Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Balada Protes Pengendara terhadap RUU Ojek Online, Siapa yang Dirugikan?

15 Februari 2019   19:59 Diperbarui: 16 Februari 2019   21:14 1180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah RUU Permusikan yang menuai pro dan kontra khususnya soal pengutipan referensi dari makalah di Blogspot, produk hukum berikutnya yang kembali ramai diperbincangkan adalah rancangan undang-undang mengenai perlindungan keselamatan pengguna sepeda motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat alias ojek online, moda transportasi sejuta umat hari ini. 

Begitu banyak orang menjadikan profesi utama sebagai driver ojek online sampai membeli motor sendiri dan menggantungkan hidupnya di jalan sehingga memang RUU ini menyangkut kepentingan banyak pihak. 

Meski dikatakan Dirjen Perhubungan Darat bahwa tujuannya sangat mulia untuk melindungi para driver di lapangan, nyatanya para driver ojol dari berbagai komunitas menduduki tempat uji publik di Makassar sebagai bentuk penolakan. Ada apa ini?

Tak merasa dilibatkan dalam pembuatan peraturan

Sebagaimana dinyatakan oleh Ketua Solidaritas Gojek Kota Makassar di Fajar.co.id, mereka kecewa lantaran tim yang dibentuk untuk menyusun RUU ini hanya melibatkan driver dari Jakarta dan Lampung saja sehingga mereka tak merasa dilibatkan dan tak mau menerapkannya. 

Memang saya bisa merasakan perasaan orang-orang di posisi tidak dianggap keberadaannya dan merasa tidak terwakili, tetapi semuanya tetap saja merupakan ekspresi baper yang berlebihan. 

Menengok perjalanan sejarah, pelibatan driver saja sudah begitu luar biasa dan sangat patut diapresiasi dibandingkan peraturan lainnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak tetapi hanya dibahas oleh kalangan eksekutif dan wakil rakyat di Senayan.

Ojek online ini sudah merambah ke hampir seluruh kota di Indonesia sehingga banyak kota juga yang tidak terwakili dalam kasus ini, bukan hanya Makassar. Jika Makassar mau dan kemudian ikut dilibatkan, driver dari kota-kota lainnya akan minta dilibatkan juga sehingga durasi dan biaya sampai menjadi undang-undang semakin besar, belum lagi tarik ulur dan perdebatan internal yang tak kunjung usai. 

Saya pikir dua kota tersebut sudah cukup mewakili, di mana Jakarta menjadi perwakilan kota yang ramai dengan kemacetan lalu lintas setiap harinya dan kualitas infrastruktur yang cukup baik sedankan Lampung sebagai perwakilan kota yang lebih sepi dan tidak terlalu macet tetapi belum memiliki kualitas infrastruktur setara kota-kota besar. 

Nah, tugas driver dari kota lain adalah mengawal penyusunan materi, menjalin komunikasi dengan tim yang sudah ada, dan aktif memberikan masukan tanpa harus merengek kursi di tim tersebut. Daripada sibuk ikut membuat produk hukum, lebih baik fokus di jalan untuk memberi makan anak istri, ya kan?

Larangan penggunaan GPS ponsel yang memberatkan

Masalah berikutnya yang dinilai cukup memberatkan adalah larangan penggunaan GPS ponsel yang pelaksanaannya akan diperiksa secara kontinu melalui serangkaian razia teratur. 

Driver mengaku mereka sangat kesulitan mengingat pengetahuan terhadap ruas jalan untuk mencapai lokasi penjemputan dan tujuan penumpang sangatlah minim untuk bisa memberikan pelayanan yang memuaskan. Jika mereka memutuskan untuk berhenti terlebih dahulu untuk melihat dan mempelajarinya pun, tak mudah mendapatkan tempat yang terbilang aman dan gratis. 

Hal ini memang cukup rumit untuk diselesaikan, terlebih lagi jika kita membicarakan hal-hal yang lebih luas seperti penerimaan order dan komunikasi dengan penumpang melalui chat. Satu-satunya solusi yang sebenarnya bukan merupakan solusi terbaik juga adalah mewajibkan para driver untuk menggunakan Bluetooth headset di salah satu sisi telinga dan berlangganan paket menelpon unlimited ke semua operator sehingga urusan navigasi sampai komunikasi dengan penumpang cukup dilakukan melalui suara. 

Permasalahannya, tetap saja hal ini akan mengganggu konsentrasi berkendara bukan? Terlebih lagi bagi mereka dengan kualitas pendengaran yang tidak terlalu baik. Jika tidak bisa, ujung-ujungnya mereka akan bertanya kepada penumpang yang belum tentu tahu jalan dan justru menggunakan layanan ojek online untuk bisa sampai di tujuan dengan aman tanpa perlu memikirkan rute yang harus dilalui. Terima beres saja, kan?

Pembatasan jam kerja harian yang hanya akan merugikan penumpang

Demi keselamatan driver dan penumpang, Kemenhub menetapkan batas jam kerja harian sebesar delapan jam dan kewajiban driver untuk beristirahat selama tiga puluh menit setiap selesai bekerja selama dua jam. 

Hal ini belumlah final karena masih dalam tahap diskusi dengan para driver dan sebenarnya berdasarkan pernyataan Dirjen Perhubungan Darat di Detikcom, bisa saja mereka bekerja lebih dari delapan jam asalkan diselingi tidur yang lebih Panjang pula selama satu sampai dua jam. Permasalahan yang muncul kemudian adalah kebutuhan para driver untuk tutup poin alias tupo, sekilas mendengarnya mirip skema di MLM ya.

Menurut pengakuan mereka kepada saya, pendapatan bersih menjadi driver ojek online baru terbilang benar-benar menyejahterakan dan menutupi semua biaya perawatan kendaraan setelah mendapatkan bonus yang diperoleh melalui skema tupo tersebut. 

Demi bonus maksimal, mereka harus memeroleh sekitar 21 poin dalam satu hari kalender yang pemenuhannya rata-rata memakan waktu hingga tujuh belas jam per hari, berangkat jam enam pagi dan pulang jam sebelas malam, sekalipun jarak setiap perjalanannya tergolong pendek dan lalu lintas relatif normal-normal saja. 

Setiap perjalanan, baik dekat maupun jauh, baik lancar maupun macet, driver akan mendapatkan satu poin dan tambahan setengah poin jika penumpang mau mengisi saldo e-wallet besutan aplikasi tersebut.

Jika selama ini butuh waktu selama itu untuk bisa tupo, apa yang terjadi ketika jam kerja dibatasi hingga hanya delapan jam sehari? Driver akan semakin memilih perjalanan berjarak pendek saja selama tupo belum terpenuhi dan penumpang yang membutuhkan perjalanan berjarak lebih jauh hanya bisa meneteskan air mata karena tak kunjung mendapatkan driver untuk melayani mereka atau di-cancel berkali-kali setelah sang driver mengetahui jarak yang harus mereka layani. 

Belum lagi, bisa jadi mereka akan semakin ngebut di jalan sehingga kenyamanan dan keselamatan penumpang terganggu. Sampai di tujuan, mereka sibuk menawarkan jasa pengisian saldo e-wallet ketika penumpang ingin buru-buru turun dan mengejar waktu. Ujung-ujungnya, penumpang lagi yang rugi dan merasa tak nyaman.

Batas atas dan bawah tarif yang lagi-lagi merugikan penumpang

Dengan segala risiko, ketidaknyamanan, dan keterbatasan kapasitas, wajarlah jika tarif ojek jauh lebih murah dibandingkan taksi online, mungkin hanya sekitar sepertiga hingga setengahnya. Nominal tarif terendah ojek pun sangatlah menarik, hanya lima ribu Rupiah alias setengah dari taksi online. Tidaklah mengherankan jika kemudian ojek online ini menjadi sahabat harian yang menyenangkan bagi banyak orang, khususnya para pekerja, siswa, dan mahasiswa dengan kantong terbatas.

Akan tetapi, kebahagiaan tersebut sebentar lagi akan pupus dengan tarif ojek online yang dipatok sebesar Rp2.000 -- 2.500 per km dan jarak minimum sejauh lima kilometer sehingga nominal tarif terendah pun naik menjadi Rp10.000. 

Dibandingkan dengan taksi online yang bisa memuat sekitar tiga sampai enam orang penumpang, mereka memiliki batas tarif sebesar Rp3.500 -- 6.500 per km sehingga ketika sama-sama tidak macet, penumpang jarak dekat yang tidak mengejar waktu bisa jadi beralih cukup signifikan ke taksi online alias mengurangi potensi pendapatan ojek online. 

Satu lagi, kondisi seperti ini semakin empuk dimanfaatkan oleh para driver untuk mengambil perjalanan jarak pendek saja karena pendapatan per kilometernya menjadi jauh lebih besar sekaligus membantu terpenuhinya tupo harian. 

Soal batas atas, saya pun tidak yakin bisa terlaksana dengan baik mengingat sampai hari ini hal tersebut belumlah tercapai untuk taksi online yang masih bisa membebankan harga sangat tinggi melebihi batas di kondisi yang lazim disebut high fare atau surge. 

Memangnya Kemenhub mau meng-hire sejumlah orang khusus untuk memeriksa tarif seluruh rute perjalanan yang mungkin setiap harinya, apakah sudah sesuai batas? Kasihan yang bekerja karena capek disuruh pijit layar terus-menerus, kasihan juga terhadap yang menggaji karena jumlah kebutuhan orangnya luar biasa banyak. Berharap pengaduan masyarakat? Mereka takut jika nantinya identitas terbongkar dan menjadi bulan-bulanan pengelola aplikasi.

Kewajiban kesesuaian identitas yang sulit dipantau konsistensinya

Untuk urusan keamanan, pengemudi sudah diwajibkan oleh pengelola aplikasi untuk mencantumkan identitas, nomor polisi kendaraan, dan nomor telepon yang sesuai. Hal ini penting mengingat penumpang seringkali kebingungan menghadapi kedatangan driver dengan detil tak sesuai dan hal ini berisiko, tetapi mereka tak berdaya untuk menolak karena dikejar waktu dan/atau takut menghadapi driver tersebut. 

Ketika aturan ini muncul kembali di RUU ojek online, saya tidak yakin bahwa ada mekanisme yang jelas untuk memantau konsistensi penerapannya kecuali pengembang aplikasi bisa mengecek kesesuaian foto pengemudi dengan wajah di kendaraan, foto jenis dan nomor polisi kendaraan, serta verifikasi kesamaan nomor ponsel melalui SMS.

Hak peminjaman helm kepada penumpang yang sering terabaikan

Selama dua tahun menjadi penumpang ojek online, saya sering menemukan driver yang menolak memberikan helm karena menganggap jarak perjalanan pendek dan hal ini hanya membuang waktunya untuk mencari uang.

Jika diberikan helm pun, belum tentu memenuhi standar keselamatan yang ada. Bukan hanya saya yang sering merasakannya, begitu juga dengan teman-teman yang lain. Akan tetapi, bagaimana cara kami bisa melaporkannya kepada pengelola aplikasi? Saya pun tidak yakin hal ini sudah diatur dalam RUU ojek online. Sebagai rakyat, saya memberikan masukan agar Pemerintah menjamin hak peminjaman helm yang memenuhi standar SNI atau sanksi pidana dan perdata kepada driver yang lalai melakukannya.

Kalau ojol mulai ditinggal, apa yang terjadi?

Nah, ini yang paling menarik. Konsumen kita begitu sensitif soal harga sehingga bisa saja ada peralihan ke moda transportasi lainnya dari ojol ini. Akan tetapi, pengelola aplikasi tidak akan tinggal diam dengan memberikan potongan harga melalui e-wallet sehingga ujung-ujungnya merekalah yang akan nombok karena para driver sudah pasti tidak mau dikorting pendapatannya. 

Kemudian, besarnya tombokan ini akan disubsidi silang dengan pengguna jasa lain dari aplikasi yang sama dan pastinya merugikan konsumen pengguna jasa-jasa tersebut. Waduh.

Sebagai andalan transportasi yang mudah, cepat, dan murah sekaligus mata pencaharian yang menjanjikan bagi banyak orang, bisnis ojek online menyangkut kepentingan banyak orang sehingga peraturan untuk mengaturnya haruslah dibuat sedetil dan sesempurna mungkin sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. 

Pemerintah harus lebih banyak lagi mendengarkan masukan dari para driver maupun penumpang dengan turun langsung ke lapangan untuk menjemput bola, bukan menunggu laporan mengingat target terselesaikannya peraturan ini sebelum pelaksanaan Pilpres di bulan April mendatang. 

Jangan sampai nantinya hanya akan bernasib sama dengan peraturan untuk taksi online, hanya bagus di atas kertas dan ujung-ujungnya tetap saja penumpang yang dirugikan karena pelanggaran di sana-sini yang sulit dideteksi dan ditindaklanjuti oleh penegak hukum.  

Terlebih lagi, saya melihat draf yang ada saat ini belumlah berpihak kepada konsumen, mohon diperhatikan lagi. Dengan kondisi demikian, driver jangan protes terus dan mari kita bergerak bersama selagi ada waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun