Oleh karena itu, adalah sebuah kesalahan fatal jika mengindentikkan Indonesia sebagai gerakan kebudayaan Indonesia. Tidak! Indonesia berada di ranah yang lebih luas dari setiap suku yang ada di atas tanah pertiwi ini. Indonesia adalah sebuah spirit kesadaran identitas, kesadaran historis, kesadaran untuk terus belajar dan mengembangkan diri, kesadaran untuk menyesuaikan dengan kondisi zaman, kesadaran untuk mulai berbuat dari sekedar menunggu datangnya bala bantuan dsbnya. Kesadaran untuk berani memberikan ruang hidup kepada perbedaan.
Bukan sebagai sesuatu yang harus dibenturkan dan saling menaklukkan, tapi kesadaran untuk saling mengisi dan menumbuhkan potensi masing-masing demi kemajuan peradaban dan kebudayaan masing-masing bangsa. Indonesia adalah sebuah spirit global. Dan tulisan saya ini akan menimbulkan pro dan kontra bila tidak juga sadar "Identitas Orang Indonesia" dan apa itu Indonesia, dan selamanya akan tetap di bayang-bayangi kelompok suku bangsa tertentu yang merasa diri lebih baik dari suku lainnya.
Lalu menyalahkan penjajahan dan pelbagai ideologi yang berkembang karena jaman dsbnya. Pertanyaan sederhana apa makna Identitas buat kita semua? karena ketidakinginan saya secara pribadi untuk menjebakkan diri pada pendefinisian (atau postivistik) yang membuat batasan-batasan semu namun dipaksakan riil untuk melihat sesuatu dari “jauh.” Sebuah contoh saya coba suguhkan. Namun ini bukanlah contoh absolut. Semuanya masih bisa dibantah (atau didiskusikan jika menurut ingin saya).
Jauh sebelum peradaban Eropa membawa ke-Kristen-annya dan pedagang Gujarat, Persia dan Arab membawa ke-Islam-annya dan datang ke daratan yang sekarang bernama di Indonesia ini, masyarakat di setiap suku bangsa di Indonesia, telah memeluk kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan bahwa ada sebuah kuasa yang jauh melebihi kemampuan manusia. Dan semuanya itu diwujudkan dalam ibadah-ibadah mengucap syukur dengan menyembah batu-batu besar, pohon-pohon, roh-roh halus, guntur, kilat, hujan dan lain-lain.
Dan tidak ada kaitannya dengan kekuasaan. Pada masa ini, agama-agama benar-benar ditempatkan sebagai sebuah bagian yang bersangkut paut dengan kekuasaan. Namun, agama-agama rakyat yang saat itu telah hidup dan mewarnai geliat masyarakat di anggap alifuru dan belum beradab karena bangsa-bangsa di suku bangsa saat itu, belumlah memeluk agama modern seperti keyakinan mereka.
Pendefinisian dalam batas-batas kaku yang pada akhirnya mendorong terjadinya homogenisasi kepercayaan hingga terjadinya homogenisasi kebudayaan. Yang belum memeluk agama Islam dan Kristen dianggap kafir dan tak akan mendapatkan surga. Benarkah pendefinisian atau pelabelan seperti contoh di atas? Contoh berikut adalah ketika Colombus menemukan benua Amerika yang tidak pernah hilang.
Bangsa-bangsa penghuni asli di benua Amerika dilabeli sebagai bangsa Indian. Artinya adalah orang-orang India. Apache, Cheyenne, Maya, Aztec, Inca dan masih ada bangsa-bangsa lain, di subordinasi dalam nama suku berbangsa Indian. Dan hingga kini, kesalahan kecil seperti itu masih terus di pelihara bahkan oleh dunia intelektual. Dunia positivistik. Dunia penuh kategori, penuh batasan mati, dunia penuh definisi kaku.
Saya justru akan bertanya kembali kepada semua yang membaca tulisan ini. Bagaimana jika kasus genosida kebudayaan yang dialami oleh bangsa-bangsa asli di Amerika berbalik menimpa kita? Apakah kita akan terus diam dengan kebohongan-kebohongan intelektual yang telah menjadi prima dan tak boleh terbantahkan lagi? Apakah orang-orang Indonesia harus terus hidup dalam mitos Indonesia?
Tidak pernah mengakui asal muasal turun temurunnya yang sudah entah berapa lapis kesukuannya, karena sejak masuknya pedagang membawa agama dari luar Bumi Pertiwi yang sekarang tergabung dengan nama Indonesia ini sudah mengalami proses global keturunan. Melihat dan mencoba belajar dari hal-hal kecil seperti di atas membuat saya tidak ingin melihat segala sesuatu kemudian memberikan batasan absolut yang menjustifikasi segala sesuatu di luar keyakinan adalah salah dan tak mempunyai ruang hidup. Tidak. Justru sebaliknya.
Ketika ada perbedaan yang hadir dalam melihat sebuah titik, inilah saatnya untuk melakukan dialog. Bukan dalam semangat untuk menyatukan perbedaan-perbedaan itu, tapi justru sebaliknya. Dialog antar peradaban adalah untuk saling mengerti dan memahami kemudian hidup berdampingan tanpa harus saling mengeliminir satu dengan yang lain. Berupaya saling mengenal demi peningkatan kualitas masing-masing peradaban. Tidak dengan saling menundukkan. Menyoal melihat kebudayaan juga saat ini menjadi masalah.
Kami yang berada di lingkaran Indonesia yang kemudian oleh beberapa orang di anggap kelompok tertutup dan terbatas, tidaklah melihat Indonesia, sebagai sebuah yang statis. Diam dan mati. Sebaliknya, kami melihat bahwa Indonesia dan semua bangsa lain itu hidup dan terus berproses. Indonesia dan bangsa-bangsa sejati tidaklah sebatas teks yang kemudian diberikan definisi oleh individu dari kalangan tertentu.