Lebaran sebentar lagi, mudik ke kampung halaman dan saatnya silaturahmi. Sebagai warga Jakarta, setiap tahunnya pula saya harus siap melihat lebih banyak orang yang balik khususnya dari kantong-kantong mudik seperti Stasiun Pasar Senen dan Terminal Kalideres.
Hidup dengan para perantau, bekerja bersama para perantau, sampai baru-baru ini ditanya pendapatnya oleh mereka yang berniat merantau, bagaimana saya menyikapi arus urbanisasi ke Jakarta setelah Lebaran?
Meskipun sebentar lagi meninggalkan status sebagai pusat pemerintahan, Jakarta tetap menjadi sentra bisnis dengan begitu banyaknya perusahaan lokal dan asing.Â
Upah minimumnya salah satu yang tertinggi di Tanah Air, sehingga berada di atas pendapatan tidak kena pajak nasional bagi mereka yang belum menikah atau baru saja menikah.
Pemasukan yang lebih besar tentu menjanjikan, tetapi tingginya biaya hidup seringkali membuat perantau tidak memboyong serta keluarga. Tidak harus menjadi pegawai, banyak perantau yang mencoba peruntungan untuk berdagang dan sukses bertahan hidup di sini.
Padatnya arus balik yang melibatkan para pendatang ini sudah pasti menambah kemacetan kota Jakarta atau meramaikan pejuang transportasi publik yang saat ini saja sudah berjubel.Â
Persaingan karir dan bisnis dengan mereka yang sudah lebih dulu tinggal di Jakarta juga semakin ketat, ditambah risiko pertambahan pengangguran dan kelas bawah baru yang menambah kelam potret kawasan kumuh dan berpotensi menimbulkan berbagai masalah sosial termasuk di antaranya adalah kriminalitas.
Permasalahannya lagi, pendatang ini seringkali datang dengan berbagai ketidakpastian, bahkan juga tanpa rencana yang jelas.
Meyakinkan diri sebelum datang ke Jakarta
Jika niatnya datang ke Jakarta untuk bekerja, saya selalu menyarankan perantau untuk mencari dan melamar secara online terlebih dahulu selama memungkinkan.Â
Paling tidak setibanya di Jakarta sudah ada interview fisik yang siap menanti, atau bahkan kesepakatan kerja sudah di tangan dan tinggal memulai hari pertama.Â