Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Harga Mahal di Balik Akuisisi MASA oleh Michelin

18 Februari 2019   15:04 Diperbarui: 18 Februari 2019   15:14 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Hampir sebulan lalu, Selasa, 22 Januari 2019, menjadi hari bersejarah ketika Michelin, produsen ban asal Perancis yang menjadi pemasok tunggal di balap motor MotoGP, memperlebar jejak usahanya di Indonesia dengan mengakuisisi PT Multistrada Arah Sarana Tbk. (IDX : MASA) sebagai salah satu produsen ban lokal terbesar.

Ketika sebelumnya harga saham terus melesat, pengumuman akan rencana tender offer justru disambut dengan pelemahan hingga 15 poin pada penutupan keesokan harinya, Rabu, 23 Januari 2019. Ketika analis saham sibuk menghitung apakah akuisisi ini tergolong murah atau mahal, apakah kita berhenti menilai dampaknya sampai di sini saja?

Bisnis ban kendaraan di Indonesia terus bertumbuh seiring jumlah penduduk yang semakin banyak diikuti dengan penggunaan kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat dan juga kendaraan industri yang terus meningkat. Ketika infrastruktur seperti transportasi publik dan kereta barang belum mumpuni, kondisi ini belum akan berubah.

Tak ayal, meski saat ini pabrikan ban cenderung merugi atau paling untung tipis, ke depannya usaha ini masih cenderung menarik untuk dilirik. Inilah yang dilirik oleh Michelin dan pabrikan lain yang sebelumnya dirumorkan terlebih dahulu tertarik masuk ke MASA, Hankook asal Korea Selatan.

Michelin tentu tak bodoh. Peluang ini harus dimanfaatkan dengan baik untuk mempertebal pundi-pundi pendapatan global mereka sekaligus memperkuat posisi dalam mempertarungkan gelar produsen ban terbesar di dunia yang sangat sengit dan saling kejar-mengejar dengan Bridgestone.

Sekecil apapun pasar yang diincar, lebih baik dikuasai dibandingkan tidak. Sebesar apapun biaya yang diperlukan untuk merengkuh popularitas, pengeluaran sponsorship tak apa asalkan bisa menaikkan pangsa pasar dan ujung-ujungnya modal tersebut kembali juga. Pembiayaan akuisisi dengan dana internal menunjukkan permodalan Michelin yang sangat kuat, ya kan? 

Belum lagi, ketika Bridgestone begitu kuat dan lakunya di pasar nasional, apa kabar Michelin? Hanya sedikit mobil mewah yang menggunakannya, sedikit distributor yang menjualnya, dan banyak orang khususnya mereka yang bukan penggemar MotoGP sama sekali tak tahu siapa itu Michelin. Bicara Michelin, mereka malah merujuk ke penilaian restoran berbintang. Kacau, besar di dunia tetapi tidak dikenal di Indonesia, apa kata dunia?

Oleh karena itu, Michelin rela merogoh kocek hingga Rp6,2 triliun untuk mengempit 80% saham MASA dan mengadakan tender offer sesuai peraturan pasar modal Indonesia. Perjanjian pun sudah diteken dengan salah satu pemegang saham pengendali sekaligus pimpinan utama perusahaan yaitu Bapak Pieter Tanuri.

Para investor yang sebelumnya lesu karena harga saham yang turun dari Rp600-an ke Rp200-an per lembar saham dan kondisi laba tipis yang baru diperoleh pada kuartal 3 tahun 2018 setelah terakhir untung tahunan pada tahun 2014 kini beralih menjadi perdagangan yang aktif dan harga meningkat signifikan.

Kontan mencatat, sejak September 2018 alias ketika rumor akuisisi oleh Hankook pertama kali mencuat hingga puncak tertinggi di Januari 2019 sesaat setelah penjualan terlaksana, harga saham melejit hingga lebih dari 150 persen. Jika ikut tender offer di harga sekitar Rp850/saham, keuntungan tambahan pun sudah di depan mata.

Menengok kondisi sekarang, harga ini tentu mahal mengingat rasio PBV yang lebih dari satu kali. Jika Michelin mau dan bisa memborong saham di bursa, tersedia PT Gajah Tunggal Tbk yang tentunya lebih besar dan populer untuk dibeli dengan PBV di bawah satu kali.

Permasalahannya, tentu investor sang pemimpin pasar lokal belum tentu mau mengalihkan sahamnya semurah itu. Di 2017 saja, GJTL sanggup memproduksi lebih dari 70.000 unit ban sepeda motor, 34.000 ban mobil, dan 1.000 ban truk serta bus setiap harinya. Mau usaha mudah nan murah? Tunggu dulu, enak saja. PER? MASA yang untung tipis ini memberikan PER hingga ratusan kali alias tidak menarik untuk dibeli. Untungnya Michelin di mana?

Ingat bahwa Michelin bukanlah investor biasa yang berhitung analisis teknikal dan fundamental seperti kita-kita ini. Fokus mereka adalah bagaimana caranya meningkatkan kapasitas produksi di salah satu negara dengan peluang pasar terbesar tanpa harus mendirikan fasilitas manufuktur baru.

Membangunnya dari nol tidak murah dan mudah, butuh waktu untuk mengurus perizinan, mencari dan membeli lahan yang tak lagi murah, membangun pabrik dan gudang serta menetapkan standar operasional produksi (SOP) sampai layak berproduksi, serta merekrut tenaga kerja baru yang belum tentu terlatih dan siap kerja. 

Melalui MASA, mereka sudah mendapatkan kapasitas produksi tahunan setara 11 juta unit ban roda empat, 9 juta unit ban roda dua, dan 250 ribu unit ban truk serta bus serta 50 hektar lahan kosong untuk berekspansi lebih lanjut.

Belum lagi, tujuan ekspor yang sudah jelas, peringkat empat secara keseluruhan menurut Dunia Industri pada 2011-2012 dan peringkat tiga untuk ban sepeda motor, serta popularitas berkat rekam jejak sponsorship MASA kepada 18 klub sepakbola lokal dan dua klub sepakbola asing. Dengan mengakuisisi MASA, Michelin langsung naik kelas dari bukan siapa-siapa di pasar nasional ke top 4 di Indonesia lewat jalan tol.

Untuk semua keunggulan di atas, Michelin hanya perlu menanggung persentase premium sebesar 11% dibandingkan terhadap harga penutupan di hari itu atau 44% dibandingkan terhadap rata-rata perdagangan sejak September 2018. Hal ini jauh lebih murah dari premium hingga 153% terhadap harga pasar yang harus ditanggung oleh Top Global Limited ketika perusahaan asal Singapura ini mengakuisisi 71.58% emiten properti PT Suryamas Dutamakmur Tbk (SMDM) pada 2014 silam.

Meski valuasi fundamental keduanya tentu berbeda, tetapi perlu dicatat bahwa persentase saham yang dikuasai dan popularitas perusahaan SMDM di sektornya tentu lebih rendah dibandingkan terhadap apa yang dimiliki oleh MASA. Dari sudut pandang ini, tentu terasa murah dan ironis.

Kita patut bangga berarti ada perusahaan dalam negeri yang mampu memenuhi standar akuisisi investor asing, terlebih sekelas Michelin, tetapi harus ada harga mahal yang dibayar di baliknya.

Tidak ada investasi rill baru yang masuk ke negara ini, tidak ada pembangunan fasilitas dan infrastruktur baru yang berarti, tidak ada pembelian tanah dan perekrutan tenaga kerja baru dari masyarakat, tidak ada tambahan entitas perusahaan baru di industri ban lokal, tidak ada peningkatan kapasitas produksi ban lokal secara signifikan dari akuisisi ini.

Yang ada hanyalah para investor bahagia dengan keuntungan yang berlipat ganda, meski mereka tentu tak bisa disalahkan karena kinerja fundamental yang tak menarik selama lima tahun terakhir tentu akan membuat mereka berpikir untuk beralih ke sektor lain. Pertanyaannya, siapa yang merana?

Bangsa dan negara ini, terkhusus Pemerintah. Perlahan-lahan, mungkin saja merek lokal andalan MASA seperti Achilles dan Corsa akan digantikan oleh pesona internasional Michelin itu sendiri. Ekspor ke luar negeri oleh MASA yang sebelumnya membanggakan karena membawa nama harum bangsa kini menjadi ekspor antarnegara pengguna ban Michelin.

Keuntungan yang dulunya banyak diinvestasikan lagi di dalam negeri atau dibagikan sebagai dividen kepada investor dalam negeri kini pergi ke Perancis tempat induk Michelin berada. Michelin hanya akan bertumbuh semakin besar dan kita yang di masa depan mungkin meneteskan air mata. Mahal atau murah akuisisinya, yang jelas kita sudah merelakan salah satu produsen ban lokal terbesar jatuh ke tangan asing. Itu saja.

Salah siapa? Bukan salah MASA, bukan salah Pieter Tanuri, bukan salah Indomobil, bukan salah Michelin, tetapi salah kita semua sebagai bangsa Indonesia. Bukan hanya MASA, perbankan kita, dunia perasuransian kita, bahkan tambang emas di Papua dengan nilai yang jauh lebih besar pun sudah kita biarkan terlebih dahulu jatuh ke penguasaan asing.

Next time, jangan biarkan hal seperti ini terjadi lagi dengan mudah dan murahnya. Perketat regulasi mengenai penguasaan saham maksimum atau berlakukan aturan persentase premium minimum terhadap harga pasar untuk akuisisi oleh pihak asing.

Intensifkan penggalakan program Yuk Nabung Saham sehingga investor dalam negeri memperbesar kepemilikan saham atas emiten prospektif dan mencegah mudahnya pihak asing menguasainya melalui pemegang saham mayoritas. NKRI harga mati, mari bawa negara kita menuju Indonesia maju dan berdaulat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun