Usia pubertas merupakan tahapan dalam hidup yang menurut saya agak ribet. Perubahan hormon yang mulai terjadi di masa ini membuat karakter fisik dan psikologis kita berubah, termasuk soal ketertarikan dengan lawan jenis yang perlu disikapi dengan hati-hati. Bagaimana jika di usia pubertas ini terjadi pula hubungan tanpa status? Rumit. Akan tetapi, ada yang bisa dipelajari dari rumitnya hubungan tanpa status di masa pubertas itu.
Usia pubertas, yang terjadi di masa sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama, memang bukan usia yang pas untuk berpacaran. Seingat saya, di bangku sekolah dulu diajarkan bahwa pacaran itu adalah masa untuk mengenal pasangan secara pribadi dan lebih mendalam sebelum memutuskan untuk menikahinya atau tidak. Pada kenyataannya, pacaran itu memang bisa berlangsung sangat lama sampai belasan tahun dan berujung pernikahan. Akan tetapi, komitmen mencari pasangan hidupnya tidak dari kecil kan ya?
Masalahnya, ketertarikan dengan lawan jenis kan sulit dibendung. Ketika seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan saling suka, mereka pasti akan mendekati satu sama lain. Ingin lebih terikat, tetapi belum siap menanggung malu akibat dicie-ciein teman-teman kalau ketahuan, masih dilarang oleh orang tua untuk berpacaran, atau belum mau memiliki suatu status tertentu, jadilah mereka memasuki suatu hubungan tanpa status.
Jika kalian bertanya kepada saya apakah saya pernah berada dalam hubungan tanpa status, silakan dipikirkan sendiri apakah cerita-cerita selanjutnya termasuk dalam klasifikasi itu. Yang jelas, saya hanya akan memberikan pandangan saya atas pengalaman yang pernah dialami dan semoga ini bermanfaat ketika Anda melihat anak Anda saat ini dalam situasi serupa.
Pengalaman hubungan tanpa status di bangku sekolah dasar
Di bangku sekolah dasar, saya pernah dekat dengan dua teman perempuan yang sama-sama memperebutkan gelar juara kelas maupun juara umum di angkatan, tentunya di waktu yang berbeda. Rasanya mungkin terdengar aneh, karena biasanya pesaing seperti ini justru tetap menjaga jarak sekalipun mereka berteman baik.Â
Semuanya bermula ketika mereka sering mengirimkan SMS, karena zaman itu memang belum ada BBM, WhatsApp, atau LINE, yang isinya menanyakan seputar sudah makan atau belum, sedang melakukan apa, dan memberikan semangat. Lama kelamaan, bisa bertelepon ria untuk bertukar pikiran seputar tempat liburan impian, tempat makan baru yang enak, sampai ketidaksetujuan mereka soal sikap anggota keluarganya yang lain alias curhat.
Awalnya, kalau di sekolah kami muncul seperti teman biasa saja. Ya, karena topik pembicaraan di SMS itu bisa berlanjut juga ke jam istirahat makan, teman terdekat tahu dong kalau ada sesuatu yang berbeda. Saya baru tersadar bahwa kasus seperti ini mungkin termasuk sebagai hubungan tanpa status setelah seorang teman terdekat saya mengingatkan. Boleh mereka yang memulai, tetapi kan saya meladeni juga dan menikmatinya, bisa berakhir kacau balau nanti.
Dan akhirnya memang benar, kacau balau. Setelah saya mengerti apa yang sedang terjadi, saya tidak mau memberikan harapan lebih jauh dan mulai membiarkan mereka mengeksplorasi topik yang saya tidak nyaman untuk membicarakannya lalu saya diamkan saja.Â
Dengan yang pertama, soal ponsel karena dia suka ponsel musik dan mengajak saya membelinya juga ketika saya justru lebih membutuhkan ponsel bisnis untuk ketak-ketik dengan nyaman di jalan. Dengan yang kedua, lebih rumit sedikit.
Ibu saya kebetulan mengenal ibunya sebagai teman baik. Saya bersahabat dengan kakaknya yang juga sangat baik dan boleh dibilang alim malah. Jadi, kami berpikir bahwa teman saya ini pasti baik dan alim juga. Semuanya berubah ketika kami berdua mengikuti seleksi olimpiade tingkat kecamatan dan ibu saya ikut sebagai pengganti pendamping dari sekolah karena saat itu tidak ada guru yang memiliki waktu luang untuk dinas ke luar.Â
Pertanyaannya soal apakah saya sudah mengalami suatu hal yang terjadi pada anak pria yang pubertas, terdiri dari dua kata dengan huruf pertama "M" dan Anda bisa tahu sendiri kelanjutannya, membuat saya tidak nyaman. Kedua, pendapatnya soal gaya fashion saya yang lebih mirip David GadgetIn, kaus dengan celana pendek, yang seharusnya dibuat lebih modis dengan menggunakan tambahan kemeja tanpa dikancing dan celana jeans. Saya cueki, karena memang saya tidak nyaman.
Tamat. Pertemanan kami hancur juga, saling berbicara pasti berujung pertengkaran. Bahkan, kerja kelompok bersama pun ogah kecuali dipaksa. Beberapa hari kemudian, teman saya bilang via chat Facebook bahwa mereka kesal karena saya tidak peka dan mereka sekarang sedang mencari tambatan hati baru. Mau dapat adik kelas, kakak kelas, teman seangkatan, teman satu sekolah, teman lain sekolah, kan bukan urusan saya?
Terjebak lagi di bangku sekolah menengah pertama
Di bangku sekolah menengah pertama, saya berteman baik dengan sebuah geng berisi sekumpulan anak perempuan yang sudah berteman sejak sekolah dasar, kebetulan asal sekolah kami berbeda.Â
Kami semua sama-sama berambisi menjadi juara kelas dan kebetulan geng teman-teman saya ini bersaing juga dengan geng anak perempuan dari sekolah lain lagi yang juga ingin menjadi juara kelas. Dua kubu ini sepakat untuk kerja sama setiap kali ada tugas berkelompok, demikian pula akan belajar bersama untuk menghadapi ujian.
Nah, dari sini kisahnya bermula. Dengan gaya David GadgetIn itu, saya datang ke rumah salah satu anggota geng ini untuk bekerja kelompok bersama. Anehnya, meskipun saat itu saya bersikap agak keras dan cuek, justru malah mengundang kisahnya dimulai. Dia bisa mengimbangi saya, punya selera musik klasik yang sama, dan sering ngobrol via BBM.
Lama-lama, dia mengajak saya jalan-jalan. Saya bilang silakan, tapi kalau mau bersama keluarga saya yang lain boleh? Lah, kan bukan pacaran, pergi tidak harus berdua dong? Dia juga sering meledeki saya kalau saya terlihat dekat dengan teman perempuan yang lain.
Seperti di cerita pertama, ada lagi yang mengingatkan saya potensi kecemburuan dan konflik akibat pertemanan yang menjurus ke hubungan tanpa status itu. Ada pula teman pria lain yang ternyata menaksir dia dan marah ke saya karena menghalangi dia, lah saya bilang kan tidak ada hubungan apa-apa dan kalau mau dekati saja, kalau perlu ditembak supaya statusnya jelas.Â
Mereka berdua memang berteman baik, tapi yang perempuan tidak menaksir si laki-laki. Ketahuanlah itu ulah saya, akhirnya hubungan tanpa statusnya bubar, pertemanannya hancur, dan malah jadi saling melempar celaan.
