Terlihat mudah bukan? Jelas bukan, bahkan beliau harus pandai-pandai menahan emosi akibat logat kami dalam berbahasa Inggris yang sulit sekali diperbaiki.
Belum lagi tantangan untuk tetap mengucapkan bahasa Inggris yang murni ketika mereka juga harus belajar berbahasa Indonesia dengan fasih untuk bisa bertahan hidup secara mandiri di sini.
Ini terjadi dengan native speaker semasa di bangku SMA. Beliau memang lebih sabar dan fleksibel terhadap siswanya, misalkan ketika kami bingung mendengarkan beliau maka beliau akan membantu kami menerjemahkannya ke bahasa Indonesia.Â
Kesulitan kami memahami emosi beliau akan dibantu dengan penyampaian ulang sesuai gaya masyarakat Indonesia pada umumnya dalam berbahasa Inggris. Imbasnya, kami menjadi lebih manja karena tidak berusaha dengan cukup keras.
Tantangan seperti inilah yang dihadapi ketika teman-teman berminat menjadi native speaker bahasa Indonesia di luar negeri, jangan sampai seiring waktu tercampur bahasa asal daerahnya, bahasa Melayu, atau "kamus Jaksel".Â
Demikian pula dengan teman-teman yang nantinya akan mengajar terkait aspek membaca dan menulis, harus konsisten dalam menerapkan bahasa Indonesia agar tidak tercampur dengan bahasa lain.
Belum lagi di era berkomunikasi via media sosial saat ini, menggunakan tanda baca dengan tepat dan menghindari penggunaan singkatan atau akronim sangat penting dalam menghadapi pelajar tingkat pemula.
Itu baru pendidikan formal soal bahasa Indonesia, saya yakin teman-teman dengan latar belakang pendidikan sastra Indonesia bisa melakukannya dengan baik.
Hal yang lebih penting adalah pendidikan informal melalui percakapan langsung dengan rakyat Indonesia dan menikmati konten berbahasa Indonesia.
Kita sebagai rakyat Indonesia jelas dituntut untuk lebih memahami bahasa kita sendiri dan menggunakannya dengan benar serta sopan. Misalnya, menggunakan frasa "asisten rumah tangga" tentu lebih baik dari kata "pembantu". Contoh lain lagi, "memperhatikan" lebih tepat dari "memerhatikan", tetapi "memulangkan" lebih tepat dari "mempulangkan".
Tidak sampai di situ, ucapan yang kita lontarkan melalui tulisan, podcast, dan video di dunia maya juga menjadi santapan para pembelajar.