Lagi-lagi di sini muncul peluang di mana media Tanah Air, termasuk Kompasiana di antaranya, memiliki pangsa pasar yang lebih luas tanpa perlu menggunakan bantuan penerjemah dan Kompasianers berkesempatan mendapatkan pembaca yang lebih banyak.
Akan tetapi, perlu kita pahami juga bahwa sembari kita mempelajari suatu bahasa, sesungguhnya secara tidak langsung kita juga sedang memahami budaya yang terjadi di sana. Konten yang muncul di dunia maya haruslah menunjukkan sisi positif kita yang beradat, berbudaya, dan cerdas.
Akan lebih baik lagi jika di dalamnya kita lebih banyak menekankan soal hal-hal menarik di Indonesia, bukan membahas soal kejadian di luar negeri. Sebab, ketika terjadi hal sebaliknya, kini dampaknya lebih luas dari skala nasional ke skala regional.
Sekian soal pemikiran saya jika bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi juga di Asia Tenggara. Keputusan akhirnya jelas saya serahkan kepada komunitas ASEAN, apakah lebih memilih bahasa Indonesia atau bahasa Melayu.Â
Jika bahasa Indonesia terpilih, peluang yang ada harus kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya dan jangan sampai menjadi bumerang. Termasuk bagi kita Kompasianers sebagai native writer bahasa Indonesia, semoga tulisan kita ada yang berhasil menjadi tulisan untuk dipelajari sebagai referensi yang baik dan benar dalam pendidikan bahasa Indonesia, bukan masuk sebagai soal ujian untuk diperbaiki.
Jika bahasa Melayu yang terpilih, mari kita belajar lagi dengan banyak menonton Upin dan Ipin, Boboiboy, atau konten TikTok dari Ms. Leong dan Sze Peng. Hahaha...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H