Dalam dunia pengembangan teknologi, konsep Valley of Death sering menjadi penghalang besar yang memisahkan hasil penelitian dengan implementasi praktisnya di dunia industri. Fenomena ini mencerminkan kesenjangan antara penelitian yang menjanjikan dan kebutuhan dunia usaha yang berorientasi pada profit dan efisiensi. Di Indonesia, meskipun dana riset telah dialokasikan cukup besar, untuk jadi peneliti yang menghasilkan karya dan dapat menyeberangi jurang ini terbilang cukup menantang.
Tahapan perjalanan sebuah teknologi dari laboratorium ke pasar, ada fase kritis yang sering disebut "Valley of Death". Istilah ini mengacu pada masa transisi antara tahap penelitian awal dan pengembangan teknologi yang siap diproduksi. Di sinilah banyak inovasi terhenti karena berbagai kendala, terutama terkait pendanaan dan implementasi. Meskipun sebuah teknologi memiliki potensi besar, fase ini penuh tantangan khususnya yang membuatnya sulit untuk melangkah ke tahap berikutnya.
Valley of Death terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara dunia akademik dan industri. Penelitian dasar biasanya dibiayai oleh lembaga akademik atau pemerintah, fokusnya pada eksplorasi ilmiah (TRLÂ 1-3). Namun, begitu teknologi masuk ke tahap validasi prototipe (TRLÂ 4-6), dibutuhkan dana besar untuk membuktikan bahwa teknologi tersebut bisa diterapkan di dunia nyata. Masalahnya, pendanaan di tahap ini jarang tersedia. Investor komersial sering enggan mengambil risiko karena belum ada jaminan bahwa teknologi ini akan berhasil atau menghasilkan keuntungan. Akibatnya, banyak teknologi berhenti di tengah jalan, terperangkap di jurang ini.
Tingkat Kesiapan Teknologi Sebagai Penanda Perjalanan Teknologi
Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) atau Technology Readiness Level (TRL) menjadi tolok ukur utama dalam menentukan sejauh mana sebuah teknologi siap untuk diterapkan. TRLÂ mencakup tahapan dari penelitian dasar hingga penerapan di pasar.Â
Tingkat Kesiapan Teknologi (TRL) menggambarkan perjalanan teknologi dari konsep hingga penerapan praktis. Pada TRLÂ 1, prinsip dasar teknologi ditemukan melalui penelitian dasar. TRLÂ 2 melibatkan formulasi konsep yang mulai diuji secara teoritis, sementara pada TRLÂ 3, pengujian eksperimental dilakukan untuk membuktikan konsep melalui prototipe awal. Di TRLÂ 4, prototipe diuji di lingkungan laboratorium untuk mengidentifikasi masalah teknis, dan TRLÂ 5 membawa prototipe ke lingkungan yang relevan untuk pengujian di lapangan terbatas. TRL 6 menunjukkan demonstrasi prototipe di lapangan untuk memastikan kestabilan, sedangkan TRLÂ 7 menguji sistem dalam lingkungan nyata untuk memastikan kesiapan produksi. Di TRLÂ 8, teknologi divalidasi dan siap untuk produksi terbatas, sementara TRLÂ 9 menandai kesiapan teknologi untuk diproduksi massal dan digunakan secara luas di pasar.
Di level awal (TRLÂ 1-3), teknologi masih dalam tahap pengembangan konsep dan pembuktian prinsip. Tantangan besar muncul ketika teknologi mulai mencapai TRLÂ 4-7, di mana pengujian prototipe dan validasi di lingkungan nyata menjadi krusial. Namun, tahap ini sering kali membutuhkan pendanaan besar dan dukungan lintas sektor, yang sering kali sulit diperoleh, terutama di negara berkembang.
Di Indonesia, dukungan pendanaan riset dari pemerintah melalui BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) telah diupayakan. Pada tahun 2024, anggaran sebesar Rp 699,4 miliar diusulkan untuk program seperti Riset dan Inovasi Indonesia Maju (RIIM), yang mencakup dana untuk penelitian hingga pengembangan startup berbasis teknologi. Meski demikian, dana ini masih dianggap terbatas jika dibandingkan dengan kebutuhan untuk mengatasi tantangan di setiap tahap TRL.
Anggaran riset nasional di Indonesia terus mengalami dinamika. Misalnya, pada 2023, dana abadi riset mencapai Rp 13 triliun setelah mendapatkan tambahan dari pemerintah. Meski ini merupakan langkah positif, distribusi dana yang efektif masih menjadi tantangan. Sebagian besar alokasi difokuskan pada infrastruktur dan pengembangan sumber daya manusia, sementara dukungan langsung untuk proyek teknologi sering kali belum mencukupi. Dalam konteks ini, kolaborasi antara peneliti, pemerintah, dan sektor swasta menjadi kunci untuk mengatasi jurang pembiayaan yang ada.
Bahu-Membahu Menyebrangi Valley of Death
Selain masalah pendanaan, kurangnya dukungan ekosistem inovasi juga memperburuk situasi di Valley of Death. Jadi peneliti sering kali kesulitan menemukan mitra industri yang mau bekerja sama untuk mengembangkan prototipe atau melakukan uji lapangan. Di sisi lain, pelaku industri cenderung ragu untuk berinvestasi pada teknologi yang belum matang. Hal ini menciptakan lingkaran setan, di mana teknologi gagal berkembang karena tidak mendapatkan dukungan yang cukup, sementara industri kehilangan peluang untuk mengadopsi inovasi baru. Teknologi yang dikembangkan sering kali tidak selaras dengan kebutuhan industri, membuat teknologi tersebut sulit diterapkan meskipun telah melewati uji coba di laboratorium. Oleh karena itu, selain pendanaan, diperlukan platform yang menghubungkan penelitian akademik dengan kebutuhan bisnis.
Solusinya adalah memperkuat kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan industri, serta menyediakan program pendanaan khusus untuk menjembatani tahap-tahap kritis ini.