Mohon tunggu...
Cesillia Ida
Cesillia Ida Mohon Tunggu... -

Pasal 28F UUD 1945: "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."

Selanjutnya

Tutup

Politik

Identitas Orang Indonesia

3 Juni 2011   13:13 Diperbarui: 10 Oktober 2015   23:36 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seringkali ketika kita melihat dari kejauhan, kehilangan akan detil adalah timpal yang sepadan. Dan keterjebakan dalam hal seperti itu tak terlalu terasa. Beberapa orang bahkan merasa nyaman dan cukup untuk melihat dari kejauhan. Sedang bagi sebagian kecil orang, hal itu tak dapat ditolerir.

Mendekat, masuk dan mengalami pasang surut adalah cara untuk melihat seberapa dominan ego kita berkuasa. Menyentuh lalu terlibat dalam jalinan emosi justru menghadirkan sensasi rasa yang lebih dari sekedar kita berada di kejauhan jarak dan menjustifikasi sesuatu.

Pembukaan ini adalah sebuah contoh. Betapa kadang merumitkan persoalan yang gampang dan melakukan sebaliknya terhadap persoalan yang pelik menjadi kebiasaan umum banyak individu. Apalagi jika label “intelektual kalangan atas” mengharuskan kita mempunyai strata berpikir di tingkat tertentu dan tak ingin jika derajat itu direndahkan.

Apakah ini bisa dikategorikan “feodalistik”? Itu semua belum ditambah dengan kebiasaan pendidikan kita yang membuat orang-orang diharuskan objektif seobjektif mungkin. Sebisa mungkin melihat dari “berbagai sisi” dan mengeliminasi cara pandang subjektif yang telah divonis “tak objektif”. Ini adalah sistem jagal yang dicipta dengan sengaja yang menurut saya membuat invidu kehilangan “identitas”nya.

Meleburkan diri hingga tak tersisa kentalnya yang membuat kita hidup dan memberikan sumbangsih maksimal menurut kemampuan masing-masing di tengah-tengah perbedaan yang telah menjadi kodrat dalam kehidupan umat manusia. Saya sering menyebut hal ini dengan sepotong kata HOMOGENISASI.

Tradisi berpikir yang telah diwariskan dan dijaga kelangsungan hidupnya oleh sebuah struktur kekuasaan besar yang juga saya namakan dengan NEGARA dan AGAMA.

Dan keterkejutan saya bertambah ketika beberapa kawan yang selalu berslogan "Nasionalis Indonesia" bertanya kepadaku asli mana? saya menjawab asli Indonesia, bersuku Indonesia, dan bernegara Indonesia, dan "menumpang" lahir di sukarnapura" ( Hindia Belanda lalu Irian Jaya, sekarang Papua* Irian itu bukan artinya = Ikut Indonesia Anti Nederland catat itu!) mereka memandang dengan heran, tak segera puas dengan jawaban saya, " maksudmu orang Irian? kog tidak keriting? " masih saja memaksa. Selalu ada ketidak puasan dari pertanyaan orang di negeri ini bila saya tidak pernah mengatakan suku bangsa.

Apakah itu penting? sedang lihat saja "Slogan Nasionalisme Indonesia" di teriakkan dari mulai Bintang lima sd Kaki lima, tetapi apa maknanya? hanya sekedar slogan? atau sekedar rasa-rasa nya Nasionalis? ataukah "rasa Nasionalisme kebingungan"?

Wajar menurut saya jika kaget menjadi yang pertama. Sebab selain saya bukanlah orang Irian secara darah dan runut riwayat, adalah sebuah keanehan yang “maha” jika seorang yang selalu berslogan "Nasionalis Indonesia" masih bertanya tentang nilai ke-suku-an kepada “orang yang sudah jelas mengaku asli Indonesia”.

Saya kemudian teringat dengan sebuah jawaban seorang kawan yang tinggal di negeri seberang yang selalu kemana mana tidak pernah mengatakan dirinya dari suku aslinya meski dia berasal dari runut dan riwayat darah suku yang sama dia katakan: “Indonesia tidak dapat mengakui anda. Justru sebaliknya. Anda yang harus mengakui Indonesia.” Tapi semua tak serta merta selesai. Pertanyaan kawan saya tersebut di atas adalah wakil dari mayoritas pola berpikir orang-orang yang berada di sekitar geliat Nasionalisme Indonesia . “Kenapa menggunakan Indonesia? Kenapa tak menggunakan kata lain?” “Indonesia adalah gerakan budaya Indonesia . Untuk apa orang-orang non-Indonesia terlibat di dalamnya?” “Apa maksud kalian dengan identitas?” “Merauke sampai dengan Sabang, Indonesia itu apa?”

“Benarkah Nasionalis adalah gerakan rasis penaklukan?”(Penaklukan terhadap siapa?) "Siapa orang asli Indonesia?" “Siapa pucuk pimpinan adat, suku Indonesia?” "Sejauh mana diri sendiri memaknai sebagai Orang Indonesia yang lahir dari pelbagai suku bangsa yang mengalir dalam tubuh?" "sejauh mana sebagai orang Indonesia mengenal suku bangsa apa saja yang ada di tanah Indonesia ini? dengan perilaku adat dan istiadat sangat berbeda latar belakangnya, dengan tidak saling menjelekkan satu lainnya apalagi dengan merasa lebih dan kurang?"

Itu adalah beberapa pertanyaan yang disampaikan oleh beberapa orang non Indonesia di berbagai kesempatan jumpa dan tidak kebetulan jika saya masih terus mengingatnya. Saya berusaha dengan sengaja terus menjaga agar rekaman ini tetap awet demi mengantisipasi kerikil penghalang di kelokan berikut. Dan pertanyaan-pertanyaan di atas, tak berusaha saya jawab agar para penanya kemudian puas.

Tidak. Saya hanya berupaya sekali lagi menjelaskan dari sudut pandang seorang pribadi yang ikut meramaikan rasa Nasionalis dengan cerdas. Seorang Indonesia yang sementara belajar di tengah keramaian orang-orang muda Indonesia yang juga belajar.

Saya tak sendiri. Masih ada kelompok bukan orang-orang pintar, tapi kumpulan orang-orang yang mau dan terus belajar. Bukan untuk mengejar kesempurnaan. Tapi membuat “hidup lebih hidup”. kami belum lama. Masih “junior” jika mengikuti tradisi “baik” organisasi-organisasi dengan kompleksitas struktur dan kekuasaan yang melilit di dalamnya.

Terus mencari tahu sembari menyingkap berbagai “selimut kebenaran” sejarah yang terlanjur absolut dan tak boleh dibantah lagi, membuat kami menemukan banyak fakta “baru” yang sebenarnya sudah usang namun selama ini tersimpan rapi dalam lemari “sejarah penguasa”.

Bagian-bagian yang tak boleh di komsumsi publik? Saya nanti mengetahui fakta historis negeri ini yang saya dapat di sekolah setelah di luar Sukarnapura tidak benar banyak yang kabur serta tidak jelas. Saya secara subjektif menganggap saya ini adalah “ber-Identitas”. Itu hal yang wajar jika kita merunut sejarah dan mental serta pola berpikir yang selama ini dicangkokkan kepada seluruh individu "doktrinisasi"atas nama BANGSA INDONESIA.

Pada akhirnya menjadi sebuah keharusan jika sebuah kelompok “harus ber-struktur”. Itu adalah salah satu syarat mutlak. Harus ada pemimpin dan yang dipimpin. Ada pusat dan ada pinggiran. Ada hulu dan harus ada hilir. Harus ada bos dan anak buah. Atasan dan bawahan. Harus ada struktur, agar ada “description of power”. Benarkah harus ada sentralisme? Haruskah? Mungkinkah ada alternatif lain? Di mana tak ada struktur, hingga membuat kita sebisa mungkin menjauhkan diri dari pembagian kekuasaan yang membuka potensi konflik karena kecenderungan kekuasaan yang korup dan menindas? Adakah ruang untuk melakukan “description of job” tanpa harus melakukan sub-ordinasi? Mungkinkan pijar itu menyala di berbagai titik tanpa harus “dikumpulkan dengan penaklukan”?

Mungkinkah setiap suku bangsa yang ada di Bumi Pertiwi Indonesia ini, mampu hidup berdampingan tanpa harus ada salah satu kebudayaan yang menjadi tuan? Keagungan sejarah Sriwijaya dan Majapahit yang kental dengan sejarah "penaklukannya" dan kemudian di gembar-gemborkan sebagai semangat Nasionalisme Indonesia secara sadar dan sistematik di ciptakan sebagai upaya mendidik pola berpikir, berbicara dan bertindak yang ekspansionis, kolonialis, anti-humanisme, dan homogenistik di tiap individu. Hal inilah yang kemudian mendorong kecenderungan setiap individu untuk “men-struktur-kan” segala sesuatu.

Dan kemudian jika ada abornormalitas seperti yang sedang terjadi di Irian Jaya( Papua) dan beberapa daerah lain , maka hal itu termasuk dalam kategori “tak bisa diterima”. Semangat nasionalisme berbasis pada Majapahit inilah yang kemudian melahirkan spirit "penaklukan sebagai spirit hidup orang Indonesia." Semangat Nasionalisme Indonesia juga membuat orang berhamba pada objektivitas dan mengeliminir subjektifitas. Segala sesuatu yang dilakukan haruslah demi kepentingan “nasional” bernama Indonesia.

