Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Oppenheimer: Film Peraih Nominasi Terbanyak di Oscar 2024, Siap Meraih Penghargaan Terbanyak?

2 Maret 2024   19:49 Diperbarui: 2 Maret 2024   19:52 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oppie dan Einstein (sumber: Universal Pictures, diunggah kembali oleh Kompas.id)

Pecinta film di Tanah Air pada umumnya menjadikan dua ajang penghargaan bergengsi ini sebagai acuan apakah suatu film layak dikatakan memiliki kualitas yang melegenda. Blantika perfilman nasional mempercayakannya pada Piala Citra, ketika acuan film internasional cenderung berkiblat pada ajang penghargaan Academy Awards atau yang lebih sering dikenal dengan Piala Oscar. Tahun ini, Piala Oscar akan dibagikan untuk yang ke-96 kalinya, tepatnya pada 10 Maret mendatang waktu Amerika Serikat.

Saya sendiri bukanlah kelompok dari mereka yang senang menghabiskan waktu berlama-lama untuk menyaksikan suatu tayangan. Film yang sehari-hari saya tonton adalah film-film pendek di YouTube dan TikTok. Sampai saat ini, saya masih lebih mempercayakan bioskop dibandingkan terhadap platform online seperti Netflix untuk mendapatkan pengalaman menonton film berdurasi panjang yang berkualitas, baik dari segi filmnya itu sendiri maupun sarana prasarana untuk menontonnya.

Dalam setahun, saya belum tentu sekali datang ke bioskop untuk menonton film. Sebelum pandemi, saya terakhir kali menginjakkan kaki di studio bioskop pada tahun 2019 dan itupun lebih karena menemani sepupu saya yang hendak menonton film horor. Di tahun 2023, dengan "luar biasanya" dua film berhasil mendatangkan saya kembali ke bioskop. Salah satunya adalah Gran Turismo, yang tentu saja saya minati karena hobi menonton balap mobil. Sayangnya, saya tidak pulang dengan rasa yang puas-puas amat karena emosi cerita yang mengambang dan alur cerita yang lebih sulit diikuti dengan durasi film yang relatif cepat.

Satu film lainnya sempat menjadi tren global dan mampu mempertahankan eksistensinya ketika tayang bersama film lain yang juga menjadi tren global. Pencapaian film ini terasa lebih istimewa mengingat ceritanya yang bertopik sejarah tetap mampu merebut hati sekian banyak penonton film, sedangkan lawannya menyuguhkan cerita yang lebih modern dan lebih ringan serta berkaitan erat dengan nostalgia masa kecil generasi muda saat ini. Sampai sini kita pasti sudah tahu film yang dimaksud, yaitu Oppenheimer besutan sutradara Christopher Nolan.

Persaingan kerasnya dengan film Barbie, termasuk dalam memperebutkan studio pemutaran di bioskop

Barbenheimer (sumber: Repro Bidik Layar di Twitter, diunggah kembali oleh Kompas.com)
Barbenheimer (sumber: Repro Bidik Layar di Twitter, diunggah kembali oleh Kompas.com)

Tidak sedikit pecinta film yang bingung untuk memilih antara film ini dan film Barbie sehingga berujung pada menonton keduanya secara maraton, di mana dunia maya mengenalnya dengan fenomena Barbenheimer. Saya sendiri cukup menonton Oppenheimer, durasinya yang mencapai tiga jam sudah terasa relatif sangat panjang dan mencari bioskop yang menayangkannya pun tidak mudah, semuanya minimal berjarak sekitar satu jam dari rumah. Waktu yang hanya tersedia di akhir pekan membuat transportasi publik penuh sehingga saya terpaksa memilih taksi online dengan tarif dua kali lipat dari harga normal.

Bukan tanpa alasan film Barbie lebih menarik bagi pengelola bioskop. Maklum, meskipun sama-sama banyak peminatnya, harga tiket yang sama untuk waktu dan kelas kursi yang sama membuat film Oppenheimer kalah ekonomis dibandingkan terhadap film Barbie yang berdurasi hampir dua jam di mata pengelola bioskop. Menyediakan jam tayang yang ramah dan menyenangkan bagi penonton untuk film sepanjang ini juga cukup sulit, bagaimana caranya agar tidak berbenturan dengan waktu makan dan beribadah. Tidak sampai di situ, film Barbie juga menyediakan sumber pendapatan lain dari penjualan souvenir berupa botol tumbler.

Kisahnya mungkin kontroversial atau malah kurang menarik, tetapi berhasil dibawakan sebagai film yang luar biasa

Teman yang berhasil melakukan Barbenheimer menilai bahwa film Oppenheimer menang telak, sekalipun bagi penonton dari segmen wanita muda yang menjadi subyek utama pada film Barbie. Nama besar Christopher Nolan tidak pernah mengecewakan dalam menghadirkan film-film berkualitas global, tetapi kemampuan mengangkat kisah topik yang antara kontroversial dan kurang menarik serta tokoh yang relatif lebih jarang dibicarakan dalam peristiwa terkait menjadi kisah yang diminati banyak orang adalah sesuatu yang "super".

Kita tidak bosan disuguhkan bagian bersejarah dari Perang Dunia kedua yang berisi perjalanan Oppenheimer dan timnya menggunakan kemampuan mereka di bidang sains untuk membuat bom atom, demikian pula dengan perjalanan pemeriksaan Oppenheimer melalui sekian banyak pembicaraan yang tidak terasa bertele-tele. Mengulang kembali kisah peluncuran bom atom yang banyak memakan korban di Jepang dan kedekatan Oppenheimer dengan kelompok sayap kiri juga tidak memunculkan kembali emosi dan kemarahan.

Menyajikan kualitas terbaik dengan sederhana dan pas

Ibarat ibu yang menyajikan makanan lezat di dapur rumah, Christopher Nolan tidak berusaha menjadikan Oppenheimer sebagai film bombastis dengan dramatisasi yang berlebihan tetapi hasil akhirnya terasa begitu pas dan memuaskan. Alur cerita maju jelas lebih mudah dipahami daripada mengaplikasikan alur maju-mundur, ditambah dengan cerita selingan di luar kisah Oppenheimer dan bom atom kadarnya tidak berkekurangan dan tidak berlebihan. Tempat dan properti yang sesuai dengan alur cerita dan latur waktu, aktor dan aktris yang dipilih dengan tepat dan menjiwai peran mereka masing-masing, alur cerita yang mampu menggugah emosi para penonton, memang sudah menjadi standar agar suatu film bisa dinikmati dan dipahami secara realistis. Tidak seperti film dan sinetron lokal, seringkali "membagongkan".

Alur cerita yang diperankan sempurna dan berhasil menggugah emosi serta memberikan pelajaran berharga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun