Pernyataan anggota DPR RI itu justru memantik reaksi dari berbagai kalangan masyarakat Aceh, tak kecuali bagi saya sendiri. Bagi saya pribadi, pernyataan tersebut sangat kontra dan sekaligus memperlihatkan betapa bodohnya kedua anggota DPR RI itu, padahal yang kita tahu mereka adalah orang yang duduk di Parlemen Senayan yang notabene orang-orang yang paham akan hukum dan politik. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Bahkan mereka pun tak mau mengakui kesalahan dan terkesan mencari alasan, apalagi meminta maaf atas keteledoran yang dilakukan.
Di sisi lain, anggota DPR RI asal Aceh rupanya cukup piawai membawa nama Pemerintah Aceh dan DPRA atas dihapusnya 2 Pasal UUPA dalam UU Pemilu tersebut akibat kesalahan mereka sendiri. Disinilah letak kepiawaian anggota DPR RI asal Aceh bahwa mereka enggan dijadikan pihak kesalahan atas dihapusnya 2 Pasa UUPA tersebut. Karena itulah, mereka mencoba berlindung dibalik nama Pemerintah Aceh dan DPRA. Tetapi keanehan ini justru menyadarkan kita semua bahwa Pemerintah Aceh dan DPRA bukanlah pihak Eksekutif dan Legislatif di tingkat Nasional yang mempunyai wewenang untuk membahas rancangan UU Pemilu 2017 di Gedung MPR/DPR/DPD RI Senayan-Jakarta.
Kelucuan ini memaksa kita untuk bertanya: Kepada siapakah sebenarnya wakil rakyat Aceh di DPR dan DPD RI bekerja? Kepada rakyat Aceh ataukah partai politik mereka? Saya sendiri? Jelas mengatakan bahwa mereka bekerja untuk partai politiknya, sebab yang dibahas dalam DPR RI adalah undang-undang pemilu. Cukuplah bagi saya sendiri untuk mengatakan bahwa tahun 2018 dan 2019 adalah tahunnya pemilu dimana mereka akan bekerja giat untuk partai politiknya masing-masing.Â
Celakanya, Aceh menjadi korban daerah bagi mereka yang akan meraup keuntungan lewat kotak suara di tahun pemilu nanti, sementara mereka masih melakukan kesalahan untuk Aceh. Dihapusnya 2 Pasal UUPA dalam UU Pemilu 2017 adalah sebagai bentuk ketidakmampuan wakil rakyat Aceh di Senayan dalam menjaga kepentingan Aceh dan merawat perdamaian Aceh, sekaligus menunjukkan bahwa mereka memang orang yang malas membaca undang-undang sehingga 2 Pasal UUPA jadi dihapus sekalipun hal itu menguntungkan bagi Aceh.
Ya, seperti judul tulisan diatas ini, MoU Helsinki dan Hilangnya Sebuah Kepastian Aceh, ia adalah senyata-nyatanya produk perdamaian yang dihasilkan antara rasa setengah hati dan keengganan untuk merealisasikan seluruh butir-butir MoU Helsinki tersebut. Ya benar, seringkali apa yang kita ingin-inginkan malah meleset. Apa boleh buat.
Solo, 30 Juli 2017.
= = = = = = =
**Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo asal dari Aceh-Nagan Raya. Email: chaerolriezal@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H