Jika ada hal-hal di luar koridor itu, maka kategorinya adalah “lokal” dan bukan “nasional”. Sebabnya, karena yang bisa disebut “nation” dari Merauke sampai Sabang adalah Indonesia. Bukan Banjar, Batak, Aceh, Papua, Jawa, Bali, Dayak, Sunda, Madura, Minahasa, Makasar dan masih banyak lagi jika harus dirunut satu demi satu. Jika masih ada “lokal-lokal” yang tetap lantang bicara tentang “nasionalisme” mereka, maka tidak mungkin kategori rasisme melekat menjadi kemungkinan terbesar.

Beberapa daerah di Indonesia ini , sebagai sebuah kolektif kerja tanpa struktur dan pembagian porsi kekuasaan menjadi hal sulit di terima akal sehat banyak individu yang masih ter-ilusi dengan kebenaran sejarah penguasa. Percaya bahwa ada kemungkinan setiap kebudayaan dari tiap “nation” duduk sama tinggi, dan berdiri sama rendah serta saling bersolidaritas dalam rangka upaya meningkatkan kualitas masing-masing.

Sebagai seorang individu maupun sebagai anak masing-masing bangsa. Nama yang lahir sebagai sebuah salah satu titik berangkat masing-masing kami untuk berjalan di jalan masing-masing dalam sebuah ikatan yang tak tampak riil bagi orang lain. Ikatan solidaritas antar masing anak bangsa-bangsa yang sekian lama di paksa menerima kenyataan bahwa kami “harus sama” dalam semangat “nasionalisme” Indonesia. Menjadi soal yang mungkin mendasar bagi beberapa orang menyoal nama yang “identik” dengan kesukuan.

Oleh karena itu, adalah sebuah kesalahan fatal jika mengindentikkan Indonesia sebagai gerakan kebudayaan Indonesia. Tidak! Indonesia berada di ranah yang lebih luas dari setiap suku yang ada di atas tanah pertiwi ini. Indonesia adalah sebuah spirit kesadaran identitas, kesadaran historis, kesadaran untuk terus belajar dan mengembangkan diri, kesadaran untuk menyesuaikan dengan kondisi zaman, kesadaran untuk mulai berbuat dari sekedar menunggu datangnya bala bantuan dsbnya. Kesadaran untuk berani memberikan ruang hidup kepada perbedaan.

Bukan sebagai sesuatu yang harus dibenturkan dan saling menaklukkan, tapi kesadaran untuk saling mengisi dan menumbuhkan potensi masing-masing demi kemajuan peradaban dan kebudayaan masing-masing bangsa. Indonesia adalah sebuah spirit global. Dan tulisan saya ini akan menimbulkan pro dan kontra bila tidak juga sadar "Identitas Orang Indonesia" dan apa itu Indonesia, dan selamanya akan tetap di bayang-bayangi kelompok suku bangsa tertentu yang merasa diri lebih baik dari suku lainnya.

Lalu menyalahkan penjajahan dan pelbagai ideologi yang berkembang karena jaman dsbnya. Pertanyaan sederhana apa makna Identitas buat kita semua? karena ketidakinginan saya secara pribadi untuk menjebakkan diri pada pendefinisian (atau postivistik) yang membuat batasan-batasan semu namun dipaksakan riil untuk melihat sesuatu dari “jauh.” Sebuah contoh saya coba suguhkan. Namun ini bukanlah contoh absolut. Semuanya masih bisa dibantah (atau didiskusikan jika menurut ingin saya).

Jauh sebelum peradaban Eropa membawa ke-Kristen-annya dan pedagang Gujarat, Persia dan Arab membawa ke-Islam-annya dan datang ke daratan yang sekarang bernama di Indonesia ini, masyarakat di setiap suku bangsa di Indonesia, telah memeluk kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan bahwa ada sebuah kuasa yang jauh melebihi kemampuan manusia. Dan semuanya itu diwujudkan dalam ibadah-ibadah mengucap syukur dengan menyembah batu-batu besar, pohon-pohon, roh-roh halus, guntur, kilat, hujan dan lain-lain.

Dan tidak ada kaitannya dengan kekuasaan. Pada masa ini, agama-agama benar-benar ditempatkan sebagai sebuah bagian yang bersangkut paut dengan kekuasaan. Namun, agama-agama rakyat yang saat itu telah hidup dan mewarnai geliat masyarakat di anggap alifuru dan belum beradab karena bangsa-bangsa di suku bangsa saat itu, belumlah memeluk agama modern seperti keyakinan mereka.

Pendefinisian dalam batas-batas kaku yang pada akhirnya mendorong terjadinya homogenisasi kepercayaan hingga terjadinya homogenisasi kebudayaan. Yang belum memeluk agama Islam dan Kristen dianggap kafir dan tak akan mendapatkan surga. Benarkah pendefinisian atau pelabelan seperti contoh di atas? Contoh berikut adalah ketika Colombus menemukan benua Amerika yang tidak pernah hilang.

