Mohon tunggu...
Yuriadi
Yuriadi Mohon Tunggu... Lainnya - | Penulis lepas | https://www.kompasiana.com/ceritayuri

Warga Negara Indonesia (WNI) biasa dari Kota Makassar. Menyukai informasi teknologi, sosial, budaya dan jalan-jalan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bahu-Membahu Menyebrangi Valley of Death Untuk Menghasilkan Luaran Penelitian yang Aplikatif

6 Desember 2024   10:29 Diperbarui: 6 Desember 2024   11:03 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi: Aktivitas analis laboratorium. Sumber: pixabay.com /jarmoluk)

Dalam dunia pengembangan teknologi, konsep Valley of Death sering menjadi penghalang besar yang memisahkan hasil penelitian dengan implementasi praktisnya di dunia industri. Fenomena ini mencerminkan kesenjangan antara penelitian yang menjanjikan dan kebutuhan dunia usaha yang berorientasi pada profit dan efisiensi. Di Indonesia, meskipun dana riset telah dialokasikan cukup besar, untuk jadi peneliti yang menghasilkan karya dan dapat menyeberangi jurang ini terbilang cukup menantang.

Tahapan perjalanan sebuah teknologi dari laboratorium ke pasar, ada fase kritis yang sering disebut "Valley of Death". Istilah ini mengacu pada masa transisi antara tahap penelitian awal dan pengembangan teknologi yang siap diproduksi. Di sinilah banyak inovasi terhenti karena berbagai kendala, terutama terkait pendanaan dan implementasi. Meskipun sebuah teknologi memiliki potensi besar, fase ini penuh tantangan khususnya yang membuatnya sulit untuk melangkah ke tahap berikutnya.

Valley of Death terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara dunia akademik dan industri. Penelitian dasar biasanya dibiayai oleh lembaga akademik atau pemerintah, fokusnya pada eksplorasi ilmiah (TRL 1-3). Namun, begitu teknologi masuk ke tahap validasi prototipe (TRL 4-6), dibutuhkan dana besar untuk membuktikan bahwa teknologi tersebut bisa diterapkan di dunia nyata. Masalahnya, pendanaan di tahap ini jarang tersedia. Investor komersial sering enggan mengambil risiko karena belum ada jaminan bahwa teknologi ini akan berhasil atau menghasilkan keuntungan. Akibatnya, banyak teknologi berhenti di tengah jalan, terperangkap di jurang ini.

Tingkat Kesiapan Teknologi Sebagai Penanda Perjalanan Teknologi
Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) atau Technology Readiness Level (TRL) menjadi tolok ukur utama dalam menentukan sejauh mana sebuah teknologi siap untuk diterapkan. TRL mencakup tahapan dari penelitian dasar hingga penerapan di pasar. 

Tingkat Kesiapan Teknologi (TRL) menggambarkan perjalanan teknologi dari konsep hingga penerapan praktis. Pada TRL 1, prinsip dasar teknologi ditemukan melalui penelitian dasar. TRL 2 melibatkan formulasi konsep yang mulai diuji secara teoritis, sementara pada TRL 3, pengujian eksperimental dilakukan untuk membuktikan konsep melalui prototipe awal. Di TRL 4, prototipe diuji di lingkungan laboratorium untuk mengidentifikasi masalah teknis, dan TRL 5 membawa prototipe ke lingkungan yang relevan untuk pengujian di lapangan terbatas. TRL 6 menunjukkan demonstrasi prototipe di lapangan untuk memastikan kestabilan, sedangkan TRL 7 menguji sistem dalam lingkungan nyata untuk memastikan kesiapan produksi. Di TRL 8, teknologi divalidasi dan siap untuk produksi terbatas, sementara TRL 9 menandai kesiapan teknologi untuk diproduksi massal dan digunakan secara luas di pasar.

Di level awal (TRL 1-3), teknologi masih dalam tahap pengembangan konsep dan pembuktian prinsip. Tantangan besar muncul ketika teknologi mulai mencapai TRL 4-7, di mana pengujian prototipe dan validasi di lingkungan nyata menjadi krusial. Namun, tahap ini sering kali membutuhkan pendanaan besar dan dukungan lintas sektor, yang sering kali sulit diperoleh, terutama di negara berkembang.

(Ilustrasi: Investment vs. Technology Readiness Level. Sumber: researchgate.net /sebastian-kirmse)
(Ilustrasi: Investment vs. Technology Readiness Level. Sumber: researchgate.net /sebastian-kirmse)

Di Indonesia, dukungan pendanaan riset dari pemerintah melalui BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) telah diupayakan. Pada tahun 2024, anggaran sebesar Rp 699,4 miliar diusulkan untuk program seperti Riset dan Inovasi Indonesia Maju (RIIM), yang mencakup dana untuk penelitian hingga pengembangan startup berbasis teknologi. Meski demikian, dana ini masih dianggap terbatas jika dibandingkan dengan kebutuhan untuk mengatasi tantangan di setiap tahap TRL.

Anggaran riset nasional di Indonesia terus mengalami dinamika. Misalnya, pada 2023, dana abadi riset mencapai Rp 13 triliun setelah mendapatkan tambahan dari pemerintah. Meski ini merupakan langkah positif, distribusi dana yang efektif masih menjadi tantangan. Sebagian besar alokasi difokuskan pada infrastruktur dan pengembangan sumber daya manusia, sementara dukungan langsung untuk proyek teknologi sering kali belum mencukupi. Dalam konteks ini, kolaborasi antara peneliti, pemerintah, dan sektor swasta menjadi kunci untuk mengatasi jurang pembiayaan yang ada.

Bahu-Membahu Menyebrangi Valley of Death
Selain masalah pendanaan, kurangnya dukungan ekosistem inovasi juga memperburuk situasi di Valley of Death. Jadi peneliti sering kali kesulitan menemukan mitra industri yang mau bekerja sama untuk mengembangkan prototipe atau melakukan uji lapangan. Di sisi lain, pelaku industri cenderung ragu untuk berinvestasi pada teknologi yang belum matang. Hal ini menciptakan lingkaran setan, di mana teknologi gagal berkembang karena tidak mendapatkan dukungan yang cukup, sementara industri kehilangan peluang untuk mengadopsi inovasi baru. Teknologi yang dikembangkan sering kali tidak selaras dengan kebutuhan industri, membuat teknologi tersebut sulit diterapkan meskipun telah melewati uji coba di laboratorium. Oleh karena itu, selain pendanaan, diperlukan platform yang menghubungkan penelitian akademik dengan kebutuhan bisnis.

Solusinya adalah memperkuat kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan industri, serta menyediakan program pendanaan khusus untuk menjembatani tahap-tahap kritis ini.

Valley of Death bukan hanya tantangan bagi teknologi individu, tetapi juga bagi ekosistem inovasi secara keseluruhan. Tanpa pendekatan yang terintegrasi, banyak potensi teknologi yang menjanjikan akan terus terhenti di jurang ini, menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan ekonomi.

Di negara-negara maju, mekanisme seperti inkubator teknologi dan dana ventura menjadi solusi efektif untuk menjembatani jurang ini. Indonesia juga telah mulai bergerak ke arah ini dengan program-program pendanaan seperti RIIM, namun implementasinya perlu lebih diperkuat. Skema pendanaan yang fleksibel sepanjang tahun, seperti yang diperkenalkan BRIN pada 2024, adalah langkah maju yang dapat memberikan peluang lebih luas bagi peneliti.

Selain itu, penting untuk membangun ekosistem inovasi yang mendukung. Hal ini melibatkan pendirian pusat riset berbasis kebutuhan industri, insentif pajak bagi perusahaan yang berinvestasi dalam penelitian, dan pelatihan bagi peneliti tentang cara memahami kebutuhan pasar. Dalam jangka panjang, keberhasilan ini tidak hanya akan meningkatkan kualitas teknologi yang dihasilkan tetapi juga memperkuat daya saing bangsa.
(yrd).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun