Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Pengendara Motor dan Pejalan Kaki di Kota Solo

6 November 2016   18:33 Diperbarui: 6 November 2016   18:38 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya bahkan harus menenangkan saudari Widia Munira yang saat itu merasa jengkel dan marah atas kelakuan para pengendara sepeda motor. Widia sempat berkata; “seolah-olah jalan itu hanya diperuntukkan untuk mereka saja, dan seolah tak ada pejalan kaki di sepanjang jalan ini”. Meskipun begitu, saya juga ikut terbawa emosi, bahwa pengendara itu tidak punya respek kepada pejalan kaki di kota Solo, alias ngawur membawa motornya. Hal ini pun di aminkan oleh Sharfina Nur Amalina. Perempuan asal Madiun yang menetap di Solo itu setuju terhadap pengendara motor yang ngawur itu.

Yang membuat saya uring-uringan jelas karena saya gagal memahami cara masyarakat di kota Solo mengendarai sepeda motor. Tetapi apa yang membuat saya lebih kesal sebenarnya bukan hanya pada bagaimana mereka mengendarai motor seenak hati, tapi juga realita bahwa masyarakat Solo dominannya adalah santun dan ramah kepada seseorang, yang bahkan belum ia kenal lebih dekat. Tetapi, mengapa mereka membawa motornya sedemikian ngawurnya? Inilah yang saya sebut sebagai sisi lain dari masyarkat di Solo.

Walaupun demikian, pada saat bersamaan, saya juga harus mengakui bahwa para pengendara itu tidak semuanya masyarakat asli Solo. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang tinggal di Solo dengan status merantau, seperti mahasiswa, pekerja, atau juga suami dan istri yang tinggal di Solo.

Kalaulah boleh jujur, saya tak ingin membela pengendara motor itu yang selalu menancap gas motornya saat berada di jalanan. Bahkan saya akan membela seseorang (pejalan kaki) apabila pengendara itu menabraknya. Tetapi kekesalan saya dan teman seperjuangan terhadap penilaian pengendara di kota Solo adalah salah satu bentuk dari apa yang saya percayai sebagai arogansi pengendara sepeda motor di kota Solo.

Seperti halnya pengendara mobil, para pengendara sepeda motor selalu merasa bahwa mereka lebih tinggi dibandingkan pejalan kaki yang mereka anggap jalan aspal di kota adalah milik mereka seutuhnya. Para pengendara motor percaya bahwa jalan yang dibangun itu hanya dikhususkan untuk pengendara mobil dan sepeda motor. Sebaliknya, sementara untuk pejalan kaki dan penggunan sepeda biasa, ada baiknya pemerintah membangun jalan yang lain atau jalan alternatif baru. Walaupun pemerintah telah memenuhi kehendak mereka, tetap saja para pengendara motor serakah. Ada kejijikan yang luar biasa saat anda melihat para pengendara motor dan pejalan kaki melitas di jalan yang sama di kota Solo.

Ketika saya berjalan kaki di koridor gerbang belakang kampus UNS, saya dituduh oleh salah satu pengendara motor lantaran terlalu melebar berjalan di jalan aspal alias bukan lagi jatah atau batas akhir antara pejalan kaki dengan pengendara motor. Dengan wajah yang sedikit masam, mereka memperingati saya dengan suara klason (tit..tit..tit) dari motornya. Padahal saya berjalan di batas akhir antara aspal dengan tanah.

Ada lagi yang jauh lebih mengerikan dari tingkah ngawurnya pembawa motor di Solo; hampir di tabrak secara mendadak dan ini membuat syok batin pejalan kaki. Sementara yang lainnya, jika anda sedang hendak menyeberang jalan, apalagi dalam keadaan ragu-ragu, anda akan melihat sebuah adegan luar biasa dari pengendara motor. Adegan yang saya maksud adalah anda seolah akan ditabrak oleh si pengendara motor, jika hendak menyeberang dengan ragu-ragu. Sebab, seperti yang saya katakan di atas, bahwa pengendara motor di Solo seperti dalam keadaan mabuk (ngawur) dan terkesan terlalu dipaksanakan menekan gas motornya. Karena itu, seolah-olah anda sedang berada di jalan tol yang besar atau jalan nasional yang padat akan kendaraan.

Tentu saja menggelitik ketika kita melihat para pengendara motor di Solo saat membawakan motornya dengan seenak hatinya, tanpa mempedulikan nasib pejalan kaki. Saat dirinya belum memiliki motor, apakah mereka bisa merasakan bagaimana rasanya diperlakukan seperti para pejalan kaku itu? Apakah mereka juga tidak bisa membawa motornya dengan sedikit pelan dan lebih menghargai para pejalan kaki, seperti halnya budaya orang Solo yang santun dan ramah? Kita semua sepakat bahwa pejalan kaki (dimana pun ia berada) bukanlah sebagai aktor antagonis utama bagi pengendara sepeda motor, sehingga keberadaan pejalan kaki itu mengganggu para pengguna jalan. Saya tidak peduli apakah orang yang membaca tulisan ini akan setuju atau tidak, atau dengan mengatakan “itu kan hak pengendara motor dan ikut membayar pajak.”

Nama lain yang akan membuat para pengendara motor di Solo menggelinjang adalah Widia Munira, seorang mahasiswi Pascasarjana Pendidikan Sejarah UNS. Widia, begitu kami memanggilnya, ia harus punya kesabaran yang lebih besar jika setiap kali berjalan kaki di seputaran gerbang belakang kampus. Sebab, setiap kali ia pulang kampus atau sedang membeli keperluannya, ada saja tingkah laku pengendara motor yang kemudian membuatnya marah secara tiba-tiba.

Memang benar bahwa mengendarai sepeda motor lebih cepat sampai ke tempat tujuan dari pada hanya berjalan kaki. Membandingkan pengendara motor dengan pejalan kaki tentu saja tidak bisa ditarik kesimpulan yang pasti. Besar kemungkinan akan terdapat sedikit perbedaan pandangan dan mengundang perdebatan. Tetapi para pengendara motor lupa bahwa seperti jalan menuu Roma, ada banyak cara untuk mencapai tujuan akhir dari sebuah jalanan luas. Para pengendara motor juga lupa bahwa jalan kaki itu jauh lebih menyehatkan. Karenanya, budaya jalan kaki di kota Solo itu belum sepenuhnya tumbuh.

Apa yang kami alami saat berhadapan dengan para pengendara motor di jalan-jalan kota Solo adalah sebuah mekanisme untuk mempertahankan diri dan juga sebuah fenomena sosial. Tak perlu teori untuk membuktikan hal tersebut, dan dapat diambil kesimpulan bahwa pengendara motor di Solo sangat dipacu oleh yang namanya waktu, tak mungkin rasa membawa motor dengan pelan-pelan sebagaimana yang di sosialisasikan oleh pihak kepolisian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun