Jika kita lihat ke belakang Pergerakan Nasional bisa dikatakan sebagai dampak dari Politik Balas Budi (Politik Etis) yang digalakkan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1901 (pada saat pidato Ratu Wilhelmina). Politik Etis yang ditekankan pada tiga aspek kehidupan yaitu irigasi, edukasi, dan transmigrasi. Yang pada mulanya ditujukan untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah namun intelek untuk mengimbangi kemajuan perekonomian dunia pada saat itu. Tetapi hal itu sedikit banyak membuat kemajuan di bidang pendidikan yang menjadi akar dari pergerakan nasional. Sekolah-sekolah banyak didirikan dan adanya perluasan pendidikan yang tidak ekslusif lagi (meskipun di berbagai segi ada yang bercorak diskriminasi).
Upaya pendidikan dalam politik etis itu adalah mendirikan pendidikan untuk anak-anak Bumiputera. Pendidikan itu lebih banyak diminati oleh kelompok priyayi rendahan yang berniat masuk kedalam struktur sosial yang lebih tinggi. Dengan timbulnya elit baru yaitu “Priyayi Rendahan” dengan tingkat intelektualitas tinggi ini, kelak akan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Golongan priyayi rendahan ini mereka terbiasa hidup dalam suasana yang diskriminatif, hidup dalam perasan orang-orang kolonial. Maka semangat ingin merubah Indonesia ke arah yang lebih baik ini muncul dari kalangan priyayi seperti ini. Itu karena mereka memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi sehingga mereka bisa mengerti bahwa sebenarnya setiap negara berhak mengurus negaranya sendiri tanpa campur tangan negara lain ataupun penjajahan bangsa lain. Golongan intelektual inilah yang mencetuskan pertama kali bahwa sebenarnya kita satu bangsa yaitu bangsa Indonesia pada “hari saktral” yaitu tanggal 28 Oktober 1928 yang dikenal dengan Hari Sumpah Pemuda. Sumpah pemuda adalah bentuk konkret perjuangan bangsa Indonesia yang dilakukan secara nasional.
Tokoh-tokoh priyayi rendahan ini seperti Soekarno, Sutomo, Wahidin Sudirohusodo, Cipto Mangunkusumo, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, H.O.S. Tjokroaminoto dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya merupakan golongan intelektual muda yang mendapatkan pendidikan lebih tinggi dari masyarakat Indonesia lainnya. Sehingga mereka sadar bahwa bangsa ini terlalu berharga untuk dijadikan “sapi perah” pihak-pihak kolonial. Merekalah yang menjadi perubah arah perjuangan bangsa ini dari yang tadinya berjuang dengan otot dan ternyata kalah, beralih haluan menjadi berjuang dengan organisasi sebagai wadah atau media untuk mencapai tujuan bersama; Indonesia merdeka.
Karena latar belakang pendidikan yang berbeda dari rakyat kebanyakan, maka golongan inilah yang sadar bahwa Indonesia (atau pada saat itu masih Nederlands-Indie) sedang dalam penjajahan yang sebenarnya tidak layak dilakukan oleh suatu bangsa terhadap bangsa lain. Dengan pendidikan tinggi tokoh intelektual ini banyak menyerap pengetahuan baru dari dunia barat yang mayoritas berpaham kapitalis dan imperialis, seperti nasionalisme, sosialisme, demokrasi, komunisme, dan liberalisme.
Boedi Oetomo merupakan organisasi yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Dr. Sutomo, adalah orang-orang Indonesia yang berpendidikan tinggi. Meskipun Boedi Oetomo masih bergerak kedaerahan dan belum bercorak politis, lahirnya Boedi Oetomo untuk membiayai pemuda miskin dan pintar untuk meneruskan sekolahnnya yang lebih tinggi, patut diberikan nilai plus. Hal ini membuktikan bahwa yang menjadi pelopor pergerakan adalah kaum intelektual muda. Disini kita juga tidak membahas pro dan kontra soal Boedi Oetomo dalam kedudukannya sebagai organisasi pergerakan nasional atau hal-hal yang berkaitan dengan pelecehan terhadap Islam, organisasi Yahudi dan kontribusinya terhadap kemerdekaan Indonesia. Kita hanya melihat kaum intelektaul muda Indonesia. Itu saja.
Setelah lahirnya Boedi Oetomo, maka bermunculan organisasi-organisasi yang lainnya yang tidak lagi bercorak pendidikan, kedaerahan, tetapi organisasi yang bertujuan Indonesia merdeka. Indische Partij, merupakan organisasi politik pertama yang bertujuan Indonesia merdeka. Organisasi ini didirikan oleh pelajar Indonesia yang belajar di negeri Belanda yaitu E.F.E. Dowes Deker, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Tiga Serangkai). Disini juga membuktikan bahwa kaum intelektual muda yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Para pendiri Indische Partij ini berada di negeri Belanda, sehingga mereka bisa melihat perbedaan kondisi negara penjajah dan negara terjajah. Karena hal itulah muncul rasa nasionalisme yang tinggi terhadap bangsa Indonesia.
Pada era berikutnya muncul partai-partai politik yang lain yang memiliki tujuan Indonesia merdeka. Misalnya PNI (sebenarnya masih banyak lagi). PNI merupakan partai politik yang didirikan oleh seorang tokoh nasionalis yaitu Soekarno. Soekarno adalah seorang tokoh yang memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi, meskipun ia tidak belajar di luar negeri tetapi rasa nasionalismenya tumbuh karena ia menyerap istilah-istilah seperti nasionalisme dan sosialisme dari buku.
Partai-partai politik itu dalam mewujudkan cita-citanya ada dengan cara kooperasi, non-kooperasi. Selain itu juga diantara tokoh pergerakan sering terdapat perbedaan pandangan misalnya Soekarno dengan Hatta, mereka selalu berbeda pandangan tetapi satu pandangan mengenai tujuan Indonesia merdeka. Berkali-kali tokoh pergerakan ini dibuang, dipenjara oleh pemerintah Belanda. Biasanya tokoh pergerakan ini menginginkan di buang ke negeri Belanda. Ini bertujuan agar dalam pengasingannya itu mereka bisa belajar dan terus belajar. Karena di Belanda banyak tokoh-tokoh pemikir dengan pemikirannya yang sedang berkembang misalnya sosialisme, liberalisme, dan komunisme.
Tokoh-tokoh pergerakan nasional yang bergolongan muda, biasanya juga sering membuat tulisan-tulisan yang bernada kritikan dan ledekan terhadap pemerintahan Belanda. Misalnya tulisannya Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Sekiranya aku orang Belanda, aku tidak akan mengadakan pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaan”. Disini terlihat jelas hanya orang yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi yang memiliki pemikiran untuk membuat kritikan (pedas) kepada pemerintah Belanda lewat tulisan.
Bersambung.