedatangan Umar itu adalah efek negatif bagi pasukan Belanda, bahwa Belanda akan kembali berhadapan dengan pasukan Aceh dibawah komando Umar.
Oleh sebagian kalangan yang menganggap bahwa, ketika Umar memutuskan untuk berpihak kepada Belanda, itu jelas akan memberikan sebuah keuntungan besar bagi Belanda sendiri. Belanda menganggap hal itu akan mempermudah misi mereka dalam menundukkan Aceh demi segala kepentingannya. Ternyata dugaan Belanda salah. Umar memutuskan bahwa ia telah kembali ke pangkuan pasukan Aceh. Berita kembalinya Umar ke pasukan Aceh sangat menggemparkan pihak kolonial Belanda, bahkan gelar johan pahlawan yang sempat melekat pada diri Umar terpaksa dicopot oleh Belanda sendiri sebagai bentuk kekecewaanya atas pembelotan yang dilakukan oleh Umar.
Belanda tidak mengira bahwa Umar akan melakukan hal itu. Belanda juga tidak mengira bahwa Umar ternyata telah mengantongi taktik perang yang telah di desain oleh pasukan Belanda untuk menyerang pasukan Aceh. Bahkan pihak Belanda juga tidak mengira bahwa Umar akan merebut persenjataan milik Belanda, untuk kemudian diserahkan ke pasukan Aceh dan menghantam balik pasukan Belanda.
Belanda pun dibuat guncang oleh Umar, sehingga dengan segala kelicikannya menghalalkan segala cara untuk menangkap Umar secara hidup atau mati. Kebrutalan Belanda kepada Rakyat Aceh adalah sebagai bentuk kepanikan Belanda atas pembelotan yang dilakukan oleh Umar waktu itu. Bahkan secara terang-terangan Belanda ingin mengambil otak yang dimiliki Umar untuk melihat kejeniusannya. Tetapi, harus diakui bahwa Umar memang jenius dalam menghadapi Belanda. Akhirnya Umar menjadi buronan nomor wahid pasukan Belanda, dan Umar pun sukses menggerogoti tubuh pasukan Belanda.
***
Berkat perjuangan dari Theo van Gogh dan Johanna Bonger, maha karya lukisan-lukisan milik Vincent Willem van Gogh yang awalnya tidak laku dijual di pasaran perlahan mulai laku dan membuat nama Van Gogh, yang sudah meninggal dunia, menjadi dikenal oleh dunia bahkan dianggap pelukis yang melampaui zamannya.
Umar dan Dhien juga demikian. Berkat laporan-laporan yang dituliskan orang-orang yang pernah menyaksikan langsung dasyatnya perang Belanda di Aceh, nama Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien menjadi dikenal dunia. Puncaknya adalah ketika para sejarawan melakukan kajian (penelitian) terhadap kedua sosok tersebut, yang melahirkan laporan penelitian dalam bentuk buku sejarah sehingga nama Umar dan Dhien pun ikut terkenal sedemikian luasnya.
Catatan sejarah tentang Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien akan terus terekam dalam setiap ingatan, terutama oleh rakyat Aceh, dan mungkin akan terkenang secara tiba-tiba saat tanggal penting bersejarah di Aceh di peringati.
Segala macam cerita, kisah sedih dan kesaksisan mengenai romantisme Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien, akan terus ditransformasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dan, dengan cara seperti itulah masing-masing generasi akan selamanya mengenang peristiwa sejarah Aceh pada masa Perang Belanda di Aceh dalam narasi yang utuh, terutama mengenai sepasang suami-istri yang berjuang melawan Belanda; Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien.
Tulisan opini ini memang disusun secara tidak romantis dan bersifat ilmiah, tetapi cerita tentang sejarah Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien memang sangat romantis. Sungguh sanggat romantis. Seperti sebuah cerita romantika yang penuh dengan percintaan, kemesraan dan  mengasyikkan. Romantisme Umar dan Dhien adalah tentang perasaan, pikiran dan tindakan spontanitas yang mengutamakan imajinasi, emosi dan sentimen idealisme. Tetapi, jangan lupa, perjuangan mereka berdua adalah mutlak untuk melenyapkan segala bentuk praktek kolonialisme Belanda di Aceh.
Akhir dari hidup Umar dan Dhien, memang mungkin kurang romantis, sebagaimana Theo van Gogh dimakamkan disamping makam sang kakak Vincent Willem van Gogh. Sementara Umar dan Dhien terpisah oleh jarak yang teramat jauh, Umar dimakamkan di Aceh Barat dan Dhien dimakamkan di Jawa Barat.
Tapi cerita kedua tokoh sejarah itu benar-benar romantis. Tak ada keraguan soal itu. Dapat dipastikan bahwa cerita tentang mereka tidak akan pernah berakhir, dan tentu saja akan selalu mengundang decak kagum. Buktinya, pasangan suami-istri ini tak pernah bosan dan selalu dibicarakan oleh kebanyakan orang. Bahkan nama Umar dan Dhien selalu disinggung dalam setiap orasi politik atau pada saat masa kampanye telah tiba.
Ah, bagaimana mungkin Anda bisa bilang bahwa perjalanan hidup Teuku Umar bersama Cut Nyak Dhien tidaklah romantis. Bahkan walaupun kita sadar atau tidak, Dhien yang juga merupakan seorang perempuan, ketika Umar syahid langsung melanjutkan perjuangan suaminya dalam memimpin pasukan Aceh.
Singkatnya, Umar dan Dhien memang pasangan yang sangat romantis dalam hal melanjutkan perjuangan orang yang di cintainya, dan mereka memang memiliki koneksi yang hebat. Keromantisan Umar dan Dhien tertara jelas dalam surat keputusan (SK) Presiden Indonesia yang menganugerahi mereka berdua gelar pahlawan nasional. Bahkan nama Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pun diabadikan dalam salah satu universitas dan rumah sakit di Aceh Barat, serta sejumlah nama jalan dibeberapa daerah. Jadi, bagaimana romantis tidak?
Selesai.
Kamis, 21 September 2017.
= = = = = =
**Penulis merupakan Mahasiswa Program Pascasarjana Program Studi Magister Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, asal dari Aceh, Nagan Raya. Email: chaerolriezal@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H