Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Andai Harga Komoditas Energi Benar-Benar Harus Naik...

24 April 2022   12:39 Diperbarui: 25 April 2022   01:00 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengisian BBM solar di SPBU| Dok Pertamina via Kompas.com

Kenaikan harga pertamax kemarin belum ada apa-apanya, itu adalah bensin nonsubsidi yang ditujukan untuk kelas menengah atas. Angin kencang dari berbagai arah kemudian menghembuskan kemungkinan kenaikan harga pertalite, solar, listrik, sampai elpiji melon. 

Meskipun saat ini terlihat lebih mungkin ke arah tidak dibandingkan terhadap iya, keberadaannya sebagai kebutuhan "berjamaah" tentu meresahkan kita semua bukan?

Kita patut bersyukur meskipun kita belum sepenuhnya memasuki masa endemi. Setidaknya aktivitas perekonomian berangsur normal, pertemuan tatap muka lebih bebas dilakukan, dan tidak ada lockdown. 

Kenaikan PPN satu persen masih bisa disiasati dengan cari brand yang tidak naik harga, diskon atau cashback, sampai berbelanja online. Kenaikan harga minyak goreng? Ya jelas, merebus, mengukus, atau tetap menggoreng dengan air fryer untuk yang mampu membelinya.

Jika jadi diterapkan, bisakah kita menghindari dampaknya? Tidak!

Ketika kenaikan sebelumnya masih bisa disiasati, kali ini dia benar-benar berimbas ke semua lapisan masyarakat tanpa kecuali. Di era modern ini, siapa yang tidak memerlukan listrik? 

Jangankan ponsel dan komputer, masih ada di antara kita yang pakai lampu petromaks? Sekalipun kita bisa hidup tanpa listrik, produksi barang kebutuhan tetap menggunakan listrik sehingga mau tidak mau akan berimbas pada kenaikan biaya hidup.

Kenaikan tarif listrik jelas membuat solusi penggunaan kompor listrik bukan lagi sesuatu yang menarik. Eh, elpiji melon naik juga dan semua cara memasak yang melibatkan kompor akan memakan biaya lebih besar.

Solusi tentu masih ada, yaitu kukuslah sayur dan lauk bersama nasinya di dalam rice cooker seperti yang dilakukan anak guru saya ketika mendapatkan beasiswa kuliah di Singapura. 

Lumayan, wortel, jagung, buncis, potongan bakso, dan telur masih bisa dinikmati. Akan tetapi, ini bukan berita baik bagi mereka yang menggemari hidangan khas Nusantara seperti rendang.

Kenaikan pertalite dan solar melengkapi penderitaan kita semua. Transportasi barang baku sampai barang jadi tentu melibatkan kendaraan bermotor, belum lagi mobilitas kita sehari-hari untuk bekerja sekalipun tidak menggunakan kendaraan pribadi. 

Baiklah transportasi publik kelolaan pemerintah bisa mempertahankan tarif karena subsidi, apa kabar dengan jasa transportasi dan distribusi kelolaan swasta? 

Kenaikan harga barang kebutuhan tentu tidak terhindarkan, ditambah lagi tumpukan penumpang transportasi publik yang semakin tidak terkendali ketika work from home akhirnya benar-benar usai.

Jika nantinya memang harus naik, saya meyakini bahwa empunya kewenangan sudah berpikir keras demi jalan terbaik dalam mengelola anggaran dan perekonomian secara sekaligus. Sampai sekarang pun, hal ini belum kunjung diwujudkan mengingat timing terbaik tentu diupayakan demi mengurangi imbas negatif pada kehidupan masyarakat. 

Kita tentu mengerti dari pelajaran IPS semasa sekolah, adanya efek multiplier membuat dampak ekonomis kenaikan harga komoditas utama bisa berkali-kali lipat dari besar kenaikan harga itu sendiri. 

Ditambah lagi, kebahagiaan masyarakat berubah wujud menjadi peningkatan tingkat stres yang jika tidak mampu dikendalikan bisa menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan.

Solusi kreatif untuk menyelesaikan masalah yang lebih ramah terhadap kelas menengah-bawah

Akan tetapi, jika masih bisa diupayakan lagi, mohon bantuannya untuk menghadirkan solusi yang lebih kreatif dan lebih ramah terhadap kalangan menengah-bawah. 

Ketika kalangan atas cenderung lebih stabil dengan keuangannya, kalangan menengah-bawah cenderung rentan. Biaya kebutuhan meningkat, peningkatan pendapatan tidak mengimbangi dan bahkan mungkin saja pemberi kerja tak lagi sanggup mempekerjakan karena peningkatan biaya produksi, belum lagi sekalinya dirumahkan hidup akan semakin terhimpit dengan minimnya keberadaan tabungan. 

Di sisi rakyat, kita mulai harus mencari pos pengeluaran yang bisa ditekan, potensi pendapatan sampingan, dan cara menabung dengan lebih baik.

Ya, memang sulit juga jika kebijakan hanya memengaruhi kalangan atas. Kenaikan harga komoditas global berlaku untuk segala segmen dan kurang adil jika kalangan menengah-bawah terus diberikan zona nyaman untuk tidak merasakan dampaknya. 

Akan tetapi, solusi yang terpikirkan oleh saya di sini bukan solusi bersifat asal gebuk, melainkan diharapkan juga bisa menangani masalah lain yaitu mengendalikan konsumsi energi itu sendiri. Jika harganya naik tetapi tingkat konsumsinya juga naik, besar subsidi tetap saja sulit ditekan.

Misalnya begini, skema pajak mobil bensin berdasarkan emisi karbon menurut saya belum efektif untuk bisa menekan konsumsi bahan bakar. Selama mobil bukan digunakan untuk transportasi barang atau orang dalam jumlah banyak, alias mobil pribadi dengan kapasitas maksimum delapan orang, kapasitas mesin 1500cc sudah memberikan tenaga yang cukup mumpuni. 

Menaikkan pajak untuk mobil baru maupun bekas dengan kapasitas mesin 1500cc cukup logis agar konsumen cukup membeli kendaraan yang sesuai dengan kebutuhannya, bukan keren-kerenan sekalipun harus menggunakan mobil seken keluaran lama.

Berikutnya soal konsumsi listrik, mungkin PLN bisa mengerem dulu pemberian daya besar untuk rumah baru. Belum lama ini saya menemukan bahwa rumah kelas menengah dengan ukuran mungil dan dua kamar tidur di dalamnya langsung mendapatkan daya bawaan hingga 4400 W dan sulit dibayangkan bagi saya penggunaannya seperti apa. 

Maklum, menggunakan pendingin ruangan 1 PK di setiap kamarnya pun menurut saya masih bisa sekalipun dayanya hanya 2200 W dan itu pun sudah cukup membuat kita kedinginan di dalamnya.

Jika memiliki sumber daya manusia yang mencukupi, peluang meningkatkan pendapatan negara dari penggunaan komputer dan perangkat komputer berdaya ekstra juga bisa dilirik. 

Misalnya, daya 45W atau 65W untuk laptop cukup umum baik untuk kebutuhan harian maupun bekerja, ketika di atasnya banyak digunakan untuk gaming. Ketika harga laptop gaming menjadi lebih mahal, minat konsumen akan berkurang kecuali memang bisa menggunakannya secara produktif seperti content creation misalnya.

Harga bahan bakar minyak menjadi perkara yang lebih sulit. Ketika sudah menjadi hal yang lumrah untuk tinggal jauh di pinggiran kota tempat kerja, kebutuhan transportasi publik dan pribadi sulit ditekan. 

Meningkatkan kapasitas transportasi publik juga membutuhkan dana yang tidak sedikit dan belum lagi mungkin melibatkan pembangunan infrastruktur yang membuat kemacetan di mana-mana. 

Mau tidak mau, mungkin kita mulai harus berpikir untuk meneruskan work from home sekalipun pandemi Covid-19 sudah usai. Bisa bekerja sepenuhnya dari rumah, bisa bergantian ke kantor, asalkan jangan seluruh pegawai secara bersamaan pergi ke kantor di hari dan jam yang sama.

Kurangi hembusan angin yang menimbulkan spekulasi

Jika solusi kreatif di atas tidak memungkinkan atau masih kurang ampuh untuk menekan beban subsidi, upaya terakhir yang bisa ditempuh adalah mengurangi hembusan angin yang menimbulkan berbagai spekulasi. 

Rakyat memang berhak mendapatkan transparansi tidak hanya terkait kebijakan sebagai produk akhir, tetapi juga proses perumusannya. Akan tetapi, rincian yang belum pasti mungkin bisa dijaga terlebih dahulu.

Kita tentu tahu bahwa kenaikan harga dari suatu kebijakan bisa terjadi berkali-kali di sini. Ketika pembahasan dilakukan, harga merangkak naik. Harga naik lagi sekalinya keputusan ditetapkan dan akhirnya naik lagi saat penerapan. 

Sekalipun kenaikan harga akhirnya tidak setinggi skenario terburuk yang dihitung saat pembahasan apalagi dibatalkan sama sekali, harga barang kebutuhan yang sudah terlanjur naik sulit untuk diturunkan kembali. 

Jika sudah begini, pemerintah yang akhirnya menangis karena bukan menerima pendapatan lebih besar melainkan malah mengeluarkan subsidi yang lebih besar dan belum lagi bantuan langsung tunai (BLT) kepada mereka yang memerlukannya.

Sekian celotehan saya kali ini, semoga kenaikan harga komoditas energi di negeri ini tidak perlu terjadi sambil menunggu harganya di kancah global perlahan turun kembali agar subsidi tetap terjaga. Jika akhirnya harus terjadi, tolonglah dampaknya bisa dikurangi. Hidup kita sudah sedemikian sulit, bingung mau dihimpit ke mana lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun