Oleh: Chaerol Riezal*
Di era yang serba modern ini, perangkat lunak seperti komputer, laptop, hp dan sebagainya, telah menjadi sebuah kebutuhan (keharusan) bagi umat manusia yang mesti dipenuhi. Perkembangan zaman yang sangat berkembang pesat ini, terutama menyangkut masalah teknologi informatika, turut mengatarkan kita untuk menyesuaikan diri dalam arus dan tuntutan zaman modern. Salah satunya adalah menyangkut masalah sejarah.
Kecuali, bagi Anda yang hanya membuka sosial media saja melalui android kesayangan Anda seperti (instagram, bbm, facebook dan twitter), dan juga bagi Anda jauh dari dunia kesejarahan, Anda semestinya tahu bahwa hari ini tanggal 14 Desember merupakan salah satu tanggal penting dalam sejarah bangsa Indonesia, dimana pada tanggal itu memuatkan peristiwa yang pada detik ini masih bisa kita rasakan.
Perjalanan panjang sejarah bangsa ini, harus melalui berbagai macam peristiwa yang pernah terjadi. Dari berbagai macam peristiwa itu, tentu saja sejarawan belum berhasil (dan ini sangat mustahil) mengupas seluruh peristiwa sejarah bangsa ini; mulai dari sejarah daerah ke daerah lainnya dan dari yang kecil sampai ke yang besar. Ini mustahil bisa dilakukan oleh sejarawan. Bukan pekerjaan mudah memang. Sebab, sederhana saja, setiap detik terus berlalu dan itu telah menjadi masa lalu. Dari setiap waktu yang telah berlalu itu, beragam peristiwa pun terjadi dalam kurun waktu tersebut.
Jadi, masihkah Anda berpikir bahwa menjadi sejarawan itu mudah? Apalagi ada anggapan bahwa sejarawan itu susah sekali move on dari masa lalu. Dan yang paling penting adalah jangan pernah Anda memandang sejarawan (terutama mahasiswa sejarah) dari sebelah mata. Anda tahu, menghargai setiap disiplin ilmu itu merupakan kewajiban bagi setiap masyarakat ilmiah, termasuk dikalangan mahasiswa dan dosen. Kewajiban itu tentu juga harus beralasan, apakah orang itu berilmu atau tidak dalam ilmu yang tekuninya.
Buku-buku sejarah yang telah diterbitkan dan beredar sedemikian banyak itu, merupakan bentuk pekerjaan dari sejarawan. Namun, buku-buku sejarah Indonesia itu masih di dominasi oleh Kolonial Belanda, terutama di masa sebelum Indonesia merdeka. Setelah Indonesia merdeka pun, buku-buku sejarah di Indonesia masih sangat bernuansa Kolonial. Sehingga memunculkan perdebatan tentang penulisan sejarah bangsa Indonesia dalam perspektif baru.
Perdebatan tentang perspektif sejarah Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1928. Pada waktu itu, Bung Hatta mengecam keras pelajaran sejarah yang diberikan di sekolah-sekolah oleh pemerintah Hindia Belanda. Di mana nama-nama para pahlawan Belanda diajarkan seakan digambarkan sebagai perumus kebanggaan kultural Indonesia.
Kecaman ini tidak hanya di suarakan oleh Bung Hatta saja yang berasal dari Indonesia, tetapi kecaman serupa juga terjadi dikalangan sejarawan asing dan salah satunya adalah De Graaf. De Graaf, pada tahun 1940 mengecam dengan keras kecenderungan Neerlando-sentrisyang dilihatnya masih menguasai penulisan sejarah tentang daerah yang masih disebutnya sebagai Hindia Belanda. De Graaf mengatakan bahwa sesudah menetapnya orang asing, mereka melupakan bahwa Jawa masih mempunyai sejarah. Selanjutnya, pada tahun 1951, Coolhaas meninjau kembali masalah yang pernah dikecam oleh Van Leur, yaitu hubungan sejarah kolonial dan sejarah Indonesia.
Melihat keadaan tersebut (bisa saja lebih panjang diceritakan tentang dominasi orang asing dalam sejarah Indonesia), para sejarawan Indonesia dihantui oleh rasa kekhawatiran yang luar biasa terhadap nasib sejarah bangsa Indonesia ini. Alasannya pun cukup jelas; kedudukan masyarakat Indonesia akan selalu berada dibawah kolonial Belanda dalam sejarah bangsanya sendiri. Untuk menyikapi permasalahan ini, diadakanlah sebuah kongres sejarah dimana para sejarawan Indonesia mengadakan pertemuan untuk membicarakan kepentingan nasional.
***