Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu, Sekolah Abadiku dengan Segalanya yang Serba Pertama

28 November 2020   18:51 Diperbarui: 28 November 2020   18:59 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah memang mendidik kita dan memberikan ijazah sebagai tanda kelulusan, tetapi tidak membentuk manusia sejati dengan segala kelengkapannya. Ketika anak belum bisa apa-apa, pendidikan pertama dan terutama justru terjadi dalam lingkungan keluarga. Ibu memegang pemeran sentral dalam menentukan kesiapan anaknya menempuh pendidikan formal dan kemudian menapaki jalan hidup yang sesungguhnya.

Sebagai orang yang mengandung dan melahirkan anaknya, ibu tentu menjadi orang yang paling mengasihi dan memahami anaknya. Sekalipun banyak ibu kini bekerja sejak anaknya masih kecil, tetap saja mereka berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai kasih yang tulus dan penuh pengertian.

Perjuangan memiliki seorang bayi yang hanya bisa tidur dan menangis menjadi anak yang bisa berjalan dan berbicara membutuhkan kesabaran yang luar biasa, khususnya ketika menghadapi kegagalan demi kegagalan.

Pertama kali memberikan pengetahuan dasar sebelum memasuki sekolah formal

Ibu menerima kondisi anak apa adanya dan mengerahkan sepenuh tenaga untuk mendidik anak dari nol. Pemahaman agama, moral, kognitif, keterampilan, sampai kemampuan interpersonal dan intrapersonal diajarkan perlahan-lahan sesuai tahapan yang bisa diterima oleh sang anak. Hal ini kontras dengan fakta bahwa banyak sekolah formal masa kini yang mengharuskan siswanya sudah harus bisa ini dan itu sebelum mulai menimba ilmu.

Terus terang, saya baru bisa berbicara di usia hampir empat tahun ketika rekan-rekan seangkatan sudah lancar berkata-kata di usia dua tahun. Ketika saya menjadi siswa kelompok bermain, saya memahami apa yang diajarkan si guru dan apa yang dilakukan oleh teman-teman, tetapi tidak bisa meresponnya secara lisan. Alih-alih sabar, guru memilih mengembalikan saya kepada orang tua dan ibu sayalah yang harus mengajarkan segalanya.

Membaca, menulis, berhitung, menggambar, mewarnai, semuanya diajarkan dengan sabar dan lebih lambat dibandingkan anak-anak lain saat itu karena saya tidak bisa merespon secara lisan. Jika tidak menulis dengan tangan dan itu pun masih sulit terbaca, saya bertanya dengan bantuan telepon genggam. Mau marah pun tidak bisa karena itulah kemampuan saya, tega pun tidak karena anaknya sendiri.

Peran ibu zaman sekarang dalam memberikan pendidikan dasar kepada anaknya semakin kompleks, khususnya jika pembelajaran jarak jauh terus dilakukan seperti sekarang. Sejak kecil, anak perlu diajarkan agar piawai menggunakan perangkat pintar dengan berbagai aplikasinya. 

Sekolah formal tidak memberikan pembekalan untuk hal ini dan orang tualah yang harus memastikan agar anak bisa mengikuti kegiatan pembelajaran serta mengumpulkan berbagai penugasan yang diberikan. Ibu pun perlu mendampingi anaknya dalam belajar untuk memastikan bahwa pemahaman yang diperoleh tepat.

Pertama kali mengajarkan bagaimana cara bertahan hidup dengan benar dan cerdas

Sekolah formal pun tidak akan mengajari anak secara khusus mengenai kedisiplinan, strategi, dan cara bertahan hidup. Guru akan mendidik dengan cara dan capaian yang sama kepada semua siswanya. Peraturan dibuat untuk disepakati bersama dan kurikulum yang sebagian berisi teori menjadi kompetensi yang harus diajarkan.

Siswa harus bekerja keras demi mendapatkan nilai yang baik atau berisiko tinggal kelas. Di sisi lain, life skills diserahkan kepada siswa untuk dipelajari sendiri. Jadinya, ibu sayalah yang mengajarkan saya mengenai work-study-life balance.

  • Disiplin waktu dan kerja keras untuk memahami materi di sekolah secara mandiri itu penting, tetapi tetap memiliki waktu untuk memperjuangkan kebahagiaan diri, mempelajari berbagai keterampilan dan mengembangkan karakter positif, serta menjelajahi dunia luar juga penting.
  • Menaati peraturan yang ada itu penting, tetapi bersikap kritis terhadap peraturan yang tidak tepat atau bersifat mengekang pengembangan diri juga diperlukan.
  • Berusaha untuk memberikan yang terbaik itu penting, tetapi juga perlu memerhatikan keseimbangan hasil terhadap waktu yang dan sumber daya yang dikorbankan.
  • Hasil yang baik itu penting, tetapi proses yang benar dan dilakukan dengan karakter diri yang positif juga penting.
  • Menguasai berbagai hal itu penting, tetapi memfokuskan diri pada hal-hal yang disukai tentu memberikan ketenteraman hati dan menjauhkan diri dari rasa keterpaksaan.
  • Menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan konflik dengan pihak lain itu penting, tetapi memastikan diri sendiri cukup nyaman dengan cara yang dilakukan juga penting agar tidak menyiksa kesehatan mental.

Pertama kali memberanikan kita "naik kelas"

Guru yang memposisikan diri seakan menjadi rekan seusia siswa yang nyaman diajak berdiskusi baik soal materi maupun masalah pribadi itu jarang ditemukan. Sepanjang sekolah, saya memahami bahwa perjuangan guru untuk menyampaikan materi sesuai kurikulum dan memastikan siswanya berperforma optimal saat ujian sudah tergolong sulit.

Alhasil, ketika siswa merasa ada sesuatu yang janggal atau justru dapat dikembangkan dari materi, apalagi ingin tahu bagaimana materi diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, ada saja guru yang justru akan merasa jengkel dan meminta si siswa untuk seakan berusaha tidak melampaui dirinya.

Apalagi untuk mendiskusikan permasalahan pribadi, guru pun perlu memeriksa penugasan, mengerjakan pekerjaan administrasi, mempersiapkan materi, dan mengurus kehidupannya sendiri.

Lagi-lagi ibulah yang pertama kali mengajarkan seorang anak untuk "naik kelas" dan memenuhi rasa keingintahuannya. Dibandingkan terhadap seorang guru yang banyak ditargetkan mengenai nilai ujian dan prestasi sekolah serta pendidikan bertahap sesuai usianya, ibu lebih memikirkan masa depan anak yang lebih panjang dan bagaimana anak bertumbuh sesuai kemampuannya. Ibu melakukan semuanya agar anak mendapatkan jawaban yang tepat, bukan justru dijerumuskan oleh pihak-pihak yang memanfaatkan kepolosannya.

Ibu juga tidak mengajarkan anaknya untuk naik kelas secara teoritis, tetapi langsung dalam kondisi nyata. Misalnya, dalam mengenalkan transportasi publik, ibu saya langsung mengajak saya naik angkot, bus kota, atau kereta tanpa menjelaskannya terlebih dahulu di rumah. Mengajarkan pengelolaan keuangan juga tidak dilakukan secara teori, tetapi langsung melibatkan saya dalam analisis keuangan rumah tangga, mencari produk asuransi dan perbankan yang tepat untuk keluarga, serta masih banyak lagi. Belajar berkomunikasi dan berdebat juga dilakukan dengan topik-topik kekinian, jika memungkinkan juga didampingi oleh orang dewasa lainnya. "Supaya tidak kikuk ketika saatnya tiba," begitu kata ibu saya.

Ketika saya harus "turun gunung" sendiri dan menghadapi orang penting, ibu tidak mengambil posisi sebagai orang yang mengintervensi, apalagi secara langsung. Ibu lebih memilih memerhatikan dari jauh, atau bahkan menunggu laporan hasilnya saja. Tanggapan dan saran akan diberikan jika ada hal yang perlu diperbaiki dalam cara saya menyelesaikan masalah tersebut. Bagi ibu, menghadapi orang besar yang lebih tua dengan jabatan yang lebih tinggi, kekayaan yang lebih banyak, dan reputasi yang banyak dikenal orang harus diberanikan sejak kecil dan bisa melakukannya tanpa intervensi memberikan nilai tambah terkait kepercayaan diri dan jiwa kepemimpinan saya.

Pertama kali membekali terkait hubungan karir dan asmara

Hubungan pertemanan mungkin bukan sesuatu yang istimewa. Sekalipun ada persaingan di antara pelajar, pada akhirnya mereka akan tetap berteman akur karena nilai bukanlah segalanya dan kebersamaan sangatlah penting dalam belajar. Kondisi menjadi berbeda ketika mereka terjun ke dunia nyata, memperjuangkan pekerjaan dan jabatan untuk meraup pendapatan, juga untuk meraih pasangan yang terbaik. Seringkali satu hal yang sama hanya bisa dimiliki oleh satu orang saja. Selain persaingan, masih ada hal-hal lain yang jauh lebih kompleks.

Hidup memang mengalir seperti air, perlu dihadapi dan segala pelajarannya dijadikan sebagai pengalaman. Akan tetapi, bekal pengetahuan yang cukup tentu lebih baik agar bisa memposisikan diri dengan tepat dan tidak terjerumus dalam kondisi negatif jika lingkungannya kurang baik.

Di sekolah, kami baru mulai diperkenalkan soal pendidikan seksual sejak kelas 6 SD, kehidupan asmara sejak kelas 2 SMP, dan kehidupan berkarir sejak kelas 1 SMA. Seiring majunya peradaban, waktu-waktu ini mungkin bisa dibilang terlambat untuk mempersiapkan masa depan yang baik dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Untungnya, ibu saya sudah memberikannya secara bertahap sejak dini.

Sama seperti poin sebelumnya, ibu menjauhi penjelasan teoritis dan filosofis. Pengalaman hidupnya, berita di media massa, dan buku-buku biografi menjadi bahan untuk didiskusikan bersama. Tidak jarang pula ibu mengundang kenalannya yang bersedia memberikan cerita untuk menambah sudut pandang.

Terima kasih ibu, engkau begitu luar biasa dan komplit. Tidak hanya menjadi sekolah pertama, tetapi juga memberikan durasi pendidikan terpanjang yang tidak ada habisnya. Dengan latar belakang dan karakter anak yang berbeda, ibu-ibu lainnya belum tentu cocok dengan gaya mendidik ibu saya. Akan tetapi, satu hal yang pasti adalah peran kalian begitu penting dalam mendidik anak-anak kalian menjadi generasi penerus bangsa yang luar biasa dan kalian pasti bisa mewujudkannya dengan caranya masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun