Beredar kabar di jejaring sosial bahwa ada warga Malaysia yang khawatir generasi mudanya lebih fasih berbicara dalam bahasa Indonesia.
Di sisi lain, Malaysia berpikir jika bahasa Melayu bisa menjadi bahasa resmi kedua di Asia Tenggara dengan adanya negara lain sebagai pengguna, termasuk sebagian masyarakat Indonesia. Bahasa Indonesia kan lebih banyak penuturnya?
Jika dilihat dari banyaknya masyarakat Indonesia yang lebih dari delapan kali lipat banyaknya masyarakat Malaysia, jelas bahasa Indonesia memiliki lebih banyak penutur.
Ditambah lagi, sebagian teman-teman kita di Thailand tertarik untuk mempelajari bahasa persatuan kita. Tidak salah jika beberapa pihak menganggap bahasa Indonesia lebih layak menjadi bahasa resmi kedua di Asia Tenggara.
Kemiripan yang terasa cukup signifikan antara bahasa Indonesia dan bahasa Melayu memudahkan penutur dari salah satu bahasa untuk mempelajari bahasa lainnya. Kita terbiasa mendengar bahasa Melayu dari tayangan Upin dan Ipin, juga lagu-lagu Siti Nurhaliza. Tidak sedikit juga warga Malaysia yang terpapar bahasa Indonesia dari lagu penyanyi Indonesia, misalnya Pecinta Wanita oleh Irwansyah.
Akan tetapi, ketika suatu bahasa menjadi bahasa resmi di kawasan, tentu kebutuhan untuk menguasainya menjadi lebih luas dari sekadar bisa menggunakannya dalam obrolan sehari-hari.Â
Berbicara haruslah menggunakan logat yang benar, demikian pula dengan penggunaan kata dan struktur penyusunan teks yang harus tepat ketika menuliskan surat-surat formal. Ini memberikan peluang bagi anak bangsa untuk menjadi pengajar di luar negeri.
Ketika mencari pekerjaan di dalam negeri tidaklah mudah, peluang ini tentu menarik apalagi jika teman-teman kelak ditempatkan sebagai native speaker alias hanya perlu mengajar terkait aspek berbicara.
Saya masih ingat native speaker di bangku SMP dengan logat bahasa Inggris yang terdengar masih murni dari Inggris dan bekerja keras mengajarkan kami supaya logatnya benar-benar tertular sepenuhnya.Â
Beliau tidak perlu menulis di papan tulis atau menjelaskan slide PowerPoint, benar-benar datang ke kelas hanya untuk mengajak kami berdiskusi sambil memperbaiki cara berbicara agar logat dan diksi yang digunakan tepat.
Terlihat mudah bukan? Jelas bukan, bahkan beliau harus pandai-pandai menahan emosi akibat logat kami dalam berbahasa Inggris yang sulit sekali diperbaiki.
Belum lagi tantangan untuk tetap mengucapkan bahasa Inggris yang murni ketika mereka juga harus belajar berbahasa Indonesia dengan fasih untuk bisa bertahan hidup secara mandiri di sini.
Ini terjadi dengan native speaker semasa di bangku SMA. Beliau memang lebih sabar dan fleksibel terhadap siswanya, misalkan ketika kami bingung mendengarkan beliau maka beliau akan membantu kami menerjemahkannya ke bahasa Indonesia.Â
Kesulitan kami memahami emosi beliau akan dibantu dengan penyampaian ulang sesuai gaya masyarakat Indonesia pada umumnya dalam berbahasa Inggris. Imbasnya, kami menjadi lebih manja karena tidak berusaha dengan cukup keras.
Tantangan seperti inilah yang dihadapi ketika teman-teman berminat menjadi native speaker bahasa Indonesia di luar negeri, jangan sampai seiring waktu tercampur bahasa asal daerahnya, bahasa Melayu, atau "kamus Jaksel".Â
Demikian pula dengan teman-teman yang nantinya akan mengajar terkait aspek membaca dan menulis, harus konsisten dalam menerapkan bahasa Indonesia agar tidak tercampur dengan bahasa lain.
Belum lagi di era berkomunikasi via media sosial saat ini, menggunakan tanda baca dengan tepat dan menghindari penggunaan singkatan atau akronim sangat penting dalam menghadapi pelajar tingkat pemula.
Itu baru pendidikan formal soal bahasa Indonesia, saya yakin teman-teman dengan latar belakang pendidikan sastra Indonesia bisa melakukannya dengan baik.
Hal yang lebih penting adalah pendidikan informal melalui percakapan langsung dengan rakyat Indonesia dan menikmati konten berbahasa Indonesia.
Kita sebagai rakyat Indonesia jelas dituntut untuk lebih memahami bahasa kita sendiri dan menggunakannya dengan benar serta sopan. Misalnya, menggunakan frasa "asisten rumah tangga" tentu lebih baik dari kata "pembantu". Contoh lain lagi, "memperhatikan" lebih tepat dari "memerhatikan", tetapi "memulangkan" lebih tepat dari "mempulangkan".
Tidak sampai di situ, ucapan yang kita lontarkan melalui tulisan, podcast, dan video di dunia maya juga menjadi santapan para pembelajar.
Lagi-lagi di sini muncul peluang di mana media Tanah Air, termasuk Kompasiana di antaranya, memiliki pangsa pasar yang lebih luas tanpa perlu menggunakan bantuan penerjemah dan Kompasianers berkesempatan mendapatkan pembaca yang lebih banyak.
Akan tetapi, perlu kita pahami juga bahwa sembari kita mempelajari suatu bahasa, sesungguhnya secara tidak langsung kita juga sedang memahami budaya yang terjadi di sana. Konten yang muncul di dunia maya haruslah menunjukkan sisi positif kita yang beradat, berbudaya, dan cerdas.
Akan lebih baik lagi jika di dalamnya kita lebih banyak menekankan soal hal-hal menarik di Indonesia, bukan membahas soal kejadian di luar negeri. Sebab, ketika terjadi hal sebaliknya, kini dampaknya lebih luas dari skala nasional ke skala regional.
Sekian soal pemikiran saya jika bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi juga di Asia Tenggara. Keputusan akhirnya jelas saya serahkan kepada komunitas ASEAN, apakah lebih memilih bahasa Indonesia atau bahasa Melayu.Â
Jika bahasa Indonesia terpilih, peluang yang ada harus kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya dan jangan sampai menjadi bumerang. Termasuk bagi kita Kompasianers sebagai native writer bahasa Indonesia, semoga tulisan kita ada yang berhasil menjadi tulisan untuk dipelajari sebagai referensi yang baik dan benar dalam pendidikan bahasa Indonesia, bukan masuk sebagai soal ujian untuk diperbaiki.
Jika bahasa Melayu yang terpilih, mari kita belajar lagi dengan banyak menonton Upin dan Ipin, Boboiboy, atau konten TikTok dari Ms. Leong dan Sze Peng. Hahaha...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H