Misalnya saja cerita seorang pelayan di salah satu kedai kopi di mall kepada saya, selama periode cashback 50% yang diselenggarakan oleh salah satu penyedia e-wallet di akhir tahun kemarin, dia lebih memilih makan nasi fried chicken di gerai sebelah setiap harinya dengan cukup membayar Rp10 ribu, lebih murah dan lebih dekat dibandingkan nasi goreng telur atau nasi rames di kantin basement seharga Rp12 ribu. Sudah daging, hemat pula, kapan lagi kan?
Meski mereka terlihat bijaksana, mereka lupa bahwa konsumsi fast food setiap hari adalah hal yang tidak sehat. Penyajian yang tidak segar, komposisi gizi yang berat sebelah, dan cara masak berupa digoreng yang tentunya mengundang berbagai risiko penyakit, mulai dari batuk, radang tenggorokan, obesitas, kolesterol tinggi, sampai penyakit jantung kronis.Â
Apa yang terlihat lebih hemat dan menguntungkan hari ini tidak mereka sadari justru menumpuk bahaya di masa mendatang. Sulit mengharapkan merchant dengan makanan sehat karena tentu pengelola e-wallet membaca situasi bahwa generasi milenial sekarang lebih senang dengan makanan yang cepat, keren, dan lumayan costly ala kebarat-baratan atau kejepang-jepangan.
Belum lagi, para pelaku usaha kuliner yang tidak bergabung bersama pengelola e-wallet populer sang penyebar cashback akan mengalami penurunan penjualan bahkan kehilangan seluruhnya.Â
Oleh karena berstatus sebagai UMKM dengan modal terbatas, tidak punya akses terhadap kecanggihan teknologi, tidak dilirik oleh pengelola e-wallet, atau diajak pun tidak bisa menunggu proses withdrawal hingga esok hari ketika libur datang dan sangat membutuhkan perputaran uang tunai yang cepat untuk membeli barang modal, mereka ini sangatlah dirugikan.Â
Kelompok yang selama ini menjadi andalan untuk menyediakan makanan sehat nan variatif dengan harga murah perlahan harus tersingkir dari mata pencahariannya dan kehilangan gigi sebagai pilar perekonomian nasional. Sebaliknya, konglomerat lokal, pemodal asing, dan pemegang lisensi brand dari luar negeri tersebutlah yang tersenyum bahagia mengeruk semua uang masyarakat kita.
Hal ini semakin kompleks ketika dikaitkan dengan topik sumber daya yang juga menjadi bahasan debat kedua nanti. Karena bisnis besar tentunya membeli bahan baku dari pemasok besar, bagaimana nasib rakyat kecil yang selama ini makan dari mengusahakan sumber daya untuk bahan baku pangan? Ingat bahwa mereka yang harus menjadi fokus utama negara ini adalah para rakyat kecil.
Menghadapi pelanggan yang saking pintarnya
Bagi pelanggan yang "pintar", cashback tersebut digunakan untuk meningkatkan kebahagiaan keluarga dengan cara memanfaatkan kemampuan logika matematika. Kalkulator ponsel yang biasanya hampir tak pernah disentuh kini jadi andalan supaya persentase cashback yang diperoleh pun maksimal mengingat ada batas perolehan dalam satu transaksi, satu hari, dan satu periode perhitungan oleh pengelola per merchant-nya.Â
Jika biasanya akhir pekan dihabiskan dengan mengajak keluarganya ke rumah makan yang itu-itu saja, kali ini mereka dibawa ke food court mall mewah alias naik kelas. Akan tetapi, jangan harap mereka memiliki kebebasan untuk memilih makanan karena tentu saja hal ini sudah diatur oleh sang empunya uang. Si A makan B, si C makan D, si E makan F, meski repot karena harus berpindah-pindah gerai tetap saja dilakukan supaya cashback maksimal. Jika satu ponsel sudah mencapai limit, digunakanlah ponsel kedua, ketiga, sampai limit semuanya habis tanpa sisa.Â
Di dua kelompok pertama ini, mereka tidak mengalami peningkatan pengeluaran dan berakhirnya cashback tidak membuat mereka sedih karena uang tinggal kembali ke tempat semula atau mencari tempat baru, gampang.