Bangsa-bangsa penghuni asli di benua Amerika dilabeli sebagai bangsa Indian. Artinya adalah orang-orang India. Apache, Cheyenne, Maya, Aztec, Inca dan masih ada bangsa-bangsa lain, di subordinasi dalam nama suku berbangsa Indian. Dan hingga kini, kesalahan kecil seperti itu masih terus di pelihara bahkan oleh dunia intelektual. Dunia positivistik. Dunia penuh kategori, penuh batasan mati, dunia penuh definisi kaku.

Saya justru akan bertanya kembali kepada semua yang membaca tulisan ini. Bagaimana jika kasus genosida kebudayaan yang dialami oleh bangsa-bangsa asli di Amerika berbalik menimpa kita? Apakah kita akan terus diam dengan kebohongan-kebohongan intelektual yang telah menjadi prima dan tak boleh terbantahkan lagi? Apakah orang-orang Indonesia harus terus hidup dalam mitos Indonesia?

Tidak pernah mengakui asal muasal turun temurunnya yang sudah entah berapa lapis kesukuannya, karena sejak masuknya pedagang membawa agama dari luar Bumi Pertiwi yang sekarang tergabung dengan nama Indonesia ini sudah mengalami proses global keturunan. Melihat dan mencoba belajar dari hal-hal kecil seperti di atas membuat saya tidak ingin melihat segala sesuatu kemudian memberikan batasan absolut yang menjustifikasi segala sesuatu di luar keyakinan adalah salah dan tak mempunyai ruang hidup. Tidak. Justru sebaliknya.

Ketika ada perbedaan yang hadir dalam melihat sebuah titik, inilah saatnya untuk melakukan dialog. Bukan dalam semangat untuk menyatukan perbedaan-perbedaan itu, tapi justru sebaliknya. Dialog antar peradaban adalah untuk saling mengerti dan memahami kemudian hidup berdampingan tanpa harus saling mengeliminir satu dengan yang lain. Berupaya saling mengenal demi peningkatan kualitas masing-masing peradaban. Tidak dengan saling menundukkan. Menyoal melihat kebudayaan juga saat ini menjadi masalah.

Kami yang berada di lingkaran Indonesia yang kemudian oleh beberapa orang di anggap kelompok tertutup dan terbatas, tidaklah melihat Indonesia, sebagai sebuah yang statis. Diam dan mati. Sebaliknya, kami melihat bahwa Indonesia dan semua bangsa lain itu hidup dan terus berproses. Indonesia dan bangsa-bangsa sejati tidaklah sebatas teks yang kemudian diberikan definisi oleh individu dari kalangan tertentu.

Bangsa adalah sebuah kesatuan hidup yang terus menerus berkembang, berproses dan melakukan pencarian dan penemuan terhadap nilai-nilai hidup. Entah dengan mendekonstruksi nilai lama kemudian memaknainya secara baru, ataupun dengan melakukan adaptasi, akulturasi dan asimilasi.

Dan dalam perjalanannya, setiap bangsa dengan peradabannya mempunyai grafik yang tentulah tidak menanjak setiap saat. Semuanya tergantung dari setiap individu yang berada di dalam bangsa tersebut. Setiap anak-anak dari tiap peradaban memikul tanggung jawab dan tugas yang sama beratnya. Salah satu faktor ini yang kemudian membuat setiap dari kami yang datang dari berbagai latar belakang yang beragam kemudian menjadikan Indonesia sebagai ruang sempit untuk berdialog di tengah dunia yang tak lagi merestui perbedaan.

Indonesia bukanlah satu-satunya jalan keselamatan. Dan bukan gerombolan pemilik sejarah mitos masa lalu. Tapi, Indonesia adalah satu dari sekian banyak jalan untuk pulang ke rumah. Mendapati kembali sanak saudara dan tanah yang hampir hilang terenggut oleh kehilangan kami secara individu. Indonesia hanyalah sekedar upaya untuk mencoba kembali pulang dan memperbaiki genteng-genteng rumah yang bolong maupun hancur karena terpaan ekspansi dan upaya kolonialisme dari peradaban lain yang merasa lebih.

Indonesia hanyalah sebuah upaya untuk memberi warna baru bagi rumah kami yang kusam dihantam sejarah yang timpang. Ini hanya sebuah spirit yang tidaklah mungkin hanya boleh dimiliki oleh kami. Indonesia adalah milik semua orang yang ingin pulang ke rumah. Ke tempat di mana kita berasal "lahir" siapapun dia suku bangsa apa yang berada di ranah Indonesia. Dari bermula.*[CC]

 

Salam
©Cesillia C'est
001301

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun