"Semakin kita menyelami aturan logika dan matematika, kita bisa mengetahui mana yang wajar dan tidak wajar. Secara umum belajar, termasuk belajar matematika, bisa membuat kita lebih pandai soal berbohong, tetapi jangan menyalahkan ilmu dan kecerdasan ya!" Lah, bagaimana jika sekarang soal di pelajaran matematika "mengajarkan" siswa untuk berbohong?
Mengingat pesan yang disampaikan oleh salah satu dosen saya di suatu kelas di semester pertama studi, saya jadi sedih sekaligus geleng-geleng kepala ketika dikirimi soal pekerjaan rumah dari adik sepupu saya di bangku SMA yang merasa aneh.Â
Awalnya, saya berpendapat bahwa soal ini seharusnya memiliki jawaban yang tidak ada di opsi pilihan ganda yang tersedia. Akan tetapi, adik saya mengatakan bahwa guru mengharuskan mereka memilih salah satu di antaranya dan memaksa saya berpikir orang.
Menurut saya, soal tersebut adalah contoh dari penerapan diskon palsu
Anda bisa merasakan keanehannya sekalipun tanpa berhitung, harga sebelum diskon lebih rendah dibandingkan terhadap harga jual. Jika dibilang bahwa seharusnya kata "sebelum" di soal itu adalah kata "sesudah", tidak ada jawaban yang tepat juga.Â
Jika mau dipaksakan harus ada opsi yang dipilih, jawaban yang mungkin adalah Rp43.500, yang didapat dengan membagi Rp52.000 dengan 120%.Â
Cerita yang mau saya bahas bukan soal memilih jawaban terbaik, karena soal ini sebenarnya sudah pernah dibahas di kanal YouTube milik Brainly dengan jawaban di atas Rp60.000 seperti yang ditampilkan di bawah ini. Akan tetapi, saya lebih tertarik dengan apa yang mungkin terjadi di balik pembuatan soal ini.
Saya tidak memahami dengan baik mengapa harga sebelum diskon malah lebih murah dibandingkan harga jual, jika benar pembuat soal memaksudkan demikian. Bagaimanapun juga ada dua kemungkinan, pertama penulis salah membuat pilihan jawaban dan keduanya adalah penulis memang benar-benar membuat soalnya seperti ini.Â
Kelanjutan pendapat saya bersifat pengandaian, jika penulis buku bermaksud lain dan membaca tulisan saya dipersilakan memberikan klarifikasinya di kolom komentar.
Ketika skenario kedua adalah skenario yang sebenarnya terjadi, itu berarti soal ini menunjukkan sebuah kenyataan yang banyak dilakukan oleh pedagang bernama "diskon palsu".Â
Hidup memang harus realistis, tetapi menghadapkan soal seperti ini dalam pelajaran matematika kepada siswa dan siswi SMA bisa jadi mengajarkan mereka untuk berbohong, bahkan menipu.
Kehidupan berbisnis memang terkenal keras. Menghadapi pesaing yang begitu banyak, apalagi bagi mereka yang menjual barang serupa dengan kualitas serupa. Selain tentunya bertarung reputasi, harga menjadi hal yang sensitif juga bagi pembeli.Â
Ditambah lagi, pastinya pembeli tidak akan menolak jika ada diskon dan oleh karenanya seringkali kurang peka dengan keberadaan diskon palsu. Nah, di bawah ini saya tampilkan sebuah infografis dari salah satu situs berita online untuk mencegah Anda menjadi korbannya.
Markup dulu, lalu pasang diskonnya. Mirip dengan soal ini jika benar pembuatnya memaksudkan B sebagai pilihan jawaban yang tepat menurutnya.Â
Dari Rp43.500, ditambahkan marjin sebesar dua puluh persen untuk menjadi Rp52.200. Sayang, pembuat soal sedikit kurang jeli. Ketika kita mengenakan diskon dari Rp52.200, pembeli hanya akan membayar kita sebesar Rp41.760.
Signifikansi selisih sebagai hal lain yang sering "dipermainkan"
Meskipun apa yang ditunjukkan oleh soal ini sudah cukup menyedihkan, sebenarnya masih banyak kebohongan yang bisa dibuat bermodalkan matematika. Salah satu konsep yang sering dipelesetkan adalah selisih atau perbedaan. Seberapa signifikan atau tidaknya suatu perbedaan merupakan sesuatu yang relatif, baik bagaimana cara mengukurnya maupun batas signifikansi tersebut.
Apa yang saya pahami ketika kuliah adalah perbedaan itu bisa diukur dalam bentuk selisih absolut atau relatif. Selisih absolut itu jelas, bernilai sepuluh jika dua angka yang dibandingkan adalah sepuluh dan dua puluh.Â
Selisih relatif ini sangat bergantung pada angka mana yang kita jadikan patokan. Jika dalam kasus sebelumnya kita menggunakan sepuluh sebagai patokan, selisih relatifnya adalah seratus persen. Dua puluh sebagai patokan? Ya lima puluh persen.
Biasanya kami menggunakan selisih relatif dalam membentuk pemodelan matematika dengan patokannya adalah angka pada kejadian sebenarnya. Batas yang digunakan untuk menilai signifikan atau tidaknya perbedaan itu bergantung pada masalah apa yang sedang dipertimbangkan.Â
Catatan lain yang perlu kami perhatikan adalah selisih relatif nilai suatu variabel belum tentu sama dengan selisih relatif dari nilai variabel lain yang dihitung berdasarkan variabel sebelumnya.
Hal yang umum dilakukan adalah memperbandingkan dua produk dengan harga serupa, biasanya dilakukan oleh produsen ponsel pintar, lalu menunjukkan bahwa produknya lebih unggul karena memiliki skor suatu pengujian yang lebih tinggi. Padahal, ketika dilihat selisih relatifnya, tidak signifikan.Â
Belum lagi, hasil sekali pengujian belum tentu akan merepresentasikan pengalaman pengguna karena sebenarnya secara matematis perlu dilakukan beberapa kali pengambilan sampel untuk dilihat fluktuasi pada kedua perangkat dan selanjutnya dilihat lagi signifikansi performa kedua perangkat.
Hal lain yang sering terjadi adalah perbandingan suku bunga kredit di antara dua penyedia berbeda. Misalkan, satu bank dengan persyaratan kredit yang lebih ketat menawarkan suku bunga empat persen per tahun ketika pesaingnya berusaha menawarkan sesuatu yang lebih longgar dengan suku bunga lima persen per tahun.Â
Konsumen awam akan melihat selisih absolut sebesar satu persen, ketika selisih relatifnya paling tidak dua puluh persen bergantung pada patokan yang digunakan. Jika diaplikasikan ke kredit berjangka 25 tahun, cicilan pinjaman dengan suku bunga lima persen per tahun lebih tinggi sekitar sebelas persen dari yang empat persen per tahun.
Mekanisme perhitungan bunga, sedikit perbedaan bisa jadi terasa signifikan
Ketika berhadapan dengan orang awam, apalagi kalau sudah seputar pinjam meminjam uang, bunga adalah hal yang seringkali memberatkan. Apalagi jika pengembaliannya dilakukan secara sekaligus, alias bukan mencicil, semakin runyam urusan. Nanti peminjam bisa merasa pemberi pinjaman memerasnya dengan penuh kekejaman.
Misalnya begini, seseorang yang baru saja kehilangan pekerjaan dan tidak punya simpanan memadai memilih untuk mencari bantuan modal melalui skema kredit tanpa agunan. Suku bunga tiga puluh persen per tahun baginya bisa diterima, karena tidak memiliki slip gaji, tidak memiliki agunan, dan membutuhkan uangnya dengan segera. Karena tidak memiliki pengetahuan matematika yang memadai, orang ini tidak berusaha mengulik lebih dalam bagaimana cara bunganya ini dihitung.
Jika suku bunga tiga puluh persen tersebut adalah bunga sederhana atau bunga efektif tahunan, benar bahwa setelah satu tahun uang yang harus dikembalikan sebesar 130% dari jumlah pinjaman awal. Jika suku bunganya ternyata merupakan suku bunga majemuk semesteran, kuartalan, bulanan, atau malah harian, besar pengembalian bisa membengkak hingga 135% dari jumlah pinjaman awal.Â
Hal ini cukup lumayan untuk pinjaman senilai Rp2 juta misalnya, selisih pengembalian sebesar Rp100 ribu bisa digunakan untuk membeli susu anak.
Sesungguhnya hal ini tidak hanya penting ketika kita meminjam uang, tetapi juga ketika kita menyimpan uang di bank. Saya pernah melihat sendiri di kantor cabang suatu bank besar bahwa mereka bisa saja menawarkan suku bunga yang lebih menarik kepada pemilik dana tidak hanya dari persentasenya saja, tetapi juga bagaimana suku bunga ini diakumulasikan. Sedikit perbedaan bisa jadi terasa besar jika dana yang ditanamkan besar, ya kan?
Sekian pemikiran saya yang jadi melebar soal "penyalahgunaan matematika" hanya gara-gara soal sederhana dari adik sepupu saya tadi. Mari kita belajar untuk tidak menyalahgunakan ilmu untuk berbohong dan menipu, karena sesungguhnya ilmu itu tidak pernah diciptakan untuk niat buruk apalagi matematika yang tergolong krusial peranannya dalam kehidupan sehari-hari kita.Â
Bagaimana kita bisa merumuskan kebijakan yang tepat dan menguntungkan semua pihak jika matematika masih disalahgunakan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H