Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam sistem ini, presiden memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dengan pertanggungjawaban langsung kepada rakyat. Namun, kekuasaan presiden dibatasi oleh mekanisme checks and balances yang melibatkan lembaga-lembaga negara lain seperti DPR, MA, MK, dan BPK. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menjamin pemerintahan yang demokratis.
Sejalan dengan prinsip pembatasan kekuasaan tersebut, UUD 1945 mengatur secara limitatif wewenang-wewenang presiden, seperti mengajukan RUU, menetapkan peraturan pemerintah, mengangkat duta besar, memberi grasi, dan lain-lain. Namun dalam praktiknya, kerap terjadi fenomena yang mengindikasikan adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden.
Misalnya, terdapat dugaan intervensi kepresidenan dalam proses pengisian jabatan pimpinan lembaga negara seperti KPK, KY, Hakim Agung, dan Hakim Konstitusi dengan maksud menempatkan orang-orang tertentu. Hal ini mengganggu independensi lembaga-lembaga tersebut. Kemudian, tak jarang presiden mengeluarkan Perppu yang bermasalah karena dianggap melampaui batasan kewenangannya atau bertentangan dengan UUD 1945. Salah satu contoh Perppu yang dipermasalahkan adalah terkait pengesahan PKPU untuk mengubah aturan Pemilu 2024. Â
Fenomena-fenomena tersebut mengindikasikan adanya upaya untuk memperluas kekuasaan presiden melampaui batasan-batasan yang diatur dalam konstitusi. Padahal, konstitusionalisme mengamanatkan bahwa kekuasaan negara harus dibatasi berdasarkan aturan main dalam UUD 1945 dan diawasi melalui mekanisme checks and balances. Oleh karena itu, penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme dan checks and balances yang merupakan pilar demokrasi di Indonesia.
Bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang kerap terjadi antara lain intervensi dalam proses pengisian jabatan pimpinan lembaga negara, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang bermasalah, serta upaya memperluas kekuasaan eksekutif dengan mengerdilkan peran lembaga negara lain. Penyalahgunaan seperti ini berpotensi menimbulkan dampak negatif seperti rapuhnya checks and balances, terganggunya independensi lembaga negara, serta menguatnya pemerintahan otoriter.
Penyalahgunaan kekuasaan presiden tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap batasan kewenangan yang diatur dalam UUD 1945. Misalnya, Pasal 17 mengatur bahwa pengangkatan pimpinan lembaga negara harus melalui mekanisme seleksi dan fit and proper test oleh DPR. Namun dalam praktiknya, tak jarang terjadi intervensi kepresidenan untuk menempatkan orang-orang tertentu. Selain itu, penerbitan Perppu yang dinilai melanggar ketentuan Pasal 22 UUD 1945 juga menjadi indikasi penyalahgunaan wewenang.
Penyalahgunaan kekuasaan presiden berpotensi besar mengancam independensi lembaga-lembaga negara lainnya seperti DPR, MA, MK, KY, BPK dll. Hal ini dapat mengikis prinsip checks and balances yang seharusnya berjalan untuk melakukan pengawasan dan keseimbangan dalam bernegara. Apabila presiden dapat mengintervensi pengisian jabatan di lembaga lain, maka lembaga tersebut bisa kehilangan independensinya.
Contoh kasus yang kerap menuai kontroversi adalah seperti dugaan intervensi dalam pemilihan pimpinan KPK, penerbitan Perppu No.1 Tahun 2022 tentang Kepemiluan yang dinilai inkonstitusional, serta dinamika seputar Perpu Ormas pada 2017 silam. Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyatakan, penyalahgunaan kekuasaan presiden berpotensi membawa kepada otoritarianisme yang mengancam pilar demokrasi. Sementara Mahfud MD menilai penyalahgunaan kekuasaan presiden kerap disebabkan oleh kepentingan politik praktis yang melampaui batas kewenangannya.
Dengan merujuk data dan pandangan pakar tersebut, jelas terlihat bahwa fenomena penyalahgunaan kekuasaan presiden perlu diwaspadai dan diantisipasi agar tidak mengikis prinsip checks and balances serta merusak keseimbangan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia sebagaimana diamanatkan UUD 1945..Baik, berikut pengembangan dari bagian Kesimpulan terkait topik "Mengkritisi Penyalahgunaan Kekuasaan Kepresidenan dalam Perspektif Konstitusi":
Mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden merupakan suatu keniscayaan untuk menjaga marwah konstitusi dan kehidupan demokrasi di Indonesia. Konstitusi kita, UUD 1945, secara tegas memberikan batasan-batasan kekuasaan presiden agar tidak berlaku sewenang-wenang dan untuk menjamin bekerjanya prinsip checks and balances antarlembaga negara. Namun dalam kenyataannya, masih kerap terjadi upaya presiden untuk melampaui batasan kewenangannya, baik melalui intervensi terhadap lembaga negara lain, penerbitan Perppu bermasalah, maupun usaha memperluas kekuasaan eksekutif.
Fenomena ini tentu mengkhawatirkan karena dapat mengikis supremasi konstitusi, mengganggu independensi lembaga negara, serta berpotensi mengarah pada pemerintahan yang cenderung otoriter. Apalagi, tindakan penyalahgunaan kekuasaan presiden seringkali dilatarbelakangi oleh kepentingan politik praktis yang sempit. Oleh karena itu, seluruh komponen bangsa Indonesia perlu mewaspadai dan mengawal agar tidak terjadi penyimpangan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara dari rel konstitusi yang telah digariskan UUD 1945.
Diperlukan peran aktif dari lembaga-lembaga negara lain seperti DPR, MA, MK, BPK, dan KY untuk konsisten melakukan fungsi pengawasan terhadap kebijakan presiden agar tetap berada dalam batasan kewenangannya. Begitu pula, peran masyarakat sipil dan pemangku kepentingan untuk terus mengawal dan mengritisi penyalahgunaan kekuasaan menjadi sangat penting. Semua elemen bangsa harus bersatu padu untuk memastikan agar batasan-batasan kekuasaan lembaga negara, termasuk presiden, berjalan konsisten sesuai amanat konstitusi demi terwujudnya pemerintahan yang demokratis dan konstitusional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H