Dua pengalaman di atas membantu saya menghadapi persahabatan yang perlahan menjurus ke hubungan tanpa status setelah melewati usia pubertas. Ketika saya harus menghadapi teman perempuan berikutnya yang mulai mengirimkan timed message alias chat berbatas waktu di LINE, menjaga jarak dengan teman perempuan yang lain, memprioritaskan waktu untuk mendengarkan dia curhat sekalipun sedang ada kesibukan, hobi yang mau dijalani, atau berkumpul bersama keluarga, sampai meminta saya untuk menjaga ketat ponsel pribadi agar pesan darinya tidak terbaca anggota keluarga yang lain, langsung cut dan kembalikan lagi ke jalan pertemanan yang benar. Apalagi kode-kode minta waktu jalan berdua, semakin waspada.
Tidak perlu ada hubungan tanpa status
Hubungan tanpa status sejatinya bisa membawa dampak yang baik jika pasangan menjalaninya dengan saling memotivasi untuk menjalani rutinitas masing-masing dan memberikan yang terbaik. Hubungan ini juga baik jika pasangan bisa saling memberikan pendapat untuk memperbaiki diri satu sama lain, tetapi bukan memaksakan satu pihak untuk berkarakter seperti yang diinginkan oleh pihak lain. Mereka yang berpacaran atau bahkan sudah menikah saja tidak boleh melakukan hal itu, apalagi pelaku hubungan tanpa status.
Hubungan tanpa status bisa menambah koneksi juga. Ya, seperti pacaran atau menikah, ketika Anda memiliki pasangan maka Anda akan mengenal juga rekan-rekan dari pasangan Anda yang sebelumnya belum pernah Anda kenali. Orang-orang baru ini bisa menjadi koneksi yang berharga, yang tentunya lebih sulit Anda dapatkan tanpa peran si pasangan tadi.
Hubungan tanpa status juga dianggap lebih menyenangkan dibandingkan terhadap pacaran bagi mereka yang memang belum siap menjalin hubungan sebagai awal menuju pernikahan alias mencari jodoh. Tidak perlu khawatir ditolak dan menyampaikan tolakan di awal, tidak perlu sedih juga karena harus menyampaikan dan menerima permintaan untuk putus di akhir. Akan tetapi, sebenarnya tetap saja sedih kan kalau berpisah dan apalagi bukannya balik berteman malah hubungan jadi benar-benar hancur?
Sedari awal, hubungan memang harus jelas. Jika tidak berniat meneruskan jalan apakah pasangan cocok menjadi jodoh sehidup semati, lebih baik berteman dan bersahabat saja. Ketika memang sama-sama suka dan berniat menyatukan hati jika nantinya merasa cocok dan memang ditakdirkan berjodoh, pacaran tentu memiliki status yang lebih jelas. Ya, bukan berarti aman dari tikungan juga, tetapi di hubungan tanpa status kan memang tidak salah kalau pasangannya disalip oleh orang lain karena tidak ada komitmennya?
Masih pubertas? HTS jangan, pacaran jangan
Sekian cerita saya mengenai rumitnya hubungan tanpa status di usia pubertas dan apa yang bisa dipelajari dari sana. Jika dia saja tidak disarankan untuk orang yang sudah dewasa, apalagi untuk anak usia pubertas.Â
Masih berada di usia pubertas berarti masih sekolah. Banyak hal yang harus dipelajari dan dieksplorasi dalam hidup, termasuk dengan membangun hubungan baik bersama sebanyak-banyaknya teman. Belum saatnya anak usia sekolah menikmati sensasi "dunia milik berdua", baik dalam bentuk hubungan berpacaran maupun hubungan tanpa status.
Tujuannya apa? Tidak perlu ada rasa sakit hati ketika berpisah atau melihat pasangannya berpaling ke lain hati, apalagi sampai mengganggu prestasi belajar. Hal ini juga mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan ketika hubungan tersebut kebablasan. Lebih baik, mereka belajar mengendalikan diri saja terkait rasa suka itu agar cukup diam di dalam dirinya dan tidak jadi salah tingkah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI