Perlu dicatat, mengasingkan seorang tokoh besar merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh Belanda waktu itu. alasannya pun jelas, Belanda ingin memangkas pengaruh tokoh tersebut terhadap rakyatnya. Boven Digul yang terletak di Papua merupakan tempat pengasingan dan sekaligus saksi bisu atas kebiasaan Belanda tersebut. Tapi jangan lupa, bahwa Boven Digul itu dipenuhi nyamuk malaria dan pada akhirnya akan membawa penyiksaan dan kematian.
Ketika Cut Nyak Dhien diasingkan oleh Belanda ke Sumedang, waktu itu tak ada satu yang mengira bahwa perempuan tua yang mereka panggil Ibu Perbu itu adalah The Queen of Aceh Batlle dari Perang Belanda di Aceh (1873-1942) bernama Cut Nyak Dhien. Barulah setelah Dhien meninggal dunia, masyarakat setempat di Sumedang mengatahui bahwa perempuan tua itu adalah srikandi hebat dari Tanah Rencong, hingga akhirnya berita itu tersebar luas sampailah ke Aceh dan bahkan sampai hari ini juga saya mengatahui bahwa Dhien ternyata tidak dikebumikan di Aceh, tetapi Dhien bersemayam di Sumedang daerah Jawa Barat.
Ya benar, hari-hari terakhir Cut Nyak Dhien dalam pengasingannya di Sumedang memang dihiasi oleh kesunyian, kesenyapan dan kesepian. Ia jauh dari orang-orang yang sangat ia cintai di Aceh. Tetapi, seperti halnya Umar yang sibuk saat masih aktif dalam memimpin pasukan Aceh, Dhien juga tidak mau hari-hari terakhirnya di Sumedang harus berakhir sepi tanpa kesibukan apapun. Karena itulah, Dhien memutuskan untuk memberikan dakwah atau semacam pengetahuan tentang agama Islam kepada masyarakat setempat. Itulah sebabnya, mengapa masyarakat Sumedang sangat mencintai Cut Nyak Dhien, bahkan ada kabar yang menyebutkan sebagian masyarakat Sumedang sudah menganggap Cu Nyak Dhien sebagai tokoh sejarah dari daerah mereka sendiri.
*
Seperti halnya Van Gogh yang dikenal kerap berpindah-pindah tempat untuk mengasahkan kemampuan seninya, Umar dan Dhien pun melakukan hal yang serupa. Selain pernah terlibat perang dengan pasukan Belanda diwilayah Meulaboh, Umar tercatat pernah berpindah ke beberapa tempat seperti di Aceh Jaya, Kutaraja, Aceh Besar dan Pidie. Dhien juga demikian. Kawasan lainnya yang sempat disinggahi oleh mereka adalah hutan rimba di Aceh. Setidaknya terdapat dua alasan yang paling kuat mengapa mereka berpindah-pindah tempat. Pertama, itu merupakan ciri khas taktik perang gerilya dari pasukan Aceh, dan yang kedua adalah adanya surat tugas militer.
Walalupun Umar sempat mengalami pertempuran hebat di daerah tersebut dan memperoleh kemenangan, akhirnya Umar ditugaskan kembali untuk memimpin pasukan Aceh diwilayah Meulaboh. Di sanalah Umar kembali membuat geger pihak kolonial Belanda dengan berita yang sangat menggemparkan. Umar pun sukses menyajikan pertempuran sengit dan panas dengan pasukan Belanda. Selain itu, Umar juga mampu menampilkan perang yang dipadukan dengan semangat jihad fisabilillah ketika berhadapan dengan serdadu Belanda.
Di dalam pasukan Aceh, terutama diwilayah Meulaboh (Aceh Barat), Umar dikenal sebagai otak dari segala kefrustasian yang dihadapi oleh pasukan Belanda. Dhien pun juga demikian. Ia tak kalah hebatnya dengan Umar, bahkan sempat dianggap oleh Belanda sebagai biang kerepotan para serdadunya. Tatapi, kehadiran Umar diwilayah Meulaboh (Aceh Barat) diakui oleh semua pihak, termasuk oleh Belanda sendiri, turut memberikan dampak yang luar biasa kepada pasukan Aceh. Umar mampu memberikan gairah perang tersendiri untuk pasukan Aceh dalam menghadapi gempuran serangan dari pasukan Belanda. Umar seolah menjadi lilin bagi pasukan Aceh. Meski demikian, kita juga tidak dapat mengabaikan begitu saja peranan dari pasukan Aceh itu sendiri yang telah banyak berjasa dalam peperangan dengan Belanda.
Di antara pasukan Aceh, Umar dan Dhien menjadi dua figur yang sentral, meskipun mereka bertindak sebagai pimpinan perang. Kemampuannya dalam memimpin pasukan Aceh dan membaca kelemahan (taktik perang) pasukan Belanda, menjadikan Umar dan Dhien sebagai otak dari kefrustasian kolonial Belanda. Taktik perang yang di usung oleh mereka berdua, terkadang sulit dibaca oleh Belanda. Tetapi kehebatan Umar dan Dhien, tidak terlepas dari koneksi hebat diantara mereka berdua yang menghubungkan satu sama lainnya. Terlebih lagi, ketika Umar syahid, Dhien langsung memberikan respons yang hebat kepada Belanda dengan mengambil alih tampuk kepemimpinan perang yang ditinggalkan oleh Umar. Inilah koneksi hebat yang diperlihatkan oleh Umar dan Dhien sebagai pasangan suami-istri.
Namun demikian, kepergian Umar untuk selama-lamanya pada 11 Februari 1899 sempat menimbulkan romantisme yang sulit untuk dibendung. Kenang-kenangan akan kehadiran Umar dalam memimpin pasukan Aceh selama aktif berperang memang sangat dirindukan. Sosok pria tampan selaku panglima perang itu namun arogan, yang dari mulutnya bisa keluar kata-kata puitis, cerdas, dan sampai pedas tapi berkelas, telah meninggalkan jejak-jejak yang amat berkesan dikalangan pasukan Aceh. Kesan itu justru semakin bertambah ketika Dhien diasingkan oleh Belanda.
Van Gogh, walaupun ia didapuk sebagai pelukis kenamaan asal Negeri Kincir Angin, semasa hidupnya sempat merasakan getir ketika lukisan yang ia karyakan tidak laku dijual di pasar. Umar dan Dhien, dengan segala kemampuan luar biasanya sebagai pemimpin perang Aceh, juga sempat merasakan kegetiran saat taktik perang dan tempat persembunyiannya diketahui oleh Belanda. Hal itu terjadi karna adanya pengkhianatan dalam tubuh pasukan Aceh sendiri. Di Aceh, waktu itu segala bentuk pengkhianatan dikenal dengan sebutan cuak.