Permasalahannya, tentu investor sang pemimpin pasar lokal belum tentu mau mengalihkan sahamnya semurah itu. Di 2017 saja, GJTL sanggup memproduksi lebih dari 70.000 unit ban sepeda motor, 34.000 ban mobil, dan 1.000 ban truk serta bus setiap harinya. Mau usaha mudah nan murah? Tunggu dulu, enak saja. PER? MASA yang untung tipis ini memberikan PER hingga ratusan kali alias tidak menarik untuk dibeli. Untungnya Michelin di mana?
Ingat bahwa Michelin bukanlah investor biasa yang berhitung analisis teknikal dan fundamental seperti kita-kita ini. Fokus mereka adalah bagaimana caranya meningkatkan kapasitas produksi di salah satu negara dengan peluang pasar terbesar tanpa harus mendirikan fasilitas manufuktur baru.
Membangunnya dari nol tidak murah dan mudah, butuh waktu untuk mengurus perizinan, mencari dan membeli lahan yang tak lagi murah, membangun pabrik dan gudang serta menetapkan standar operasional produksi (SOP) sampai layak berproduksi, serta merekrut tenaga kerja baru yang belum tentu terlatih dan siap kerja.Â
Melalui MASA, mereka sudah mendapatkan kapasitas produksi tahunan setara 11 juta unit ban roda empat, 9 juta unit ban roda dua, dan 250 ribu unit ban truk serta bus serta 50 hektar lahan kosong untuk berekspansi lebih lanjut.
Belum lagi, tujuan ekspor yang sudah jelas, peringkat empat secara keseluruhan menurut Dunia Industri pada 2011-2012 dan peringkat tiga untuk ban sepeda motor, serta popularitas berkat rekam jejak sponsorship MASA kepada 18 klub sepakbola lokal dan dua klub sepakbola asing. Dengan mengakuisisi MASA, Michelin langsung naik kelas dari bukan siapa-siapa di pasar nasional ke top 4 di Indonesia lewat jalan tol.
Untuk semua keunggulan di atas, Michelin hanya perlu menanggung persentase premium sebesar 11% dibandingkan terhadap harga penutupan di hari itu atau 44% dibandingkan terhadap rata-rata perdagangan sejak September 2018. Hal ini jauh lebih murah dari premium hingga 153% terhadap harga pasar yang harus ditanggung oleh Top Global Limited ketika perusahaan asal Singapura ini mengakuisisi 71.58% emiten properti PT Suryamas Dutamakmur Tbk (SMDM) pada 2014 silam.
Meski valuasi fundamental keduanya tentu berbeda, tetapi perlu dicatat bahwa persentase saham yang dikuasai dan popularitas perusahaan SMDM di sektornya tentu lebih rendah dibandingkan terhadap apa yang dimiliki oleh MASA. Dari sudut pandang ini, tentu terasa murah dan ironis.
Kita patut bangga berarti ada perusahaan dalam negeri yang mampu memenuhi standar akuisisi investor asing, terlebih sekelas Michelin, tetapi harus ada harga mahal yang dibayar di baliknya.
Tidak ada investasi rill baru yang masuk ke negara ini, tidak ada pembangunan fasilitas dan infrastruktur baru yang berarti, tidak ada pembelian tanah dan perekrutan tenaga kerja baru dari masyarakat, tidak ada tambahan entitas perusahaan baru di industri ban lokal, tidak ada peningkatan kapasitas produksi ban lokal secara signifikan dari akuisisi ini.
Yang ada hanyalah para investor bahagia dengan keuntungan yang berlipat ganda, meski mereka tentu tak bisa disalahkan karena kinerja fundamental yang tak menarik selama lima tahun terakhir tentu akan membuat mereka berpikir untuk beralih ke sektor lain. Pertanyaannya, siapa yang merana?
Bangsa dan negara ini, terkhusus Pemerintah. Perlahan-lahan, mungkin saja merek lokal andalan MASA seperti Achilles dan Corsa akan digantikan oleh pesona internasional Michelin itu sendiri. Ekspor ke luar negeri oleh MASA yang sebelumnya membanggakan karena membawa nama harum bangsa kini menjadi ekspor antarnegara pengguna ban Michelin.